Kategori Fokus : Mabhats

Kuburan Di Musim Jelang Ramadhan

Selasa, 17 Juli 2012 21:05:11 WIB

Kuburan-kuburan yang dikeramatkan dari orang-orang yang disebut wali, pada hari-hari atau bulan-bulan tertentu, akan menjadi ramai dikunjungi orang dari berbagai daerah, termasuk pada saat menjelang Ramadhan. Masjid-masjid Allâh akan kalah ramai jika musim itu datang. Suasana di dalam lingkungan tanah pekuburan terasa lain, baik siang atau malam, berbau mistik. Ada yang tadarrus al-Qur'ân, ada yang meng-usap-usap nisan, ada yang melantunkan doa-doa dan ada yang menangis. Semuanya sedang merendahkan diri untuk bertabarruk (ngalapberkah) mencari syafâ'at dan mencari kesejahteraan hidup. Sebagian ada yang mungkin meminta-minta kepada orang yang telah dikubur ratusan tahun lamanya. Tetapi jika mereka disebut telah beribadah kepada selain Allâh, mereka menolaknya. Mereka menganggap bahwa orang-orang mati itu merupakan wasilah (perantara) menuju Allâh Azza wa Jalla. Seperti alasan orang-orang musyrikin arab dahulu yang disebutkan dalam firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala: "Orang-orang yang menjadikan selain Allâh sebagai wali (berkata), "Kami tidak menyembah mereka, kecuali hanya untuk mendekatkan diri kami kepada Allâh dengan sedekat-dektanya". Sementara sebagian lain mungkin ada yang ingin mencari kekhusyu'an dalam beribadah kepada Allâh di kuburan karena dianggapnya sebagai tempat yang dekat dengan kematian.

Prinsip Ahlus Sunnah wal Jama'ah Dalam Masalah Dien dan Iman

Sabtu, 16 Juli 2011 23:30:38 WIB

Imam Abu Ja’far ath-Thahawi (wafat th. 321 H) rahimahullah berkata, “Kami tidak mengkafirkan seorang pun dari ahli kiblat lantaran dosa-dosa yang dilakukan, selama dia tidak menghalalkan perbuatan dosa tersebut.” Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Bâz rahimahullah menjelaskan perkataan Imam Abu Ja’far ath-Thahawi di atas, “Perkataan beliau, ‘Kami tidak mengkafirkan seorang pun dari ahlul kiblat lantaran dosa yang mereka kerjakan selama mereka tidak menghalalkannya.’ Maksud beliau rahimahullah adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak mengkafirkan seorang Muslim yang bertauhid serta beriman kepada Allah dan hari Akhir. Seseorang tidak boleh divonis kafir hanya dikarenakan berbuat dosa, misalnya berzina, minum khamr, riba, durhaka kepada kedua orang tua, dan sejenisnya, selama pelakunya tidak menganggap perbuatan dosa itu halal. Namun apabila pelakunya telah menganggap perbuatan dosa itu halal, maka dia telah kafir. Karena dengan demikian berarti dia telah mendustakan Allah dan Rasul-Nya serta keluar dari agama. Apabila dia tidak menganggap perbuatan dosanya halal, (menurut pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah) maka dia tidak bisa divonis kafir. Dia dianggap seorang mukmin yang lemah imannya. Untuk orang ini, diberlakukan hukuman pelaku kemaksiatan yaitu dinyatakan sebagai orang fasiq dan ditegakkan hukuman hadd padanya, sebagaimana diatur dalam syari’at yang suci.

Perusak Keislaman

Jumat, 15 Juli 2011 23:31:55 WIB

Apalagi di zaman seperti sekarang ini, saat kepedulian terhadap agama ini mengalami penurunan drastis. Sementara para penyeru kesesatan bebas berkeliaran untuk menjajakan kesesatan lewat berbagai media. Kesesatan-kesesatan yang mereka jajakan dibungkus dengan kulit indah mempesona. Sehingga tak mengherankan, karena ketidaktahuan, banyak orang yang silau dan menerima kesesatan ini sebagai sebuah kebenaran yang dijadikan sebagai pedoman. Akibatnya, yang benar dianggap suatu yang keliru dan sebaliknya, kekufuran dianggap sebuah kemajuan dan dielu-elukan. Na’udzubillâh. Nikmat Islam ini berangsur-angsur hilang dari seseorang, akhirnya dia murtad (keluar dari Islam) dan statusnya berubah menjadi kafir. Para Ulama’ sejak zaman dahulu telah memberikan porsi perhatian lebih terhadap masalah-masalah yang bisa menyebabkan seseorang menjadi murtad (keluar dari agama Islam) ini. Mereka telah menyusun kitab kitab untuk menjelaskan permasalahan ini. Mereka juga membuat bab khusus dalam kitab-kitab fikih yang mereka sebut dengan “Bab Hukum Murtad”. Dalam bab ini, mereka menjelaskan dan memberikan perincian tentang hal-hal yang bisa membatalkan keislaman seseorang dan juga hukum orang yang melakukan pembatal-pembatal ini.

Beberapa Kesalahan Yang Terjadi Pada Bulan Rajab

Minggu, 5 Juni 2011 22:47:19 WIB

Bulan Rajab, adalah satu diantara bulan haram yang empat (Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, tiga bulan yang berurutan, kemudian yang keempat adalah Rajab, yang diapit oleh bulan Jumada, yakni Jumada Tsaniah dan Sya’ban). Empat bulan ini memiliki kekhususan yang sama, tanpa terkecuali bulan Rajab. Para ulama berselisih pendapat, diantara empat ini, mana yang paling baik. Sebagian Syafi'iyah berkata: “Yang paling baik adalah Rajab”. Tetapi pendapat ini dilemahkan oleh Imam Nawawi dan yang lainnya. Sebagian ulama berpendapat: “Bulan Muharram”. Ini adalah pendapat Al Hasan dan dikuatkan oleh Nawawi. Sebagian ulama berkata: ”Bulan Dzulhijjah”. Pendapat ini diriwayatkan dari Sa'id bin Jubair dan selainnya. Dan inilah yang lebih kuat. Demikian, sebagaimana dinukil dalam kitab Al Latha'if, karya Ibnu Rajab Al Hambali. Saya berkata (Syaikh Ibnu Utsaimin): Pendapat ini adalah benar. Karena dalam bulan Dzulhijjah terdapat dua keistimewaan. Yaitu, Dzulhijjah termasuk bulan-bulan haji, yang padanya terdapat hari Idul Adha. Dan yang kedua, karena Dzulhijjah termasuk bulan-bulan haram. Bulan Rajab adalah bulan yang diagungkan oleh orang-orang Jahiliyah, yakni mereka mengharamkan perang pada bulan-bulan tersebut, sebagaimana pada bulan-bulan haram lainnya. Kaum muslimin berbeda pendapat tentang haramnya berperang pada bulan ini.

Koreksi Terhadap Penyimpangan Umat Dalam Bulan Rajab

Sabtu, 4 Juni 2011 22:59:06 WIB

Tidak ada satu dalilpun yang shahih –yang secara khusus- menyebutkan keutamaan bulan Rajab, sebagaimana telah dituturkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dalam kitab Tabyin Al Ujab : “Tidak ada hadits shahih yang pantas untuk dijadikan hujjah dalam masalah keutamaan bulan Rajab, (dengan) puasa di dalamnya dan shalat malam khusus pada malam harinya”. Beliau juga berkata : “Sungguh Imam Abu Ismail Al Harawi Al Hafizh telah mendahuluiku menetapkan demikian. Kami meriwayatkan darinya dengan sanad yang shahih. Demikian pula kami meriwiyatkan dari selainnya”. Demikian pula kalangan ulama kritikus serta para huffazh telah mendahuluinya, diantaranya : Al ‘Allamah Ibnu Qayyim Al Jauziyah (wafat 751 H), beliau berkata di dalam Al Manar Al Munif, hlm. 96 : “Setiap hadits yang menyebutkan puasa Rajab dan shalat pada sebagian malamnya, maka itu kedustaan yang diada-adakan”. Al ‘Allamah Al Faqih Majdudin Al Fairuz Abadi (wafat 826 H), beliau berkata di penutup kitab Safar As Sa’adah, hlm. 150 : “Dan bab shalat raghaib, shalat nishfu sya’ban, shalat nishfu rajab, shalat iman, shalat malam mi’raj …, bab-bab ini, di dalamnya tidak ada sesuatu pun yang sah secara pokok”. Beliau juga berkata : “Bab puasa Rajab dan keutamaannya, tidak ada satupun yang tsabit, bahkan sebaliknya ada riwayat yang memakruhkannya”.

Memahami Kaidah-Kaidah Pengkafiran

Minggu, 22 Mei 2011 22:21:04 WIB

Syaikh Ali menjelaskan kewajiban para ulama untuk mentahdzir (memperingatkan) dari fitnah takfir (pemikiran menyimpang dalam mengkafirkan umat Islam dengan tanpa haq). Beliau menyatakan : “Sesungguhnya tahdzir (peringatan) yang keras terhadap fitnah takfir yang berlebihan sudah menjadi konsekwensi dan menjadi keharusan yang pasti, tatkala orang yang tidak berkompeten berbicara tentangnya, dan orang yang bukan ahlinya telah memasukinya.” (At Tabshir, hlm. 6). Hal itu, karena dampak takfir tanpa alasan yang benar sangat berbahaya. Syaikh menjelaskan: “Dan tidaklah suatu perkara sedemikian besar –bahaya dan fitnahnya-, kecuali lantaran dampaknya yang nyata dan terlihat begitu dahsyat terhadap individu dan masyarakat, (juga) sangat buruk terhadap umat manusia dan bangsa-bangsa”. (At Tabshir, hlm. 7). Anehnya, sebagian umat Islam saling berdebat dan sikap antipati, karena berpegang pada kalimat-kalimat yang dijadikan dasar wala’ (kecintaan dan pembelaan) dan bara’ (kebencian dan permusuhan). Tanpa pengkajian intensif dan pemahaman terhadap kandungannya. Sungguh, ini merupakan salah satu penyebab perselisihan. Imam Ibnu Abil ‘Izzi Al Hanafi rahimahullah berkata: “Demikian juga masalah-masalah yang diperselisihkan oleh para imam dalam perkara ushul (pokok-pokok agama) ataupun furu’ (cabang-cabang agama), jika tidak dikembalikan kepada Allah dan kepada Rasul, niscaya al haq akan menjadi kabur. Bahkan orang-orang yang berselisih berada di dalam ketidakjelasan dalam urusan mereka”. Lihat Syarh Al ‘Aqidah Ath Thahawiyah (2/777) dari At Tabshir, hlm. 9-10.

First  Prev  1  2  3  4  5  6  Next  Last

Bismillaahirrahmaanirrahiim Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga dicurahkan kepada Rasul termulia, juga kepada seluruh keluarga dan shahabatnya. Amma ba'du. Website almanhaj.or.id adalah sebuah media dakwah sangat ringkas dan sederhana, yang diupayakan untuk ikut serta dalam tasfiyah (membersihkan) umat dari syirik, bid'ah, serta gerakan pemikiran yang merusak ajaran Islam dan tarbiyah (mendidik) kaum muslimin berdasarkan ajaran Islam yang murni dan mengajak mereka kepada pola pikir ilmiah berdasarkan al-Qur'an dan as-Sunnah dengan pemahaman Salafush Shalih. Kebenaran dan kebaikan yang anda dapatkan dari website ini datangnya dari Allah Ta'ala, adapun yang berupa kesalahan datangnya dari syaithan, dan kami berlepas diri dari kesalahan tersebut ketika kami masih hidup ataupun ketika sudah mati. Semua tulisan atau kitab selain Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahihah dan maqbul, mempunyai celah untuk dikritik, disalahkan dan dibenarkan. Barangsiapa yang melihat adanya kesalahan hendaknya meluruskannya. Hati kami lapang dan telinga kami mendengar serta bersedia menerima. Semoga Allah menjadikan upaya ini sebagai amalan shalih yang bermanfaat pada hari yang tidak lagi bermanfaat harta dan anak-anak, melainkan orang yang menemui Rabb-nya dengan amalan shalih. Jazaakumullahu khairan almanhaj.or.id Abu Harits Abdillah - Redaktur Abu Khaulah al-Palimbani - Web Admin