Kategori Fiqih : Puasa Sunnah
Sabtu, 18 September 2010 15:36:01 WIB
Para ulama menganjurkan (istihbab) pelaksanaan puasa enam hari dikerjakan setelah langsung hari 'Idhul Fitri. Tujuannya, sebagai cerminan menyegerakan dalam melaksanakan kebaikan. Ini untuk menunjukkan bukti kecintaan kepada Allah, sebagai bukti tidak ada kebosanan beribadah (berpuasa) pada dirinya, untuk menghindari faktor-faktor yang bisa menghalanginya berpuasa, jika ditunda-tunda. Syaikh ‘Abdul Qadir bin Syaibah al Hamd menjelaskan : "Dalam hadits ini (yaitu hadits tentang puasa enam hari pada bulan Syawwal), tidak ada nash yang menyebutkan pelaksanaannya secara berurutan ataupun terpisah-pisah. Begitu pula, tidak ada nash yang menyatakan pelaksanaannya langsung setelah hari raya 'Idul Fithri. Berdasarkan hal ini, siapa saja yang melakukan puasa tersebut setelah hari Raya 'Idul Fithri secara langsung atau sebelum akhir Syawal, baik melaksanakan dengan beriringan atau terpisah-pisah, maka diharapkan ia mendapatkan apa yang dijanjikan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebab, itu semua menunjukkan ia telah berpuasa enam hari pada bulan Syawal setelah puasa bulan Ramadhan. Apalagi, terdapat kata sambung berbentuk tsumma, yang menunjukkan arti tarakhi (bisa dengan ditunda)”.
Jumat, 17 September 2010 15:14:17 WIB
Barangsiapa berpuasa Ramadhan, lalu diiringi dengan puasa enam hari dari bulan Syawwal, maka dia keluar dari dosa-dosanya sebagaimana saat dilahirkan dari perut ibunya. Syaikh al Albani mengatakan : Maudhu’ (palsu). Diriwayatkan oleh Imam ath Thabrani dalam kitab al Ausath melalui jalur Imran bin Harun, kami diberitahu oleh Maslamah bin Ali, kami diberitahu oleh Abu Abdillah al Hamsh dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar secara marfu’, dan beliau rahimahullah (Ath Thabrani) mengatakan : Hadits ini tidak diriwayatkan, kecuali oleh Abu Abdillah, dan Maslamah menyendiri dalam membawakan riwayat ini. Syaikh al Albani mengatakan : Orang ini (yakni Maslamah, Red) muttaham (tertuduh), ada beberapa riwayat maudhu’nya sudah dibawakan di depan, yaitu hadits no. 141, 145 dan 151. Sedangkan Abu Abdillah al Hamsh, saya cenderung memandang bahwa orang ini adalah Muhammad bin Sa’id al Asdiy al Mashlub al Kadzdzab (banyak berdusta) al waddha’ (sering memalsukan hadits). Mereka merubah nama orang ini menjadi sekitar seratus nama, untuk menutupi jati dirinya. Ada yang memberinya kunyah Abu Abdirrahman, Abu Abdillah, Abu Qais. Tentang nisbahnya, ada yang mengatakan, dia itu Dimasqiy (orang Damaskus), al Urduni (orang Urdun). Dan ada yang mengatakan ath Thabariy. Maka saya (Syaikh al Albani, Red) tidak menganggap mustahil, jika kemudian orang yang tertuduh, yaitu Maslamah mengatakan tentang orang ini : Abu Abdillah al Hamshy.
Kamis, 13 Desember 2007 14:37:48 WIB
Sudah terlalu sering saya ditanya tentang puasa pada hari tarwiyah (tanggal delapan Dzulhijjah) yang biasa diamalkan oleh umumnya kaum muslimin. Mereka berpuasa selama dua hari yaitu pada tanggal delapan dan sembilan Dzulhijjah (hari Arafah). Dan selalu pertanyaan itu saya jawab : Saya tidak tahu! Karena memang saya belum mendapatkan haditsnya yang mereka jadikan sandaran untuk berpuasa pada hari tarwiyah tersebut. Alhamdulillah, pada hari ini (3 Agustus 1987) saya telah menemukan haditsnya yang lafadznya sebagai berikut. “Puasa pada hari tarwiyah menghapuskan (dosa) satu tahun, dan puasa pada hari Arafah menghapuskan (dosa) dua tahun”. Saya berkata : Hadits ini derajatnya maudlu’.
Minggu, 25 Februari 2007 12:23:50 WIB
Allah Azza wa Jalla mewajibkan ibadah atas seseorag jika dia memilki kecakapan untuk melaksanakannya (memenuhi syarat taklif) yaitu berakal, sehingga mampu memahami segala sesuatu. Adapun orang yang kehilangan akal, maka tidak wajib melaksanakan ibadah. Berdasarkan ini, maka orang gila dan anak kecil yag belum mumayyiz (artinya belum mampu membedakan antara yang yang baik dan buruk) tidak wajib menunaikan ibadah. Ini satu bentuk rahmat Allah Azza wa Jalla. Demikian juga Al-Ma’tuh (kurang waras) dibawah level gila, demikian juga orang tua renta yang pikun, seperti yang dikemukakan penanya, maka dia tidak wajib melaksanakan ibadah puasa, shalat dan thaharah (beruci). Orang pikun itu layaknya anak kecil yang belum mumayyiz maka beban syari’at seperti thaharah, shalat dan puasa gugur atasnya. Adapun kewajiban yang berkaitan dengan harta benda, maka masih tetap berlaku meski dalam kondisi seperti ini. Misalnya zakat wajib dikeluarkan dari hartanya yang telah sampai nishan oleh orang yang mengurusnya. Sebab, zakat berhubungan dengan harta. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman. “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka”
Senin, 5 Februari 2007 01:53:00 WIB
Untuk menunjukkan perbedaan dalam masalah ini cukuplah aku sebutkan tiga kutipan: Imam ath-Thahawi dalam kitabnya, Syarh Ma’aanil Aatsaar (II/80) setelah meriwayatkan hadits (tentang larangan puasa sunnah pada hari Sabtu), ia berkata, “Sebagian kaum (ulama) berpendapat dengan hadits ini, maka mereka membenci puasa sunnah pada hari Sabtu.”. Ibnu Rusyd berkata dalam kitabnya Bidaayatul Mujtahid (V/216-217), “Dan adapun hari-hari yang dilarang berpuasa di dalamnya, ada yang disepakati dan ada yang diperselisihkan. Adapun yang disepakati adalah berpuasa di hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha, karena adanya ketetapan larangan berpuasa pada dua hari tersebut. Adapun yang diperselisihkan adalah hari Tasyrik (11,12,13 Dzulhijjah.-pent), hari yang diragukan (mengawali Ramadhan sudah masuk atau belum. -pent), hari Jum’at, hari Sabtu, setengah bulan terakhir dari bulan Sya’ban dan puasa yang dilakukan terus-menerus….” Lalu ia berkata (V/232), “Adapun hari Sabtu, maka sebab perbedaan ulama adalah perbedaan mereka dalam penshahihan hadits yang diriwayatkan dari Nabi, bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu kecuali yang diwajibkan atas kalian".
Senin, 2 Oktober 2006 14:11:12 WIB
Hal ini termasuk bid’ah, tiada dalilnya dari sunnah, bahkan sunnah bertentangan dengannya, karena Allah berfirman di dalam kitabnya yang mulia. "Makan dan minumlah hingga jelas bagimu benang merah dari benang putih yaitu fajar” . Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan di malam hari, makan dan minumlah sampai Ibnu Umi Maktum mengumandangkan adzan, karena dia tidak beradzan sampai terbit fajar” Imsak yang dilakukan oleh sebagian orang itu adalah suatu tambahan dari apa yang diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga menjadi kebatilan, dia termasuk perbuatan yang diada-adakan dalam agama Allah
First Prev 1 2 3 4 5 6 Next Last
