Selasa, 26 Oktober 2010 16:33:26 WIB
Kategori : Adab Dan Perilaku
Al Qadhi ‘Iyadh menerangkan sabda beliau dengan: ‘Kerjakanlah amalan yang kalian sanggup untuk mengerjakannya dengan kontinyu’ . Sementara Imam An Nawawi rahimahullah menyimpulkan dari hadits di atas: ‘Di dalamnya terkandung anjuran untuk kontinyu dalam beribadah, dan amalan yang sedikit (tapi) kontinyu lebih baik daripada amalan banyak tapi ditinggalkan’. Para ulama telah memaksimalkan daya pikir untuk menyibak rahasia mengapa amalan sedikit tapi kontinyu dapat lebih utama dan mulia dibandingkan amalam lain. Di antara keterangan mereka: Al Qurthubi berkata: ‘Sebabnya, amalan yang ringan, bisa dikerjakan dengan berkesinambungan dan hati yang giat, sehingga pahala semakin banyak lantaran terjadinya pengulangan amalan tersebut yang disertai oleh konsentrasi pikirannya. Berbeda dengan amalan yang berat, biasanya disertai dengan terganggunya konsentrasi dan menyebabkan seseorang meninggalkannya’. Sementara itu, Imam An Nawawi memberikan alasan: ‘Amalan sedikit yang langgeng itu lebih baik dari amalan banyak tapi putus di jalan, karena dengan kontinyu dalam satu amalan yang sedikit, bararti ketaatannya kepada Allah juga berlangsung terus-menerus, demikian juga dzikir, muraqabah, niat, keikhjlasan serta sikapnya menghadapkan dirinya kepada Allah berjalan terus. Sehingga yang sedikit tapi kontinyu akan membuahkan hasil yang berlipat-lipat daripada amalan banyak tapi ditinggalkan”.
Senin, 25 Oktober 2010 15:38:40 WIB
Kategori : Al-Qur'an : Tafsir
Dan (ingatlah) ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): "Janganlah kamu memperserikatkan sesuatu pun dengan Aku dan sucikanlah rumahKu ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku’ dan sujud. Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. Supaya mereka mempersaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir. Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nadzar-nadzar mereka dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah). Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah, maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Rabb-nya. Dan telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu kaharamannya, maka jauhilah olehmu barhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan yang dusta".
Minggu, 24 Oktober 2010 16:03:04 WIB
Kategori : Fiqih : Haji & Umrah
Ibnu Jarir Ath Thabari meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Shahba' Al Bakri yang menyebutkan sebab munculnya anggapan sebagian orang, bahwa haji akbar itu adalah hari Nahar; ia berkata,”Aku bertanya kepada Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu tentang hari haji akbar yang disebutkan dalam surat At Taubah ayat 3. Ali berkata,”Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengutus Abu Bakar bin Abi Quhafah Radhiyallahu 'anhu untuk memimpin haji. Lalu beliau mengutusku bersamanya dengan membawa empat puluh ayat dari surat Al Bara'ah. Abu Bakar tiba di Arafah dan menyampaikan khutbah pada hari Arafah. Setelah menyampaikan khutbahnya, beliau memandang ke arahku lalu berkata,’Bangkitlah, hai Ali dan sampaikanlah risalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam‘. Lalu akupun bangkit dan membacakan kepada manusia empat puluh ayat dari surat Al Bara'ah (At Taubah). Kemudian kami bertolak dari Arafah dan tiba di Mina, aku melempar jumrah, menyembelih hewan kurban dan mencukur rambut. Aku lihat jama'ah haji di Mina tidak seluruhnya menghadiri khutbah Abu Bakar pada hari Arafah.
Sabtu, 23 Oktober 2010 16:13:47 WIB
Kategori : Fiqih : Haji & Umrah
Larangan itu hanya khusus pada rambut kepala, sedang rambut lainnya tidak terlarang. Ini merupakan pendapat Ibnu Hazm dan madzhab Zhahiriyah, mereka berkata: "Tidak benar berdalil dengan ayat tersebut karena ayat tersebut khusus kepada rambut kepala, dan tidak ada penjelasan tentang yang lainnya. Sedangkan qiyas membutuhkan persamaan Illat dalam cabang (furu') dan pokok (Ashl), kalau kalian menetapkan illat hal tersebut adalah sebagai kebersihan dan kesenangan, karena mencukur rambut kepala itu akan menghasilkan kebersihan, maka hal itu kurang tepat, karena muhrim (orang yang berihram) tidak dilarang makan-makanan yang enak dan baik, padahal hal tersebut juga menghasilkan kesenangan, demikian juga dia boleh memakai jenis bahan pakaian ihram yang sesukanya, dan illat (sebab) larangan mencukur rambut adalah dilarangnya satu syi'ar yang disyariatkan yaitu mencukur atau memangkas rambut sampai selesai umrah atau selesai melempar jumrah Aqabah, dan pendapat ini lebih kuat dari illat yang di atas. Demikian juga asal dari pengambilan rambut-rambut tubuh manusia adalah halal, maka kita tidak boleh melarangnya dari hal tersebut kecuali dengan dalil. Pendapat ini dikuatkan oleh syaikh Ibnu Utsaimin dengan perkataannya: "Dan ini lebih dekat (kepada kebenaran)"
Jumat, 22 Oktober 2010 15:47:44 WIB
Kategori : Fiqih : Haji & Umrah
Kata ihram diambil dari bahasa arab, dari kata "Al-haram" yang bermakna terlarang atau tercegah. Dinamakan ihram karena seseorang yang masuk kepada kehormatan ibadah haji dengan niatnya, dia dilarang berkata dan beramal dengan hal-hal tertentu, seperti jima', menikah, berucap ucapan kotor, dan lain-sebagainya. Dari sini dapat diambil satu definisi syar'i bahwa ihram adalah salah satu niat dari dua nusuk (yaitu haji dan umrah) atau kedua-duanya secara bersamaan. Berdasarkan ini, jelaslah kesalahan pemahaman sebagian kaum muslimin bahwa ihram adalah berpakaian dengan kain ihram, karena ihram adalah niat masuk ke dalam haji atau umrah, sedangkan berpakaian dengan kain ihram hanya merupakan satu keharusan bagi seorang yang telah berihram. Telah diketahui bersama bahwa seorang yang berniat melakukan haji atau umrah, diharuskan mencontoh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam melaksanakan hal tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh hadits-hadits yang shohih, sehingga dapat mengamalkan hadits Rasululloh Shallallahu 'alaihi wa sallam
Kamis, 21 Oktober 2010 15:28:30 WIB
Kategori : Fiqih : Haji & Umrah
Definisi Haji : Secara Etimologi Kata Hajji berasal dari bahasa arab yang bermakna tujuan dan dapat dibaca dengan dua lafazh Al-hajj dan Al-Hijj. Secara terminologi Syariat : Haji menurut istilah syar'i adalah beribadah kepada Allah dengan melaksanakan manasik yang telah ditetapkan dalam sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan ada yang berkata: "Haji adalah bepergian dengan tujuan ke tempat tertentu pada waktu yang tertentu untuk melaksanakan suatu amalan yang tertentu pula akan tetapi definisi ini kurang pas karena haji lebih khusus dari apa yang didefinisikan disini, karena seharusnya ditambah dengan satu ikatan yaitu ibadah, maka apa yang ada pada definisi pertama lebih sempurna dan menyeluruh. Haji merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima dan dia merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan bagi seorang muslim yang mampu, sebagaimana telah digariskan dan ditetapkan dalam Al-Qur'an, As-Sunnah dan Ijma'. "Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam". "Islam itu didrikan atas lima perkara yaitu persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah (dengan benar) kecuali Allah dan bersaksi bahwa Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat,berhaji ke baitullah dan puasa di bulan ramadhan".
First Prev 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 Next Last
