Jumat, 29 Desember 2006 01:20:10 WIB
Kategori : Fiqih : Hari Raya
Dan sifat takbir yang masyru, ialah setiap muslim bertakbir dan mengeraskan suaranya sehingga orang-orang mendengarkan takbirnya, lalu merekapun mencontohnya dan ia mengingatkan mereka dengan takbir. Adapun takbir jama’i yang mubtada’ (yang bid’ah), ialah adanya sekelompok jama’ah –dua orang atau lebih banyak- mengangkat suara semuanya. Mereka memulai bersama-sama dan berakhir bersama-sama dengan satu suara serta dengan cara khusus. Amalan ini tidak mempunyai dasar serta tidak ada dalilnya. Hal seperti itu merupakan bid’ah dalam cara bertakbir. Allah tidak menurunkan dalil keterangan untuknya. Maka, barangsiapa yang mengingkari cara takbir yang seperti ini, berarti dia berpihak kepada yang haq, karena sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Barangsiapa yang mengamalkan amalan yang tidak berlandaskan perintah kami, maka amalan itu ditolak”.
Kamis, 28 Desember 2006 00:43:54 WIB
Kategori : Fiqih : Hari Raya
Takbir di syariatkan pada malam Iedul fithri dan Iedul adha dan setiap sepuluh Dzulhijjah secara mutlaq (umum). Juga setelah setiap shalat dari fajar hari Arafah sampai akhir hari-hari tasyriq. Dan telah dinukil dari Imam Ahmad, bahwa ia ditanya : “Hadits apa yang anda pegangi sehingga beranggapan, bahwa takbir dimulai dari shalat fajar hari Arafah sampai akhir hari-hari tasyriq?” Dia menjawab, “Dengan landasan ijma (kesepakatan ulama)”. Tapi takbir bersama dengan satu suara tidak disyariatkan. Bahkan cara itu merupakan bid’ah. Amalan itu tidak pernah dilakukan oleh generasi As-Salaf Ash-Shalih, baik dari kalangan sahabat Nabi, tabi’in maupun tabi’i-tabi’in. Padahal mereka itu sebagai teladan. Yang wajib ialah ittiba (menuruti dalil) serta tidak ibtida (mengada-ada) terhadap agama ini.
Rabu, 27 Desember 2006 00:38:55 WIB
Kategori : Fiqih : Hari Raya
Allah Ta'ala berfirman : "Dan hendaklah kalian mencukupkan bilangannya dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian, mudah-mudahan kalian mau bersyukur". Telah pasti riwayat bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Beliau keluar pada hari Idul fitri, maka beliau bertakbir hingga tiba di mushalla (tanah lapang), dan hingga ditunaikannya shalat. Apabila beliau telah menunaikan shalat, beliau menghentikan takbir". Berkata Al-Muhaddits Syaikh Al Albani : "Dalam hadits ini ada dalil disyari'atkannya melakukan takbir secara jahr (keras/bersuara) di jalanan menuju mushalla sebagaimana yang biasa dilakukan kaum muslimin. Meskipun banyak dari mereka mulai menganggap remeh sunnah ini hingga hampir-hampir sunnah ini sekedar menjadi berita ...
Selasa, 26 Desember 2006 01:19:32 WIB
Kategori : Wanita : Muslimah
Setelah kita mengetahui bahwa seluruh riwayat yang melarang orang yang junub dan perempuan haid/nifas berdiam atau tinggal di masjid semuanya dla’if. Demikian juga tafsir ayat 43 surat An-Nisaa yang melarang orang yang junub dan perempuan haid berdiam atau tinggal di masjid semuanya dla’if tidak ada satupun yang sah (shahih atau hasan). Bahkan tafsir yang shahih dan sesuai dengan maksud ayat ialah tafsir dari Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Abbas di atas. Yaitu, musafir yang terkena janabah dan dia tidak mendapatkan air lalu dia tayammum sampai dia memperoleh air. Jadi yang dimaksud dengan firman Allah ‘aabiri sabil ialah musafir. Bukanlah yang dimaksud orang yang masuk ke dalam masjid sekedar melewatinya tidak diam atau tinggal di dalamnya.
Senin, 25 Desember 2006 00:44:18 WIB
Kategori : Fiqih : Haji & Umrah
Sesunguhnya Allah telah mensyariatkan kepada kita, bahwa orang yang haji tamattu atau haji qiran wajib menyembelih kurban. Tapi jika tidak mampu, maka berpuasa sepuluh hari, tiga hari ketika dalam haji dan tujuh hari ketika kembali kepada keluarganya. Sedangkan kita tidak mempunyai hak sedikitpun untuk menentukan syari’at. Bahkan yang wajib atas kita adalah membenahi kesalahan atau kekurangan yang terjadi dalam pelaksanaan kurban. Yaitu dengan mengingatkan kepada para penguasa untuk menangani dan membagikan daging-daging kurban kepada orang-orang fakir dan miskin, serta peduli tentang tempat-tempat penyembelihan dengan memperluas dan memperbanyaknya di tanah suci sehingga memungkinkan bagi jama’ah haji menyembelih kurban dalam waktu luas lalu dibagikan kepada orang-orang miskin di Makkah dan di tempat lain.
Minggu, 24 Desember 2006 01:01:23 WIB
Kategori : Fiqih : Haji & Umrah
Tidak boleh mengganti hewan kurban untuk haji tamattu' dan haji qiran dengan sedekah dengan uang yang senilainya, berdasarkan Al-Qur'an, Sunnah dan Ijma yang melarang hal tersebut. Sebab yang dimaksudkan kurban adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan menyembelih kurban seperti disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala. "Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya". Dan karena salah satu dari beberapa kaidah syari'ah adalah menutup berbagai (Sadduz Dzarai). Sedangkan mengganti dengan nilai (uang) akan mengarah kepada mempermainkan hukum Islam. Seperti seseorang akan mengeluarkan ongkos haji untuk digantikan orang lain karena sulitnya melaksanakan haji pada saat ini.
First Prev 211 212 213 214 215 216 217 218 219 220 221 Next Last
