Kategori Bahasan : Hadits (2)

Mengusap Jaurob (Kaos Kaki) Dan Sandal

Jumat, 28 Januari 2011 22:55:44 WIB

Dari al Azraq bin Qais, ia berkata: "Aku pernah melihat Anas bin Malik berhadats. Maka ia membasuh mukanya, dua tangan dan mengusap dua kaos kakinya yang terbuat dari wol". Aku bertanya,”Engkau mengusapnya?” Dia menjawab,”Keduanya adalah khuf, hanya saja terbuat dari wol". Anas menegaskan, kata khuf lebih umum tidak hanya sekedar terbuat dari kulit saja. Dan ia adalah seorang sahabat yang pakar dalam bahasa. Ada sebelas orang sahabat yang menyatakan bolehnya mengusap dua kaos kaki. Di antaranya : 'Umar dan putranya, yaitu 'Abdullah, kemudian 'Ali, Ibnu Mas'ud, Anas dan lain-lain. Dan pada masa itu, tidak ada yang menentang mereka, sehingga menjadi Ijma'. Kemudian jumhur ulama melarang mengusap dua kaos kaki yang tipis karena tidak menutupi bagian yang harus terkena air wudhu`. Disebutkan, bahwa ini –menurut penelitian- bukan syarat yang harus terpenuhi, sebagai hasil Qiyas pada khuf yang berlubang. Selain itu, kaos kaki tipis yang dipakai sekarang sifatnya nisbi (relatif). Maka pengajuan syarat-syarat ini bertentangan dengan tujuan syari’at yang berorientasi memberikan kelonggaran agar tidak ada kesempitan ataupun kesulitan. Faidah ; termasuk dalam makna kaos kaki, yaitu segala hal yang membalut dua kaki karena ada halangan, dan hal itu sulit untuk dilepaskan, sehingga boleh mengusapnya, sebagaimana dirajihkan oleh Syaikhul Islam. Dan hukum-hukum yang berkaitan dengan pengusapan pada kaos kaki sama dengan hukum pada pengusapan dua khuf.

Bab Bejana-Bejana (24-26)

Rabu, 24 Nopember 2010 15:37:01 WIB

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang mempergunakan atau memakai panci (tempat memasak), piring dan gelas dari Ahli Kitab (Yahudi dan Nashara) dan orang-orang kafir secara umum apabila mereka biasa memakainya untuk memasak daging babi, memakannya dan meminum khamr dengannya. Sebagaimana telah dijelaskan dalam salah satu riwayat Ahmad dan riwayat Abu Dawud di atas dengan bentuk muqayyad. Sedangkan lafazh yang sebelumnya mutlak, maka yang mutlak harus dibawa kepada yang muqayyad. Kecuali bila kita tidak mendapatkan yang lain, maka cucilah dengan air kemudian makanlah dan minumlah dengan piring dan gelas mereka. Inilah ‘illat atau sebab larangan di atas. Maka, apabila sebabnya telah hilang, yakni misalnya Ahli Kitab dan orang-orang kafir itu tidak memakan babi –qiaskanlah dengan segala binatang yang haram- dan meminum khamr di piring dan gelas mereka, maka kembali kepada hukum asal bejana mereka, yaitu suci yang dapat dimanfaatkan dan dipakai oleh kaum muslimin; berdasarkan kepada perbuatan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan taqrir atau persetujuan beliau : Dari Anas Radhiyallahu 'anhu, (ia berkata),”Bahwa seorang Yahudi pernah mengundang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk makan roti dari gandum dan lemak yang telah berubah baunya. Lalu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengabulkan undangannya.

Bab Bejana-Bejana (18-23)

Selasa, 23 Nopember 2010 16:29:32 WIB

Makan dan minum dengan memakai piring dan gelas dari emas dan perak hukumnya haram. Zhahir hadits menunjukkan dosa besar, karena orang yang melakukannya diancam dengan api neraka Jahannam. Menurut zhahir hadits, larangan tersebut hanya terbatas pada makan dan minum saja. Adapun menggunakan bejana emas dan perak untuk yang selain keduanya, seperti: berwudhu dari bejana emas dan perak, tidak terkena larangan tersebut, walaupun sebagian ulama memasukkannya ke dalam larangan. Misalnya, seperti Al Hafizh Ibnu Hajar. Oleh karena itu, beliau menurunkan kedua hadits tersebut dalam bab bejana sesuai dengan mazhabnya. Padahal, bukankah lebih tepat, jika kedua hadits di atas diturunkan dalam kitab makanan?! Mazhab beliau bersama sebagian ulama lainnya adalah mazhab yang lemah dalam masalah ini, karena tidak datangnya dalil, kecuali tentang larangan makan dan minum dari bejana emas dan perak. Inilah mazhab sebagian ulama seperti Shan’ani dalam kitab Subulus Salam dan Asy Syaukani ddalam Nailul Authar dan ulama-ulama lainnya. Zhahir hadits, juga membolehkan menggunakan bejana selain emas dan perak untuk makan dan minum, seperti dari mutiara dan lain-lain.

Bab Bejana-Bejana (12-17)

Selasa, 23 Nopember 2010 03:36:27 WIB

Najisnya air liur anjing berdasarkan penegasan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam “Sucinya bejana salah seorang dari kamu apabila dijilat anjing…” Adapun selain air liurnya, seperti badan atau bulunya, (maka) tidak najis, karena hadits di atas tidak menunjukkan najisnya anjing secara mutlak, kecuali air liurnya. Sedangkan menurut kaidah yang disepakati, bahwasannya asal segala sesuatu itu suci sampai datang dalil yang shahih dan tegas yang menyatakannya najis; kalau tidak ada dalil, maka kembali kepada hukum asalnya, yaitu suci. Inilah madzhab yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dari perselisihan para ulama. Adapun madzhab yang mengatakan, bahwa air liur anjing suci tidak najis, adalah madzhab yang batil. Pertama : Bahwa nash telah datang menegaskan, bahwa air liur anjing itu najis. Maka menurut kaidah yang telah disepakat “apabila nash telah datang, maka batallah segala pendapat”. Mereka yang mengatakan, bahwa air liur anjing itu tidak najis, (maka) secara terang-terangan telah melawan nash dengan pendapatnya, sehingga batallah pendapatnya. Karena dalil menegaskan: Sucinya bejana kamu yang dijilat oleh anjing, dicuci sebanyak tujuh kali dan yang pertama dicampur dengan tanah. Lafazh “suci” merupakan lawan bagi “najis”. Kedua: Sebagian dari mereka berdalil tentang sucinya air liur anjing dengan anjing yang dipakai untuk berburu yang menangkap binatang buruannya, yang tentu saja tidak selamat dari gigitan dan air liurnya.

Kitab Thaharah Bab Air (5-11)

Senin, 22 Nopember 2010 16:04:50 WIB

Demikian juga larangan kencing di air yang tergenang, bahkan lebih buruk lagi dari segi kebersihan, karena dikhawatirkan air kencing yang najis itu akan merubah salah satu sifat air itu sehingga air menjadi najis. Jadi larangan disini bersifat menjaga atau dikhawatirkan air yang suci mensucikan itu berubah salah satu sifatnya dengan sebab kemasukan najis, lalu air itu menjadi najis meskipun belum tentu berubah. Masalah ini di dalam ilmu ushul dinamakan saddan lidz dzari’ah ( سَدًّا لِلذَّرِيْعَةِ). Oleh karena itu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dengan tegas mengatakan : “Larangan beliau kencing di air yang tergenang tidak menunjukkan bahwa air itu menjadi najis dengan hanya semata-mata karena kencing, karena lafazhnya tidak menunjukkan seperti itu. Bahkan larangan beliau di atas sebagai saddan lidz dzari’ah (penutup jalan bagi sesuatu yang dilarang). Karena kencing itu sebagai “jalan atau wasilah” yang akan menajiskan air tersebut. Maka kalau yang ini kencing, kemudian yang itu pun kencing, niscaya air akan berubah (salah satu sifatnya) dengan sebab kencing tersebut. Oleh karena itu, larangan beliau sebagai saddan lidz dzari’ah. Atau dapat juga dikatakan sebagai sesuatu yang tidak disukai hanya semata-mata karena tabi’at, bukan karena najisnya.” (Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyyah 21/34).

Kitab Thaharah Bab Air (1-4)

Senin, 22 Nopember 2010 04:50:13 WIB

Sesungguhnya pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Bolehkah kami berwudlu dari sumur Budlo’ah yaitu sumur yang di situ biasa dibuang pembalut darah haidl, daging anjing dan kotoran’, jawab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Air itu suci tidak ada sesuatu pun yang dapat menajiskannya. Saya berkata: sanad hadits ini dla’if, karena Ubaidullah bin Abdillah bin Raafi’ bin Khudaij seorang rawi yang mastur atau majhul hal sebagaimana yang diterangkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Taqrib-nya (1/536). Di dalam riwayat Nasaa-i dan Ibnu Abi Syaibah dan lain-lain , sebagian rawi telah keliru mengatakan: “Ubaidullah bin Abdurrahman!? yang benar ialah ‘Ubaidullah bin Abdullah bin Raafi’i bin Khudaij .Oleh karena itu Bukhari dengan tegas mengatakan bahwa orang yang menamakannya ‘Ubaidullah bin Abdurrahman telah keliru sebagaimana telah diterangkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar di Tahdzibut Tahdzib (7/28). Meskipun demikian kedua orang rawi di atas, yaitu baik ‘Ubaidullah bin Abdullah atau ‘Ubaidullah bin Abdurrahman sama dla’if tidak dikenal atau majhul, akan tetapi hadits di atas meskipun sanadnya dla’if telah terangkat menjadi shahih lighairi karena telah ada beberapa jalan yang lain dan telah ada syawaa-hidnya dari hadits Ibnu Abbas (lihat no: 11), Aisyah -sebagaimana dikatakan Tirmidzi-, Jabir dan Sahl bin Sa’ad, dan hadits ini telah di-shahih-kan oleh para imam, diantaranya: Imam Ahmad bin Hambal, Yahya bin Ma’in, Ibnu Hazm, Al Baghawi dan lain-lain.

First  Prev  1  2  3  4  5  Next  Last

Bismillaahirrahmaanirrahiim Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga dicurahkan kepada Rasul termulia, juga kepada seluruh keluarga dan shahabatnya. Amma ba'du. Website almanhaj.or.id adalah sebuah media dakwah sangat ringkas dan sederhana, yang diupayakan untuk ikut serta dalam tasfiyah (membersihkan) umat dari syirik, bid'ah, serta gerakan pemikiran yang merusak ajaran Islam dan tarbiyah (mendidik) kaum muslimin berdasarkan ajaran Islam yang murni dan mengajak mereka kepada pola pikir ilmiah berdasarkan al-Qur'an dan as-Sunnah dengan pemahaman Salafush Shalih. Kebenaran dan kebaikan yang anda dapatkan dari website ini datangnya dari Allah Ta'ala, adapun yang berupa kesalahan datangnya dari syaithan, dan kami berlepas diri dari kesalahan tersebut ketika kami masih hidup ataupun ketika sudah mati. Semua tulisan atau kitab selain Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahihah dan maqbul, mempunyai celah untuk dikritik, disalahkan dan dibenarkan. Barangsiapa yang melihat adanya kesalahan hendaknya meluruskannya. Hati kami lapang dan telinga kami mendengar serta bersedia menerima. Semoga Allah menjadikan upaya ini sebagai amalan shalih yang bermanfaat pada hari yang tidak lagi bermanfaat harta dan anak-anak, melainkan orang yang menemui Rabb-nya dengan amalan shalih. Jazaakumullahu khairan almanhaj.or.id Abu Harits Abdillah - Redaktur Abu Khaulah al-Palimbani - Web Admin