Jumat, 19 Nopember 2010 16:14:24 WIB
Kategori : Bahasan : Hadits (2)
Bahwa hukum asal segala sesuatu itu mubah (boleh), sampai datang dalil yang melarangnya. Ini berdasarkan perbuatan para sahabat yang langsung menyembelih, kemudian memasak daging keledai kampung tersebut. Tanpa bertanya terlebih dahulu kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berpegang dengan hukum asal di atas. Kemudian mereka berhenti ketika telah datang larangan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Bahwa suatu benda yang suci, apabila bersentuhan dengan benda yang najis, niscaya dia menjadi najis. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan para sahabat mencuci kuali tempat memasak daging keledai kampung. Walaupun asalnya suci, tetapi menjadi najis karena bersentuhan dengan daging keledai kampung yang najis. (Fat-hul Bari, no. 5.528). Bahwa sesuatu yang dipakai sebagai alat untuk sesuatu yang haram, seperti botol untuk khamr atau periuk (kuali) untuk memasak daging babi atau daging keledai kampung, jika masih bisa dimanfaatkan, maka boleh dipakai. Dan jika tidak bisa dimanfaatkan, hendaklah dihancurkan atau dipecahkan. Ini berdasarkan perintah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada para sahabat, agar mereka menghancurkan kuali-kuali tempat memasak daging-daging keledai kampung. Kemudian, ketika sebagian sahabat ingin memanfaatkannya setelah dicuci karena najisnya daging keledai kampong, Nabi pun membenarkannya. (Fat-hul Bari, Kitab Mazhaalim, Bab 32).
Minggu, 14 Nopember 2010 07:29:54 WIB
Kategori : Bahasan : Manhaj
Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullah mengatakan, kibr (sombong), ialah meninggikan diri. Seseorang meyakini dirinya sebagai orang yang besar, kedudukannya di atas orang lain, dia merasa memiliki kelebihan dari orang lain. Kesombongan ada dua macam, bersikap sombong terhadap al-haq dan sombong terhadap makhluk. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan kedua macam sikap sombong itu dalam sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam : "(Yang disebut) bersikap sombong, ialah menolak kebenaran dan merendahkan manusia". Yang disebut ghamthun-nâs, yaitu merendahkan manusia, meremehkannya, tidak memandang manusia sedikitpun, dia melihat dirinya di atas mereka. Adapun batharul-haq, yaitu tidak menerima kebenaran dan menolaknya, serta berpaling darinya. Bahkan menolaknya, dikarenakan percaya terhadap diri dan pendapatnya sendiri. Sehingga menganggap dirinya lebih besar dari al-haq. Tanda-tanda bersikap sombong ini, yaitu seseorang yang didatangkan kepadanya dalil-dalil dari al-Kitab dan as-Sunnah, dan dikatakan kepadanya: "Ini Kitab Allah, ini Sunnah Rasulullah," namun ia tidak mau menerimanya, bahkan terus memegangi pendapatnya. Maka sikap seperti ini merupakan penolakan terhadap kebenaran. Kita memohon perlindungan kepada Allah Azza wa Jalla dari sikap tercela ini.
Jumat, 12 Nopember 2010 16:34:21 WIB
Kategori : Fokus : Mabhats
Pada zaman ini, banyak permasalahan yang dihadapi setiap manusia -dan secara khusus kaum Muslimin-, baik berkaitan dengan masalah lahir, batin, ataupun kejiwaan. Dari sini, muncullah berbagai ragam usaha untuk mengatasi problematika hidupnya. Tujuan utamanya, pada dasarnya hanya satu, yaitu; mendapatkan kepuasan hati, ketenteraman hidup, dan ketenangan jiwa. Yang amat disayangkan, munculnya anggapan keliru karena ketidakpahaman atau karena belum mengerti, bahwa tidak semua hal yang mampu mendatangkan kepuasan, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwa menunjukkan kebenaran sesuatu tersebut. Ya, kita bisa katakan, benar, memang sesuatu tersebut dapat mendatangkan kepuasan, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwa. Namun permasalahannya, apakah semua hal yang bisa mendatangkan kepuasan, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwa bisa dibenarkan secara syar’i? Jadi, yang dimaksud “benar” disini adalah, benar secara tinjauan dan hukum syar’i. Jika tidak demikian, kita akan menemukan betapa banyak praktek-praktek yang memang telah terbukti mampu mendatangkan kepuasan hati, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwa orang. Sebagai contoh, sebutlah bersemedhi, bertapa, atau meditasi, atau terapi psikologis lainnya. Hal-hal tersebut memang terbukti mampu mendatangkan kepuasan hati, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwa orang yang melakukannya. Namun, apakah syariat Islam yang mulia dan sempurna ini membenarkannya?
Kamis, 11 Nopember 2010 15:53:12 WIB
Kategori : Fiqih : Shalat
Shalat menjadi penyejuk hati, kenikmatan jiwa dan surga hati bagi seorang muslim di dunia. Seolah-olah ia senantiasa berada di dalam penjara dan kesempitan, sampai akhirnya masuk ke dalam shalat, sehingga baru bisa beristirahat dari beban dunia dengan shalat. Dia meninggalkan dunia dan kesenangannya di depan pintu masjid, dia meninggalkan di sana harta dunia dan kesibukannya untuk membuka lembaran yang dia sebutkan di dalam hatinya. Masuk masjid dengan hati yang penuh rasa takut karena mengagungkan Allah mengharapkan pahalaNya. Abu Bakar ash Shiddiq Radhiyallahu 'anhu , apabila sedang dalam keadaan shalat, seolah-olah ia seperti tongkat yang ditancapkan. Apabila mengeraskan bacaannya, isakan tangis menyesaki batang lehernya. Sedangkan ‘Umar al Faruq Radhiyallahu 'nhu, apabila membaca, orang yang di belakangnya tidak bisa mendengar bacaannya karena tangisannya. Demikian juga ‘Umar bin Abdul Aziz rahimahullah, apabila dalam keadaan shalat, seolah-olah ia seperti tongkat kayu. Sedangkan ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu, apabila datang waktu shalat, bergetarlah ia dan berubah wajahnya. Tatkala ditanya, dia menjawab: “Sungguh sekarang ini adalah waktu amanah yang Allah tawarkan kepada langit, bumi dan gunung, mereka enggan untuk memikulnya dan takut dengan amanah ini, akan tetapi aku memikulnya”.
Rabu, 10 Nopember 2010 16:22:08 WIB
Kategori : Risalah : Rizqi & Harta
Ketahuilah, seseorang yang memakan harta haram, hidupnya tidak akan tenang dan bahagia. Doa yang dia panjatkan akan tertolak. Rasulullah telah menyebutkan sebuah kisah. Yaitu seorang laki-laki yang telah menempuh perjalanan jauh, sampai keadaannya menjadi kusut dan berdebu, kemudian dia menengadahkan tangannya ke langit seraya berdoa "ya Rabbi, ya Rabbi," akan tetapi makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dikenyangkan dari yang haram. Lantas, bagaimana mungkin doanya bisa dikabulkan?!. Oleh karena itu, ingatlah terhadap hisab, pembalasan dan siksa di akhirat. Para pelaku kezhaliman akan mengalami kebangkrutan di akhirat. Meskipun ia membawa pahala begitu banyak yang dikumpulkan ketika di dunia, namun pahala-pahala yang telah berhasil ia himpun sewaktu di dunia, akan dialihkan kepada orang-orang yang pernah dia zhalimi. Jika pahalanya telah habis sementara kezhaliman yang ia lakukan belum bisa tertutupi, maka dosa orang-orang yang dia zhalimi dialihkan kepada dirinya, sehingga dia terbebani dengan dosa orang-orang yang ia zhalimi tersebut, sehingga ia pun bangkrut tanpa pahala. Dan akhirnya dilemparkan ke dalam api neraka. Wal 'iyyadzu billah.
Selasa, 9 Nopember 2010 22:40:44 WIB
Kategori : Ahkam
Allah telah mengatur manusia melalui lisan RasulNya dengan syari'at sebagaimana tertuang dalam ajaran din (agama) ini. Demikian pula perihal perkara halal dan haram dalam bermu'amalah. Dalam salah satu hadits shahih riwayat Imam Bukhari dan Muslim, ada disebutkan bahwa yang halal maupun yang haram sudah sangat jelas. Namun, di antara halal dan haram tersebut terdapat perkara syubhat (samar), yang belum jelas hukumnya bagi kebanyakan orang. Yang belum jelas ini harus diwaspadai dan dijauhi oleh seorang muslim, demi keselamatan diri dan din-nya, bukan sebaliknya. Ironisnya, banyak juga dijumpai di antara kaum Muslimin yang tidak mengindahkan masalah tersebut. Bahkan lebih tragis lagi, ada di antaranya yang sengaja mencari celah-celah untuk merekayasa, membuat-buat trik atau tipu daya hal-hal yang telah jelas haram dengan upaya menyamarkan keadaan, sehingga akan nampak menjadi halal aatu boleh. Dalam istilah syari'at, perbuatan seperti ini disebut melakukan al hilah الحيلة)). Berbagai cara dilakukan untuk mengelabui kebanyakan orang, atau untuk memperdaya orang-orang yang kurang wara` dalam agamanya, sehingga mendapatkan label halal atau label boleh dalam bermu'amalah atau jual-beli mereka. Padahal, jika diamati, pada hakikatnya cara yang mereka tempuh tidak jauh berbeda dengan hukum aslinya
First Prev 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 Next Last
