Kamis, 14 Oktober 2010 15:45:56 WIB
Kategori : Risalah : Keluarga
Dalam Al Qur’an disebutkan, bahwa Islam membenarkan adanya thalaq (perceraian), jika suami isteri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam ayat berikut : "Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim". Jadi tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami isteri melaksanakan syari'at Islam dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari'at Islam adalah wajib. Oleh karena itu, setiap muslim dan muslimah harus berusaha membina rumah tangga yang Islami. Ajaran Islam telah memberikan beberapa kriteria tentang calon pasangan yang ideal, agar terbentuk rumah tangga yang Islami.
Rabu, 13 Oktober 2010 15:30:04 WIB
Kategori : Bahasan : Assunnah
Al Qur’an, kitab suci yang tidak ada kebatilannya semenjak diturunkan, karena memang dijaga oleh Allah Al-‘Aziz (Yang Maha Perkasa), Al ‘Alim (Yang Maha Mengetahui). Dan As Sunnah, merupakan penjelasan Al Qur’an. Seperti telah disepakati oleh seluruh umat Islam yang terdahulu semuanya, bahwa Sunnah Nabi merupakan sumber kedua di dalam syari’at Islam dalam seluruh sisi kehidupan beragama. Dalam tulisan ini, secara ringkas akan kami sampaikan dalil-dalil dari para ulama tentang kewajiban berpegang dengan Sunnah, dalam seluruh sisi kehidupan. Namun sebelumnya, kami akan menyampaikan arti As Sunnah secara ringkas, agar tidak terjadi salah pemahaman. Secara bahasa, arti As Sunnah ialah jalan atau ajaran. Meliputi jalan yang baik atau yang buruk. Adapun Sunnah yang dimaksudkan dalam tulisan ini, ialah Sunnah menurut istilah ulama ushul fiqih, yaitu berupa dalil-dalil agama yang datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang bukan berupa Al Qur’an, meliputi qaul (perkataan), fi’il (perbuatan), dan taqrir (penetapan, pengakuan) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Yang dimaksudkan dalam tulisan ini bukan Sunnah dalam istilah ahli fiqih, yang semakna dengan mustahab, mandub, tathawwu’, atau nafilah. Juga bukan Sunnah dalam istilah ulama aqidah atau ulama Salaf, yang bermakna ajaran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya, yang lawannya adalah bid’ah. Tetapi Sunnah yang dimaksudkan dalam tulisan ini, yaitu menurut istilah ulama ushul fiqih, sebagaimana di atas. Inilah dalil-dalil yang menunjukkan bahwa Sunnah merupakan hujjah dan satu sumber agama yang wajib diikuti.
Selasa, 12 Oktober 2010 16:18:08 WIB
Kategori : Bahasan : Hadits (1)
Seluruh ayat Al Qur’an adalah haq. Satu dengan lainnya tidak ada yang kontradiktif, tetapi saling melengkapi dan menafsiri. Jika ayat-ayat ini tidak berbicara tentang adzab kubur, maka ayat-ayat yang lain telah membahasnya. Diantara perkara yang menyeret Ahli Bid’ah menuju kesesatan, yaitu selalu mengkonfrontasikan antar ayat, lebih mengutamakan satu ayat dengan mengesampingkan ayat lain, sebagaimana Qadariyah yang hanya mengimani ayat-ayat yang menunjukkan manusia mempunyai kehendak, atau kaum Jabriyah yang hanya mengimani ayat-ayat taqdir, atau juga para filosof-filosof muslim yang mengimani makhsyar ruhani dan mengingkari makhsyar jasadi. Perasaan orang yang mendapat adzab di akhirat, ketika dibangkitkan dari kuburnya, seolah-olah mereka bangun dari tidur, dan tidak tinggal di dunia melainkan sesaat. Ini karena dahsyatnya hari Kiamat, yang tidak dapat dibandingkan dengan adzab kubur. Sehingga, kehidupan dunia dan barzakh terasa sangat pendek. Dan mereka mengaku baru bangkit dari tidur, karena dalam sebagian hadits disebutkan, bahwa ahli kubur diberi raqdah (tidur sesaat). Yaitu sebelum tiupan kebangkitan. (Taisir Karimurrahman, 4/230). Ibn Abbas dan Qatadah menyatakan, apabila sangkakala telah ditiup, maka adzab kubur diberhentikan atas penghuni kubur, lalu mereka tidur hingga tiupan kebangkitan
Senin, 11 Oktober 2010 03:20:26 WIB
Kategori : Fiqih : Jenazah & Maut
Diantara aqidah Islam yang diimani oleh Rasul Allah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan yang diajarkan kepada umatnya adalah adanya fitnah dan adzab kubur. Oleh karena itu memahami aqidah ini adalah sebuah keniscayaan. Apalagi dengan adanya gerakan yang menghidupkan kembali kesesatan Khawarij dan sebagian Mu’tazilah yang mengingkari adanya adzab kubur dengan syubhat yang mereka lontarkan, yaitu : Pertama, adzab kubur itu irrasional. Kedua, haditsnya berstatus ahad yang berarti tidak meyakinkan. Sementara meyakini yang zhanni adalah haram. Ketiga, adzab kubur hanyalah masalah khilafiyyah. Keempat, dalil-dalil tentang adzab kubur saling bertentangan. Pada masa Imam al-Baihaqi (384-458 H), orang-orang Qadariyyah, Mu’tazilah bahkan Batiniyyah berpura-pura berintisab kepada madzhab hanafi. Ahli kalam dari kalangan mereka mengingkari hadits ahad dan mengingkari adzab kubur. Hal ini mendorong Imam al-Baihaqi untuk menulis kitab khusus yang berjudul “Itsbat Adzab al-Qabr”. Kitab ini sudah dicetak di Oman dengan tahqiq Dr. Syaraf Mahmud. Kini, karena pemikiran-pemikiran bid’ah ini muncul kembali dengan gencar, maka kami merasa terpanggil untuk memaparkan tentang fitnah kubur, adzab kubur, perintah memohon perlindungan dari adzab kubur, sebab-sebab yang mendatangkan adzab kubur dan yang menyelamatkan manusia darinya, sehingga menjadi jelas siapa yang benar dan siapa yang sesat, siapa yang mengikuti sunnah dan siapa yang mengikuti bid’ah, siapa yang mengikuti ulama salaf dan siapa yang mengkhianati mereka.
Minggu, 10 Oktober 2010 15:23:24 WIB
Kategori : Bahasan : Hadits (1)
Diantara prinsip sesat dan batil yang terlontar, misalnya pernyataan : “hadits ahad tidak boleh dijadikan hujjah dalam bidang aqidah”, “membangun aqidah dengan hadits ahad adalah batil dan haram”, “hadits ahad yang tidak sejalan dengan akal dan dzauq (rasa), wajib diragukan atau ditolak”. Ahad (آحاد) adalah bentuk jamak dari ahad (أَحَد), yang berarti satu orang yang sendirian, atau orang yang tidak ada duanya. Akan tetapi -dalam istilah ulama ushul- yang dimaksud dengan hadits ahad, adalah kabar berita yang dengan sendirinya tidak memberikan ilmu (keyakinan). Dalam arti, apakah tidak memberikan ilmu sama sekali? Ataukah memberikan ilmu dengan adanya qarinah (indikator) dari luar dirinya? Ini adalah definisi jumhur (mayoritas ulama). Jadi, berdasarkan definisi ini, hadits mustafidh atau masyhur juga termasuk ahad. Berbeda dengan kelompok Hanafiyyah. Al Amidi (w. 631 H) mengatakan: “Definisi yang paling dekat (kepada kebenaran tentang hadits ahad) adalah kabar yang tidak sampai pada batas mutawatir”. Para ulama bersepakat, bahwa hadits mutawatir itu memberikan ilmu dharuri (apriori dan aksiomatik) dan yaqini (pasti), karena tidak ada ruang bagi kemungkinan dusta atau salah dari para perawi. Adapun kabar ahad yang shahih, terdapat perselisihan yang banyak dan polemik yang panjang.
Sabtu, 9 Oktober 2010 15:29:57 WIB
Kategori : Bahasan : Hadits (1)
Mengharamkan khabar ahad untuk menjadi hujjah tanpa diperkuat dengan dalil dari Kitab Allah dan Sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, berarti telah menetapkan hukum tidak sesuai dengan apa yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kami meminta kepada mereka yang menuntut ditegakkan syari’at Allah, hendaknya mereka terlebih dahulu menegakkannya pada diri mereka. Seharusnya, ketika mereka menyaksikan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah pernah mengirimkan satu orang sahabat untuk membawa misi da’wah tentang aqidah ke penduduk Yaman, seharusnya mereka mau tunduk dan menerima kenyataan ini, serta mengatakan “sami’naa wa ‘atha’naa” (kami mendengar dan kami akan mengikutinya), bukannya mengatakan “sami’naa wa asha-inaa wa jaadalnaa wa ta’ashshobnaa” (kami mendengar, tapi kami tidak akan mengikutinya, bahkan kami akan mendebatnya dan fanatik). Sekiranya khabar ahad tidak bisa dijadikan hujjah, tentunya Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak hanya akan mengirim satu orang. Dan tentunya orang-orang di Yaman pun akan mengatakan kepada Mu’adz “kau datang sekarang ini sebagai khabar ahad, dan kami tidak akan dapat menerima ajaran-ajaran tentang aqidah darimu. Kembalilah engkau kepada Nabimu.
First Prev 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 Next Last
