Jumat, 19 Januari 2007 00:59:51 WIB
Kategori : Wanita : Thaharah
Cairan ini yang berwarna kekuning-kuningan atau cairan seperti lendir, selama belum nampak kesucian yang jelas dan nyata maka hukum cairan itu dikategorikan sebagai darah nifas, dengan demikian wanita itu belum dikatakan suci sebelum terhentinya aliran cairan berwarna kekuning-kuningan ini, jika cairan ini berhenti dan ia telah mendapatkan kesuciannya yang jelas dan nyata, maka wajib baginya untuk mandi, shalat dan puasa walaupun kesucian itu ia dapatkan sebelum empat puluh hari. Adapun masalah yang diduga oleh sebagian wanita, bahwa seorang wanita harus tetap meninggalkan shalat hingga mencapai empat puluh hari, walaupun ia telah mendapatkan kesuciannya sebelum empat puluh hari itu, adalah dugaan yang salah dan tidak benar
Kamis, 18 Januari 2007 00:46:18 WIB
Kategori : Wanita : Thaharah
Jika wanita nifas telah mendapatkan kesuciannya (tidak mengeluarkan darah nifas lagi) sebelum mencapai hari ke empat puluh maka ia harus mandi, shalat serta puasa dan bagi suaminya dibolehkan untuk mencampurinya, dan jika ia tetap mengeluarkan darah setelah empat puluh hari maka ia tetap menganggap dirinya dalam keadaan suci, karena hari ke empat puluh dianggap hari terakhir dari masa nifas menurut pendapat yang lebih kuat di antara dua pendapat para ulama. Sementara darah yang keluar setelah empat puluh hari dianggap darah penyakit dan hukumnya sama dengan hukum darah istihadhah, kecuali jika darah itu keluar sebagai darah haidh yang menyusul darah nifas, maka pada saat itu ia dianggap dalam keadaan haidh yang harus meninggalkan shalat dan puasa serta diharamkan suaminya untuk mencampurinya.
Rabu, 17 Januari 2007 04:13:58 WIB
Kategori : Wanita : Thaharah
Ada beberapa kondisi wanita yang sedang nifas. Pertama : Darah berhenti mengalir sebelum sampai pada hari ke empat puluh dan tidak kembali setelah itu. Jika darah itu telah berhenti mengalir darinya, maka saat itu ia segera harus mandi (bersuci) untuk melakukan shalat dan puasa. Kedua : Darah berhenti mengalir sebelum sampai pada hari ke empat puluh kemudian darah itu kembali mengalir sebelum mencapai empat puluh hari. Dalam kondisi semacam ini, jika darah berhenti mengalir maka ia harus mandi (bersuci) untuk melaksanakan shalat dan puasa, lalu jika darah nifas itu mengalir lagi maka ia harus meninggalkan shalat dan puasa, lalu puasanya di qadha tanpa harus mengqadha shalat. Ketiga : Darah terus mengalir hingga hari ke empat puluh. Dengan demikian si wanita harus meninggalkan shalat serta puasa selama empat puluh hari penuh, dan jika darah berhenti mengalir, maka ia harus segera bersuci untuk melaksanakan shalat dan puasa. Keempat : Darah terus mengalir hingga melebihi empat puluh hari
Selasa, 16 Januari 2007 08:17:07 WIB
Kategori : Fiqih : Bisnis & Riba
Dalam hal ini, Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu berkata : “Biarkan mereka mejualnya dan ambillah hasil penjualannya sebagai jizyah dan kharaj sebab Allah telah membolehkan mengambil harta rampasan dari orang-orang kafir sekalipun dari hasil-hasil khamr, babi dan pajak”. Berdasarkan hal ini pula, bunga-bunga yang diambil oleh pemilik modal, tidak halal akan tetapi dia tidak boleh membiarkannya diambil oleh orang-orang kafir yang memanfaatkannya untuk membangun gereja-gereja dan memerangi kaum muslimin bahkan dia harus mengalokasikannya untuk orang-orang miskin, masjid-masjid dan berbagai bentuk amal yang kiranya bermanfaat bagi kaum muslimin. Karena ia kembali kepada kaum muslimin, maka ia menjadi halal dan sifatnya sebagai khabits telah lenyap sama seperti hasil penjualan babi dan hasil pelacuran bila si pelakunya bertaubat, harus dialokasikan kepada kemaslahatan umum, kaum lemah, fakir dan sebagainya.
Senin, 15 Januari 2007 15:12:29 WIB
Kategori : Fiqih : Shalat
Ahlus Sunnah menganggap shalat berjama’ah di belakang imam baik yang shalih maupun yang fasik dari kaum Muslimin adalah sah. Dan menshalatkan siapa saja yang meninggal di antara mereka. Dalam Shahiihul Bukhari disebutkan bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma pernah shalat dengan bermakmum kepada al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi. Padahal al-Hajjaj adalah orang yang fasik dan bengis ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma adalah seorang Sahabat yang sangat hati-hati dalam menjaga dan mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan al-Hajjaj bin Yusuf adalah orang yang terkenal paling fasik. Demikian juga yang pernah dilakukan Sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu yang bermakmum kepada al-Hajjaj bin Yusuf.
Minggu, 14 Januari 2007 15:14:40 WIB
Kategori : Fiqih : Waris & Waqaf
Jika hukum-hukum syari’at, seperti shalat, zakat, haji dan yang lainnya dijelaskan secara global oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala lalu diperinci oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Sunnah, sedangkan hukum mawarits diterangkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala secara terperinci di dalam Al-Qur’an. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan di awal dan di akhir surat An-Nisa. Allah sendiri yang langsung membagi warisan demi kemaslahatan mahlukNya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan laki-laki memperoleh dua bagian dari perempuan, tidak ada seorangpun yang boleh menyangkal hukum dan peraturanNya, karena Dia-lah Dzat yang Maha Adil dan Bijaksana.
First Prev 208 209 210 211 212 213 214 215 216 217 218 Next Last
