Selasa, 23 Nopember 2010 03:36:27 WIB
Kategori : Bahasan : Hadits (2)
Najisnya air liur anjing berdasarkan penegasan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam “Sucinya bejana salah seorang dari kamu apabila dijilat anjing…” Adapun selain air liurnya, seperti badan atau bulunya, (maka) tidak najis, karena hadits di atas tidak menunjukkan najisnya anjing secara mutlak, kecuali air liurnya. Sedangkan menurut kaidah yang disepakati, bahwasannya asal segala sesuatu itu suci sampai datang dalil yang shahih dan tegas yang menyatakannya najis; kalau tidak ada dalil, maka kembali kepada hukum asalnya, yaitu suci. Inilah madzhab yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dari perselisihan para ulama. Adapun madzhab yang mengatakan, bahwa air liur anjing suci tidak najis, adalah madzhab yang batil. Pertama : Bahwa nash telah datang menegaskan, bahwa air liur anjing itu najis. Maka menurut kaidah yang telah disepakat “apabila nash telah datang, maka batallah segala pendapat”. Mereka yang mengatakan, bahwa air liur anjing itu tidak najis, (maka) secara terang-terangan telah melawan nash dengan pendapatnya, sehingga batallah pendapatnya. Karena dalil menegaskan: Sucinya bejana kamu yang dijilat oleh anjing, dicuci sebanyak tujuh kali dan yang pertama dicampur dengan tanah. Lafazh “suci” merupakan lawan bagi “najis”. Kedua: Sebagian dari mereka berdalil tentang sucinya air liur anjing dengan anjing yang dipakai untuk berburu yang menangkap binatang buruannya, yang tentu saja tidak selamat dari gigitan dan air liurnya.
Senin, 22 Nopember 2010 16:04:50 WIB
Kategori : Bahasan : Hadits (2)
Demikian juga larangan kencing di air yang tergenang, bahkan lebih buruk lagi dari segi kebersihan, karena dikhawatirkan air kencing yang najis itu akan merubah salah satu sifat air itu sehingga air menjadi najis. Jadi larangan disini bersifat menjaga atau dikhawatirkan air yang suci mensucikan itu berubah salah satu sifatnya dengan sebab kemasukan najis, lalu air itu menjadi najis meskipun belum tentu berubah. Masalah ini di dalam ilmu ushul dinamakan saddan lidz dzari’ah ( سَدًّا لِلذَّرِيْعَةِ). Oleh karena itu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dengan tegas mengatakan : “Larangan beliau kencing di air yang tergenang tidak menunjukkan bahwa air itu menjadi najis dengan hanya semata-mata karena kencing, karena lafazhnya tidak menunjukkan seperti itu. Bahkan larangan beliau di atas sebagai saddan lidz dzari’ah (penutup jalan bagi sesuatu yang dilarang). Karena kencing itu sebagai “jalan atau wasilah” yang akan menajiskan air tersebut. Maka kalau yang ini kencing, kemudian yang itu pun kencing, niscaya air akan berubah (salah satu sifatnya) dengan sebab kencing tersebut. Oleh karena itu, larangan beliau sebagai saddan lidz dzari’ah. Atau dapat juga dikatakan sebagai sesuatu yang tidak disukai hanya semata-mata karena tabi’at, bukan karena najisnya.” (Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyyah 21/34).
Senin, 22 Nopember 2010 04:50:13 WIB
Kategori : Bahasan : Hadits (2)
Sesungguhnya pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Bolehkah kami berwudlu dari sumur Budlo’ah yaitu sumur yang di situ biasa dibuang pembalut darah haidl, daging anjing dan kotoran’, jawab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Air itu suci tidak ada sesuatu pun yang dapat menajiskannya. Saya berkata: sanad hadits ini dla’if, karena Ubaidullah bin Abdillah bin Raafi’ bin Khudaij seorang rawi yang mastur atau majhul hal sebagaimana yang diterangkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Taqrib-nya (1/536). Di dalam riwayat Nasaa-i dan Ibnu Abi Syaibah dan lain-lain , sebagian rawi telah keliru mengatakan: “Ubaidullah bin Abdurrahman!? yang benar ialah ‘Ubaidullah bin Abdullah bin Raafi’i bin Khudaij .Oleh karena itu Bukhari dengan tegas mengatakan bahwa orang yang menamakannya ‘Ubaidullah bin Abdurrahman telah keliru sebagaimana telah diterangkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar di Tahdzibut Tahdzib (7/28). Meskipun demikian kedua orang rawi di atas, yaitu baik ‘Ubaidullah bin Abdullah atau ‘Ubaidullah bin Abdurrahman sama dla’if tidak dikenal atau majhul, akan tetapi hadits di atas meskipun sanadnya dla’if telah terangkat menjadi shahih lighairi karena telah ada beberapa jalan yang lain dan telah ada syawaa-hidnya dari hadits Ibnu Abbas (lihat no: 11), Aisyah -sebagaimana dikatakan Tirmidzi-, Jabir dan Sahl bin Sa’ad, dan hadits ini telah di-shahih-kan oleh para imam, diantaranya: Imam Ahmad bin Hambal, Yahya bin Ma’in, Ibnu Hazm, Al Baghawi dan lain-lain.
Minggu, 21 Nopember 2010 15:37:11 WIB
Kategori : Bahasan : Hadits (2)
Dari hadits-hadits yang mulia di atas, dapat kita ambil beberapa hukum yang sangat penting untuk diketahui, di antaranya: Hukum najisnya darah haidh dan nifas. Dalam masalah ini para ulama telah ijma’. Adapun selain dari darah haidh, seperti darah yang keluar dari manusia dan hewan, (maka) tidak ada satupun dalil yang sah yang menajiskannya. Karena, hukum asal segala sesuatu itu suci sampai datang dalil yang tegas dan sah yang menajiskannya. Apabila tidak ada, maka dikembalikan kepada hukum asalnya, yaitu suci. Dan dalam masalah darah, tidak datang dalil kecuali dalil tentang najisnya darah haidh. Dalam hal ini, hanya terbatas pada dalil. Kalau ada dalil yang menetapkan sesuatu itu najis, maka kita tetapkan kenajisannya. Kalau tidak ada, maka hukum asal segala sesuatu itu suci (dan) tidak bisa dipalingkan dengan jalan qiyas. Darah haidh, banyak atau sedikit tetap najis. Dalam membersihkan darah haidh, disukai mempergunakan sesuatu, seperti sabun dan lain-lain. Setelah itu, kalau masih ada bekasnya, tidaklah mengapa.
Minggu, 21 Nopember 2010 15:16:29 WIB
Kategori : Bahasan : Hadits (2)
Di antara fiqih dari hadits-hadits yang mulia di atas ialah: Kencing bayi laki-laki yang belum memakan makanan, yakni masih menyusu, apabila mengenai pakaian dan lain-lain, (maka) cara membersihkannya cukup dipercikkan saja dengan air dan tidak harus dicuci, sebagaimana sabda dan perbuatan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas. Ini menunjukkan, kencing bayi laki-laki najis dengan najis yang ringan. Ketentuan di atas setelah memenuhi dua syarat. Pertama. Bayi tersebut adalah bayi laki-laki bukan bayi perempuan. Kedua. Bayi tersebut belum memakan makanan selain air susu ibu (asi). Apabila hilang salah satu atau kedua syarat di atas, misalnya bayi laki-laki itu telah diberi makan selain air susu ibu atau dia seorang bayi perempuan meskipun belum memakan makanan, kecuali air susu ibu, maka hukumnya najis seperti najisnya air kencing orang dewasa, dan mewajibkan mencuci sesuatu, seperti pakaian dan lain-lain yang terkena air kencingnya, sebagaimana dapat kita ketahui hukumnya dari hadits-hadits di atas. Bahwa syara’ yang bijaksana senantiasa membedakan antara laki-laki dan perempuan dalam sebagian hukumnya sampai kepada masalah kencing bayi laki-laki dan perempuan. Kalau kencing saja antara dua orang bayi laki-laki dan perempuan telah dibedakan, bagaimanakah tentang masalah kepemimpinan?
Sabtu, 20 Nopember 2010 15:46:20 WIB
Kategori : Bahasan : Hadits (2)
Bahwa air mani itu suci, tidak najis. Kedudukannya sama seperti air ludah, ingus dan air reak. Meskipun dianggap kotor, tetapi kotor bukan sebagai najis. Secara syar’i, ia tetap suci. Adapun kadang-kadang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan ‘Aisyah mencuci air mani yang menempel di pakaian Beliau, tidak menunjukkan najisnya, tetapi sebagai kebersihan saja. Seperti air ludah dan ingus yang mengenai pakaian kita, dikatakan kotor, kemudian dicuci untuk kebersihan. Demikian juga kuah sayur yang tumpah menimpa pakaian kita, dikatakan kotor, bukan kotor dalam arti najis secara syar’i. Dari sini, kita dapat mengambil satu kaidah, bahwa tidak setiap sesuatu yang dicuci atau dianggap kotor itu najis. Demikianlah yang menjadi mazhab Imam Asy Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal. Dan mazhab (pendapat) inilah yang dibela oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dengan pembelaan yang sangat kuat sekali. (Lihatlah keluasan dan kelengkapannya di Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyyah, juz 21 hlm. 587-607). Kewajiban seorang isteri berkhidmat kepada suami, hatta dalam masalah yang dianggap kotor oleh manusia. Zuhudnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam kehidupan dunia. Bahwa setiap perkataan dan perbuatan Nabi n tidak disembunyikan dari umatnya. Meskipun sesuatu yang biasanya disembunyikan oleh manusia, seperti urusan air mani. Dari kaidah ini, kita mengetahui, alangkah batilnya perkataan Rafidhah (Syi’ah), bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah merahasiakan sesuatu kepada Ali yang tidak diketahui oleh seorangpun juga dari umatnya.
First Prev 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 Next Last
