Kategori Fiqih : Hari Raya

Bimbingan Berhari Raya Iedul Fithri

Senin, 13 Agustus 2012 23:47:47 WIB

Secara bahasa, ‘Id ialah sesuatu yang kembali dan berulang-ulang. Sesuatu yang biasa datang dan kembali dari satu tempat atau waktu. Kemudian dinamakan ‘Id, karena Allah kembali memberikan kebaikan dengan berbuka, setelah kita berpuasa dan membayar zakat fithri. Dan dengan disempurnakannya haji, setelah diperintahkan thawaf dan menyembelih binatang kurban. Karena, biasanya pada waktu-waktu seperti ini terdapat kesenangan dan kebahagiaan. As Suyuthi rahimahullah berkata,”’Id merupakan kekhususan umat ini. Keberadaan dua hari ‘Id, merupakan rahmat dari Allah kepada ummat ini. Dari Anas Radhiyallahu 'anhu, ia berkata,”Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam datang ke Madinah, dan penduduk Madinah mempunyai dua hari raya. Pada masa Jahiliyyah, mereka bermain pada dua hari raya tersebut. Beliau bersabda, ’Aku datang dan kalian mempunyai dua hari, yang kalian bermain pada masa Jahiliyah. Kemudian Allah mengganti dengan yang lebih baik dari keduanya, (yaitu) hari Nahr dan hari Fithri". Pada hari ‘Id, disunnahkan untuk mandi. Karena pada hari tersebut kaum muslimin akan berkumpul, maka disunnahkan mandi seperti pada hari Jum’at. Namun, apabila seseorang hanya berwudhu’ saja, maka sah baginya. (Ibnu Qudamah, Al Mughni, 3/257). Dan kaifiyatnya seperti mandi janabat.

Maaf-Memaafkan Dalam Rangka Hari Raya Disyariatkan?

Jumat, 2 September 2011 00:11:09 WIB

Akan tetapi, amal shaleh yang agung ini, bisa berubah menjadi perbuatan haram dan tercela jika dilakukan dengan cara-cara yang tidak ada tuntunannya dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Misalnya , mengkhususkan perbuatan ini pada waktu dan sebab tertentu yang tidak terdapat dalil dalam syariat tentang pengkhususan tersebut. Seperti mengkhususkannya pada waktu dan dalam rangka hari raya Idul Fithri dan Idul Adha. Ini termasuk perbuatan bid’ah yang jelas-jelas telah diperingatkan keburukannya oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya semua perkara yang diada-adakan adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat, dan semua yang sesat (tempatnya) dalam neraka”. Kalau ada yang bertanya : mengapa ini dianggap sebagai perbuatan bid’ah yang sesat, padahal agama Islam jelas-jelas sangat menganjurkan dan memuji sifat mudah memaafkan kesalahan orang lain, sebagaimana telah disebutkan dalam keterangan diatas ? Jawabnya : Benar, Islam sangat menganjurkan hal tersebut, dengan syarat jika tidak dikhususkan dengan waktu atau sebab tertentu, tanpa dalil (argumentasi) yang menunjukkan kekhususan tersebut. Karena, jika dikhususkan dengan misalnya waktu tertentu tanpa dalil khusus, maka berubah menjadi perbuatan bid’ah yang sangat tercela dalam Islam.

Menyingkap Keabsahan Halal Bi Halal

Kamis, 1 September 2011 06:17:37 WIB

Konon, tradisi halal bi halal mula-mula dirintis oleh KGPAA Mangkunegara I (lahir 8 Apri 1725), yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa. Untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka setelah shalat Idul Fithri diadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri. Apa yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa itu kemudian ditiru oleh organisasi-organisasi Islam dengan istilah halal bihalal. Kemudian instansi-instansi pemerintah/swasta juga mengadakan halal bihalal, yang pesertanya meliputi warga masyarakat dari berbagai pemeluk agama. Halal bi halal dengan makna seperti di atas juga tidak ditemukan penyebutannya di kitab-kitab para ulama. Sebagian penulis dengan bangga menyebutkan bahwa halal bi halal adalah hasil kreativitas bangsa Indonesia dan pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat Indonesia. Namun dalam kacamata ilmu agama, hal seperti ini justru patut dipertanyakan, karena semakin jauh suatu amalan dari tuntunan kenabian, ia akan semakin diragukan keabsahannya. Islam telah sempurna dan penambahan padanya justru akan mencoreng kesempurnaannya. Tulisan pendek ini berusaha mengulas keabsahan tradisi halal bi halal menurut pandangan syariat.

Idul Fithri Dan Halal Bi Halal

Rabu, 31 Agustus 2011 15:26:52 WIB

Idul Fithri adalah salah satu di antara dua hari raya besar yang ada dalam Islam. Biasanya dalam Idul Fithri, di negeri tercinta ini, selalu identik dengan acara halal bihalal. Entah bagaimana asal muasalnya, tetapi tradisi itu telah berlangsung sejak lama. Yang jelas, hari Idul Fithri adalah hari dimana kaum muslimin merayakan kegembiraannya pasca Ramadhan. Bahkan hari itu kaum muslimin diperbolehkan bersukaria sebagai ungkapan syukur kepada Allah dengan melakukan kegaiatan apa saja yang menyenangkan hati sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan syariat Islam. Ibnu Manzhur dalam Lisan al-Arab membawakan perkataan Ibu al-A’rabiy : “Hari Raya (‘Id) dinamakan ‘Id, karena hari itu selalu berulang setiap tahun dengan kegembiraan yang selalu baru”. Al-Allamah Ibnu Abidin rahimahullah mengatakan, “Hari raya disebut dengan sebutan ‘Id, karena di hari itu Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki berbagai macam kebaikan yang samua kebaikan itu kembali kepada para hamba-Nya. Antara lain : (Kebaikan) berbuka puasa setelah sebelumnya ada larangan makan, demikian pula zakat fithri. Juga menyempurnakan ibadah haji (pada Idul Adha) dengan thawaf ziarah, makan daging kurban, dan lain-lain. Karena kebiasaannya pada hari itu berisi kegembiraan, kesenangan, dan keriangan.

Orang Yang Berbahagia Di Hari Raya

Selasa, 30 Agustus 2011 01:12:08 WIB

Hendaknya shalat ied itu dilaksanakan di lapangan luas, yang dekat perumahan penduduk; sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu mengerjakan shalat tersebut di luar daerah. Dan tidak ada satu nukilan pun yang menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat ied di masjid jika tidak ada udzur (kondisi darurat). Ini merupakan syiar Islam yang paling agung. Maka, tidak layak bagi seorang Muslim bermalas-malasan untuk mendatanginya serta mengucilkan diri dari jama‘ah kaum Muslimin. Dan yang ketiga: hari besar Islam yang Allah Azza wa Jalla syariatkan adalah Iedul Adha. Dan hari raya ini merupakan yang terbesar dan paling afdhal. Allah Azza wa Jalla mensyariatkannya setelah menyempurnakan ibadah haji yang merupakan rukun Islam kelima. Tidak ada dalam Islam hari raya selain ketiga hari raya di atas. Tidak ada hari raya maulid nabi ulang tahun atau selainnya. Karena hal itu adalah bid‘ah atau tasyabbuh dengan orang-orang kafir dan musyrik. Berapa banyak kaum Muslimin mendapatkan kemenangan yang agung dan mereka tidak membuat hal yang baru dengan membuat hari raya yang tidak pernah disyariatkan oleh Allah Azza wa Jalla.

Penyimpangan Seputar Shalat Ied

Kamis, 9 September 2010 16:03:11 WIB

Dari Az Zuhri rahimahullah, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam biasa keluar pada hari raya dan bertakbir hingga sampai ke lapangan, dan hingga selesai shalat. Apabila telah selesai, Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menghentikan takbir. Dalam hadits ini terdapat dalil disyari’atkannya perbuatan yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin, yaitu takbir dengan keras ketika berjalan menuju lapangan. Kebanyakan umat mulai meremehkam sunnah ini, hingga sekarang ini seakan sudah menjadi cerita masa lampau (dan hampir tidak bisa ditemukan lagi-red). Ini disebabkan karena lemahnya agama mereka, serta malu untuk mengaku dan menampakkan sunnah ini. Ironisnya, diantara mereka ada yang bertugas memberi bimbingan serta mengajarkan kepada manusia. (Namun) seakan bimbingannya dalam pandangan mereka terbatas pada transfer ilmu guru kepada manusia. Adapun sesuatu yang sangat dibutuhkan untuk diketahui, ini tidak mendapatkan perhatian mereka. Bahkan mereka menganggap pembahasan serta pemberian peringatan dalam masalah ini, baik dengan perkataan maupun perbuatan sebagai perbuatan sia-sia, yang tidak pantas untuk diperhatikan dalam tindakan dan pengajaran. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Yang perlu mendapatkan perhatian disini, yaitu dalam mengumandangkan takbir tidak disyari’atkan secara bersama dengan satu suara, sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang.

First  Prev  1  2  3  4  5  6  Next  Last

Bismillaahirrahmaanirrahiim Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga dicurahkan kepada Rasul termulia, juga kepada seluruh keluarga dan shahabatnya. Amma ba'du. Website almanhaj.or.id adalah sebuah media dakwah sangat ringkas dan sederhana, yang diupayakan untuk ikut serta dalam tasfiyah (membersihkan) umat dari syirik, bid'ah, serta gerakan pemikiran yang merusak ajaran Islam dan tarbiyah (mendidik) kaum muslimin berdasarkan ajaran Islam yang murni dan mengajak mereka kepada pola pikir ilmiah berdasarkan al-Qur'an dan as-Sunnah dengan pemahaman Salafush Shalih. Kebenaran dan kebaikan yang anda dapatkan dari website ini datangnya dari Allah Ta'ala, adapun yang berupa kesalahan datangnya dari syaithan, dan kami berlepas diri dari kesalahan tersebut ketika kami masih hidup ataupun ketika sudah mati. Semua tulisan atau kitab selain Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahihah dan maqbul, mempunyai celah untuk dikritik, disalahkan dan dibenarkan. Barangsiapa yang melihat adanya kesalahan hendaknya meluruskannya. Hati kami lapang dan telinga kami mendengar serta bersedia menerima. Semoga Allah menjadikan upaya ini sebagai amalan shalih yang bermanfaat pada hari yang tidak lagi bermanfaat harta dan anak-anak, melainkan orang yang menemui Rabb-nya dengan amalan shalih. Jazaakumullahu khairan almanhaj.or.id Abu Harits Abdillah - Redaktur Abu Khaulah al-Palimbani - Web Admin