Kategori Fiqih : Shalat
Selasa, 5 Oktober 2004 07:26:34 WIB
Orang yang sakit wajib melaksanakan shalat fardhu sesuai dengan kemampuannya, berdasarjab sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya tentang tata cara shalat orang yang sakit. “Shalatlah dengan berdiri. Jika kamu tidak sanggup, shalatlah sambil duduk. Jika masih tidak sanggup, shalatlah sambil tidur miring” . Dalam riwayat An-Nasa’i ada tambahan : “jika engkau tidak bisa, boleh sambil terlentang”. Jika dia tidak bisa ruku dengan sempurna, dia boleh ruku dengan cara membungkukkan badannya sedikit sesuai dengan kemampuannya. Begitu juga tidak mampu sujud dengan sempurna, dia boleh sujud dengan cara membungkukkan badannya sesuai dengan kemampuannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman. “Maka bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian”
Jumat, 20 Agustus 2004 10:04:00 WIB
Jadikanlah antara adzan-mu dengan iqamat-mu ada kelonggaran, seukuran al-mu’tashir (menyelesaikan hajatnya dengan tidak tergesa-gesa) dan seukuran orang yang makan menyelesaikan makanannya dengan tidak tegesa-gesa” . Aku (Al-Albani) berkata : Kemungkinan inilah yang nyata, haditsnya tentang perintah untuk memberi jarak antara adzan dan iqamat, dikeluarkan oleh Abdullah bin Ahmad di dalam ziyaadaatnya dari jalan Salim bin Qutaibah Al-Bahiliy dari Malik bin Mighwal dari Abu Al-Fadhl. Dia juga mengeluarkan hadits tersebut dari riwayat Mu’aarik bin Abbad dari Abdullah bin Fadhl dari Abdullah bin Abi Al-Jauza dari Ubaiy. Tentang Abdullah bin Al-Fadhl, ada biografinya di dalam At-Tahdziib.
Minggu, 25 Juli 2004 00:00:53 WIB
Al-Imam Al-Wazir Ibnu Hubairah rahimahullah menyatakan: “(Imam) Abu Hanifah dan (imam) Ahmad berbeda pendapat tentang orang yang shalat di belakang imam yang berqunut waktu subuh: Apakah makmum tersebut mengikuti imam atau tidak? (Imam) Abu Hanifah berkata: “Dia tidak mengikuti imam”, (imam) Ahmad berkata: “Dia mengikuti imam”. DR. Muhammad Ya’qub Thalib ‘Ubaidi menjelaskan alasan masing-masing pendapat di atas dengan menyatakan: “Abu Hanifah menjelaskan alasan makmum tidak mengikuti imam, yaitu bahwa qunut subuh itu adalah hukum mansukh (yang telah dihapuskan), sebagaimana takbir ke lima pada shalat jenazah. Walaupun Abu Yusuf berpendapat: makmum mengikuti imam, sebagaimana pendapat imam Ahmad, tetapi pendapat yang dipilih pada madzhab Hanafiyah adalah makmum berdiri diam saja. Dan imam Ahmad menjelaskan alasan makmum mengikuti imam, yaitu agar makmum tidak menyelisihi imamnya, dan karena para sahabat, tabi’in, dan orang-orang setelah mereka terus-menerus bermakmum kepada sebagian yang lain, padahal ada perselsihan di antara mereka dalam masalah furu’ (cabang).
Selasa, 20 Juli 2004 09:43:32 WIB
Dalam bersedekap, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meletakkan telapak tangan kanannya pada tulang hasta kiri dan diletakkan di dadanya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan para sahabat Radhiyallahu 'anhum berbuat demikian, sebagaimana dijelaskan dalam hadits : Dari Sahl bin Sa’ad, ia berkata: “Orang-orang diperintahkan untuk meletakkan tangan kanannya pada hasta kirinya dalam shalat”. Abu Haazim (seorang perawi) mengatakan: “Saya tidak tahu, kecuali diisyaratkan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam“. Juga dinyatakan dalam hadits lainnya, dari Wa’il bin Hujr, ia berkata : “Sungguh aku akan melihat shalat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bagaimana cara beliau shalat.” Dia berkata : “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri dan menghadap kiblat, lalu bertakbir dan mengangkat kedua tangannya sampai sejajar kedua telinganya … kemudian meletakkan tangan kanannya pada punggung telapak tangan kiri, pergelangan dan hastanya.
Senin, 19 Juli 2004 16:30:04 WIB
Telah berselisih para ulama dalam masalah sifat duduk di dalam shalat yang dua raka’at seperti shalat shubuh, shalat jum’at, dan shalat-shalat sunat yang dua rakaat, apakah sifat duduknya iftirasy seperti duduk di antara dua sujud, atau tawarruk? Sebagian ulama berpendapat bahwa : Setiap shalat yang dua raka’at atau dengan kata lain setiap shalat yang hanya ada satu tasyahhudnya saja, seperti shalat shubuh, shalat jum’at, dan shalat-shalat sunat yang dua raka’at, sifat duduknya adalah iftirasy seperti duduk di antara dua sujud. Dalil meraka ialah kemutlakan hadits-hadits atau riwayat yang menjelaskan bahwa hukum asal sifat duduk di dalam shalat adalah iftirasy. Kecuali shalat-shalat yang ada dua tasyahhud-nya seperti shalat zhuhur, ashar, maghrib, isyaa’, dan shalat-shalat sunat yang empat raka’at, maka duduk akhirnya tawarruk.
Rabu, 14 Juli 2004 11:41:19 WIB
Orang-orang yang tinggal di asrama ini wajib melaksanakan shalat di masjid. Setiap orang yang ada masjid disekitarnya, maka wajib pergi ke masjid. Seseorang atau sekelompok orang tidak boleh melaksanakan shalat di rumah (atau asrama), sedangkan masjid ada di dekat mereka. Adapun jika jarak masjid jauh dari tempat mereka dan mereka juga tidak mendengar suara adzan, maka tidak apa-apa melaksanakan shalat di rumah (di asrama). Sikap menganggap remeh sebagian orang (terhadap shalat berjama’ah) pada saat ini berdasar pada perkataan sebagian ulama yang mendefinisikan shalat jama’ah dengan berkumpulnya beberapa orang untuk melakukan satu shalat, meskipun tidak di masjid, jika mereka sudah melaksanakan shalat secara jama’ah meski di rumah, berarti mereka telah menunaikan kewajiban. Namun pendapat yang shahih (menyatakan), bahwa shalat secara berjama’ah itu harus dilaksanakan di masjid-masjid.
First Prev 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 Next Last