Sabtu, 26 Februari 2005 14:21:50 WIB
Kategori : Kitab : Aqidah (Syarah)
Al-Imam Ibnul Jauzi (wafat th. 597 H) berkata dalam kitabnya Talbiis Ibliis: “Khawarij yang pertama dan paling jelek adalah Dzul Khuwaishirah.” Imam al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, bahwa ia berkata: “'Ali pernah mengirim sepotong emas dalam kantong kulit yang telah disamak dari Yaman kepada Rasulullah Shallallahu 'alaiahi wa sallam, dan emas itu belum dibersihkan dari kotorannya. Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membaginya kepada empat orang: ‘Uyainah bin Badr, Aqra’ bin Habis, Zaid al-Khail, dan ‘Alqamah atau ‘Amir bin ath-Thufail. Maka, seseorang dari sahabat mereka mengatakan: “Kami lebih berhak dengan (harta) ini dibanding mereka.” Ucapan itu sampai kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka beliau bersabda: “Apakah kalian tidak percaya kepadaku, padahal aku adalah kepercayaan Dzat yang ada di langit (yakni Allah), wahyu turun kepadaku dari langit di waktu pagi dan sore.” Kemudian datanglah seorang laki-laki yang cekung kedua matanya, menonjol bagian atas kedua pipinya, menonjol kedua dahinya, lebat jenggotnya, botak kepalanya dan tergulung sarungnya.
Jumat, 25 Februari 2005 11:20:10 WIB
Kategori : Risalah : Hukum
Aku berpendapat (sekarang ini) wajib menerangkan hadits-hadits yang dha’if di dalam setiap keadaan (dan setiap waktu), karena bila tidak diterangkan kepada ummat Islam tentang hadits-hadits dha’if, maka orang yang mem-baca kitab (atau mendengarkan) akan menyangka bahwa hadits itu shahih, lebih-lebih bila yang menukilnya atau menyampaikannya itu dari kalangan ulama Ahli Hadits. Hal tersebut karena ummat Islam yang awam menjadikan kitab dan ucapan ulama itu sebagai pegangan bagi mereka. Kita wajib menerangkan hadits-hadits dha’if dan tidak boleh mengamalkannya baik dalam ahkam maupun dalam masalah fadhaa-ilul a’maal dan lain-lainnya. Tidak boleh bagi siapa pun berhujjah (berdalil) melainkan dengan apa-apa yang sah dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dari hadits-hadits shahih atau hasan
Kamis, 24 Februari 2005 13:19:31 WIB
Kategori : Alwajiz : Haji & Umrah
Kemampuan bisa terealisir dengan keadaan sehat serta memiliki sesuatu yang cukup untuk pulang pergi, lebih dari kebutuhannya dan kebutuhan orang yang menjadi tanggungannya serta aman dalam perjalanannya. Disyaratkannya sehat, berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas bahwa seorang wanita dari Khats’am berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ayahku telah wajib untuk menunaikan haji sementara ia adalah orang yang sudah tua sekali tidak mampu untuk duduk di atas kendaraan, apakah boleh aku menghajikannya?” Beliau bersabda, “Hajikanlah dia.” Adapun memiliki sesuatu yang cukup melebihi kebutuhannya dan kebutuhan orang yang menjadi tanggungannya, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :“Cukuplah seseorang itu berdosa kalau ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.” Disyaratkan adanya keamanan, karena mewajibkan haji tanpa adanya keamanan merupakan suatu yang berbahaya dan hal ini secara syari’at harus ditiadakan. Haji bagi wanita : Apabila syarat-syarat kemampuan telah terpenuhi pada seorang wanita, maka ia wajib menunaikan haji sepenuhnya seperti laki-laki. Hanya saja ada syarat tambahan yaitu hendaknya ditemani oleh suami atau mahramnya. Kalau ia tidak mendapatkannya, maka ia tidak dinamakan mampu.
Rabu, 23 Februari 2005 14:49:33 WIB
Kategori : Risalah : Anak
Amal shalih anak yang belum baligh, pahalanya akan menjadi miliknya pribadi bukan milik kedua orang tuanya atau orang lain. Tapi orang tuanya mendapat pahala atas usaha mereka dalam mengajari, membimbing dan mendorong anak untuk beramal shalih. Hal ini merujuk kepada hadits dalam Shahih Muslim dari Ibu Abbas, bahwa ada seorang wanita mengangkat putranya kepada Nabi pada haji Wada' seraya berlata : "Wahai Rasulullah, apakah anak ini akan mendapatkan pahala hajinya ?". Rasulullah menjawab : "Betul, dan engkau juga memperoleh pahala". Nabi mengatakan bahwa haji tersebut milik sang anak, dan ibunya juga meraih pahala karena menyertainya. Demikianlah, selain orang tua juga bisa meraup pahala dari amal baiknya yang dilakukan seperti mencerdaskan (ta'lim) anak yatim, kerabat, para pembantu dan lain-lain.
Selasa, 22 Februari 2005 07:03:15 WIB
Kategori : Bahasan : Tauhid
Ada sebagian orang ketika dalam keadaan tertimpa musibah dan bencana, menyeru dalam do'anya, 'Ya Rasulullah !' Atau selain beliau dari para wali. Ketika dalam keadaan sakit mereka mendatangi kuburan orang-orang shalih dan beristighatsah dengan perantaraan mereka. Mereka mengatakan, sesungguhnya Allah akan menghilangkan bala' dengan perantaraan orang-orang shalih. Memang kami memohon pertolongan kepada mereka tetapi niat kami adalah kepada Allah karena Allah-lah yang memberi pengaruh. Apakah seperti ini syirik atau tidak, dan apakah mereka dikategorikan sebagai orang-orang musyrik, padahal mereka (juga) mengerjakan shalat, membaca Al-Qur'an dan amal shalih yang lainnya ?
Senin, 21 Februari 2005 11:50:53 WIB
Kategori : Risalah : Anak
Tempat kembali anak-anak kaum mukminin adalah Surga, sebab mereka mengikuti para orang tua mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala befirman. "Orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannnya". Adapun keturunan non muslim, menurut pendapat yang paling shahih, adalah kita mengatakan bahwa Allah Maha Mengetahui apa yang akan mereka lakukan. Di dunia mereka diperlakukan seperti kedua orang tuanya. Namun di akhirat, Allah Maha Mengetahui apa yang akan mereka lakukan
First Prev 316 317 318 319 320 321 322 323 324 325 326 Next Last
