Selasa, 22 Desember 2009 16:01:41 WIB
Kategori : Risalah : Keluarga
Pembicaraan tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) menjadi topik yang belakangan hangat dibicarakan. Media massa, lembaga swadaya masyarakat khususnya yang mengusung isu gender, lembaga bantuan hukum dan lembaga peradilan begitu tersibukkan dengan topik yang sebenarnya lama ini. Bahkan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah mengesahkan sebuah undang–undang khusus Antikekerasan dalam Rumah Tangga. Pembicaraan tentang KDRT yang terjadi di masyarakat kadang mengandung kebenaran. Tapi tidak jarang pembicaraan tersebut bermuatan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang luhur. Isu KDRT tidak jauh dari induk semangnya, yaitu isu hak asasi manusia (HAM) yang dikomentari oleh Mufti Kerajaan Saudi Arabia Syaikh 'Abdul-Aziz bin 'Abdullah Alu Syaikh -hafizhahullah- dengan mengatakan: "Sesungguhnya isu tentang HAM di berbagai belahan dunia pada zaman ini adalah kalimat haq urida biha bathil (kalimat yang benar, tapi dimaksudkan untuk hal yang salah)''. Yang menjadi kewajiban seorang muslim adalah kembali kepada petunjuk yang telah digariskan oleh Islam dalam setiap aspek kehidupan. Islam dengan kesempurnaannya tidak melalaikan aspek ini. Kedudukan antara suami, isteri dan anggota keluarga yang lain telah dijelaskan dalam agama kita.
Senin, 21 Desember 2009 16:47:25 WIB
Kategori : Wanita : Muslimah
Semua orang telah memahami bahwa ajaran Islam memuat unsur ibadah, qiyâdah (penataan), siyâsah (pembinaan masyarakat) dan sosial kemasyarakatan, ekonomi dan semua sendi kehidupan. Untuk menelaah dan mendalami semua itu, tidak begitu saja bisa diperoleh tanpa usaha. Namun harus dengan upaya pembelajaran dan berguru. Karenanya, mempelajari ajaran Islam –sebuah agama yang mempunyai cakupan ilmu yang luas, integral, mendalam lagi beragam– menjadi suatu kewajiban bagi setiap muslim dan muslimah. Sehingga tidak mengherankan apabila Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim ". Namun kenyataannya, ada saja yang berkomentar dengan sekedar bersandar pada tekstual hadits belaka tentang hukum wanita menuntut ilmu adalah nâfilah (sunnat) semata dan bukan wajib. Padahal sebenarnya kata "muslim" dalam hadits di atas bermakna orang yang telah beriman kepada risalah Islam baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan. Sehingga penakwilan semacam itu merupakan pemaknaan yang tidak benar. Oleh karena itu, Islam menaruh perhatian yang khusus pada pendidikan dan ilmu syar'i yang bermanfaat bagi mereka.
Minggu, 20 Desember 2009 15:55:51 WIB
Kategori : Risalah : Keluarga
Allah menciptakan wanita sebagai makhluk yang lemah. Di sisi lain, seorang lelaki ditakdirkan untuk memimpin wanita dengan kelebihan yang dikaruniakan Allah baginya. Sifatnya yang dominan, ingin mengatur, berkuasa akan tampak saat berinteraksi dengan anggota keluarga, khususnya sang istri; wanita asing yang masuk dalam kehidupan barunya. Tindak-tanduk si istri akan menguji kesabarannya. Lelaki yang buruk perangainya, akan terdorong berbuat aniaya kepada kaum yang lemah (istrinya). Kekerasan rumah tangga yang timbul dari suami terhadap istrinya, menunjukkan bahwa sang suami termasuk prototype orang yang lemah juga. Berbeda jika seorang suami termasuk sosok yang berkepribadian kuat, tegar lagi kokoh, maka hatinya tidak akan keras. Dia tidak tega berbuat aniaya terhadap kaum yang lemah. Barangsiapa mampu menguasai diri saat berhadapan dengan mereka, yaitu para wanita, sungguh kebaikan telah muncul pada dirinya. Al Mubarakfuri saat menerangkan hadits tersebut dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi (4/274) mengatakan: "Mereka (para wanita) adalah orang yang harus dirahmati (dikasihi) lantaran kelemahan fisik mereka".
Sabtu, 19 Desember 2009 15:28:04 WIB
Kategori : Al-Ilmu
rang yang berniat mencari ilmu yang haq harus memperhatikan dari siapa dia mengambil ilmu. Jangan sampai mengambil ilmu agama dari ahli bid’ah, karena mereka akan menyesatkan, baik disadari atau tanpa disadari. Sehingga hal ini akan mengantarkannya kepada jurang kehancuran. Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin t menyatakan, bahwa untuk meraih ilmu ada dua jalan. Pertama. Ilmu diambil dari kitab-kitab terpercaya, yang ditulis oleh para ulama yang telah dikenal tingkat keilmuan mereka, amanah, dan aqidah mereka bersih dari berbagai macam bid’ah dan khurafat (dongeng; kebodohan). Mengambil ilmu dari isi kitab-kitab, pasti seseorang akan sampai kepada derajat tertentu, tetapi pada jalan ini ada dua halangan. Halangan pertama, membutuhkan waktu yang lama dan penderitaan yang berat. Halangan kedua, ilmunya lemah, karena tidak dibangun di atas kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip. Kedua. Ilmu diambil dari seorang guru yang terpercaya di dalam ilmunya dan agamanya. Jalan ini lebih cepat dan lebih kokoh untuk meraih ilmu. Akan tetapi pantas disayangkan, pada zaman ini kita melihat fenomena pengambilan ilmu dari para ahli bid’ah marak di mana-mana, padahal perbuatan tersebut sangat ditentang oleh para ulama Salaf.
Jumat, 18 Desember 2009 16:03:10 WIB
Kategori : Risalah : Sakit, Obat
Di antara kewajiban pertama yang harus dilakukan oleh kedua orang tua, ialah memilihkan nama yang baik untuk anaknya. Bukan sekedar baik ketika didengar atau diucapkan, akan tetapi juga baik dari segala pertimbangan, dari makna maupun nilai sejarahnya. Pertimbangan pemilihan nama yang baik dapat menunjukkan identitas, baik secara agama maupun jenis kelamin. Oleh sebab itu, banyak ulama yang mencela penggunaan nama-nama yang terkesan "lembut" bagi anak laki-laki. Ibnu Qayyim rahimahullah berkata: "Ada hubungan keserasian antara nama dan pemiliknya. Sangat jarang terjadi ketidakserasian antara nama dan pemiliknya. Yang demikian itu, karena setiap kata sebagai pertanda makna yang terkandung di dalamnya. Dan nama adalah petunjuk bagi kepribadian pemiliknya. Bila engkau merenungkan julukan seseorang, niscaya makna dari julukan tersebut ada padanya. Sehingga nama yang buruk merupakan pertanda bahwa jiwa pemiliknya buruk. Sebagaimana wajah yang buruk, pertanda bagi buruknya jiwa seseorang". Oleh karena itu, bila seseorang yang ditimpa penyakit suka sesama jenis memiliki nama yang kurang menunjukkan jati dirinya, maka hendaklah segera merubah namanya, sehingga lebih menunjukkan jati dirinya sebagai seorang laki-laki atau wanita.
Kamis, 17 Desember 2009 23:30:40 WIB
Kategori : Bahasan : Hadits (1)
Marah ialah bergejolaknya darah dalam hati untuk menolak gangguan yang dikhawatirkan terjadi atau karena ingin balas dendam kepada orang yang menimpakan gangguan yang terjadi padanya. Marah banyak sekali menimbulkan perbuatan yang diharamkan seperti memukul, melempar barang pecah belah, menyiksa, menyakiti orang, dan mengeluarkan perkataan-perkataan yang diharamkan seperti menuduh, mencaci maki, berkata kotor, dan berbagai bentuk kezhaliman dan permusuhan, bahkan sampai membunuh, serta bisa jadi naik kepada tingkat kekufuran sebagaimana yang terjadi pada Jabalah bin Aiham, dan seperti sumpah-sumpah yang tidak boleh dipertahankan menurut syar’i, atau mencerai istri yang disusul dengan penyesalan. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqâlani rahimahullah berkata, “Adapun hakikat marah tidaklah dilarang karena merupakan perkara tabi’at yang tidak bisa hilang dari perilaku kebiasaan manusia.” Yang dimaksud dengan hadits di atas adalah marah yang dilakukan karena menuruti hawa nafsu dan menimbulkan kerusakan. Di dalam Al-Qur`ân Karim disebutkan bahwasanya Allah marah. Adapun marah yang dinisbatkan kepada Allah Ta’ala Yang Mahasuci adalah marah dan murka kepada orang-orang kafir, musyrik, munafik, dan orang-orang yang melewati batas-Nya.
First Prev 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 Next Last
