Sabtu, 9 Januari 2010 15:41:24 WIB
Kategori : Risalah : Rizqi & Harta
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Seandainya Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan Bani Adam (manusia) semuanya laki-laki, dan menjadikan wanita-wanita (isteri-isteri) mereka dari jenis selain mereka, mungkin dari jin atau binatang, maka tidak akan terjadi persatuan antara mereka dengan isteri-isteri mereka. Bahkan pasti akan terjadi keengganan, seandainya isteri-isteri itu bukan dari jenisnya. Kemudian, di antara kesempurnaan rahmat Allah terhadap Bani Adam, bahwa Dia menciptakan isteri-isteri mereka dari jenis mereka sendiri, dan menjadikan di antara mereka rasa kasih, yaitu kecintaan, dan rahmat, yaitu sayang. Karena seorang laki-laki menahan isterinya, kemungkinan kecintaannya kepada isterinya, atau karena sayangnya, karena dia telah memiliki anak darinya, atau karena dia membutuhkan nafkah darinya, atau karena keakraban antara keduanya, atau lainnya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir". Olleh karena itulah, kasih-sayang yang telah tumbuh di antara pasangan suami-isteri itu, selayaknya dijaga dan dikembangkan, sehingga tidak layu dan akhirnya sirna. Dari sini kita mengetahui keagungan syari’at Allah Azza wa Jalla yang menerangkan hak dan kewajiban suami-isteri.
Jumat, 8 Januari 2010 01:09:42 WIB
Kategori : Risalah : Keluarga
Ada kejadian, seorang laki-laki sebelum menikah menginginkan istri yang cantik parasnya dan beberapa kriteria lainnya. Tetapi pada saat pernikahan, dia mendapatkan istrinya sangat jauh dari kriteria yang ia tetapkan. Subhanallah! Inilah jodoh, walaupun sudah berusaha keras, tetapi jika Allah menghendaki lain, semua akan terjadi. Pada awalnya ia terkejut karena istrinya ternyata kurang cantik, padahal sebelumnya sudah nazhar (melihat) calon istrinya tersebut. Sampai ayah dari pihak suami menganjurkan anaknya untuk menceraikan istrinya tersebut. Tetapi kemudian ia bersabar. Dan ternyata ia mendapati istrinya tersebut sebagai wanita yang shalihah, rajin shalat, taat kepada orang tuanya, taat kepada suaminya, selalu menyenangkan suami, juga rajin shalat malam. Pada akhirnya, setelah sekian lama bergaul, sang suami ini merasa benar-benar puas dengan istrinya. Bahkan ia berpikir, lama-kelamaan istrinya bertambah cantik, dan ia sangat mencintai serta menyayanginya. Karena kesabaranlah Allah menumbuhkan cinta dan ketentraman. Ternyata faktor fisik tidaklah begitu pokok dalam menentukan kebahagiaan dan keharmonisan rumah tangga, walaupun bisa juga ikut berperan menentukan.
Kamis, 7 Januari 2010 16:14:30 WIB
Kategori : Risalah : Keluarga
Dalam Islam, terdapat beberapa aspek yang mendukung pelaksanaan tanggung jawab suami atas pasangan hidupnya. Beberapa aspek tersebut merupakan kewajiban yang ditetapkan oleh Islam (hak-hak istrinya) dan dijelaskan dalam nash-nash yang sharîh (tegas dan jelas, tidak mengandung multi penafsiran). Dari sisi aqidah, Allah Ta'ala Maha Mengetahui isi hati manusia dalam kesendiriannya maupun saat bersama dengan orang lain. Dia akan membalasnya dengan baik jika memenuhinya, sebagaimana akan menghukumnya atas keengganannya dalam menjalankan kewajiban itu. Selain itu, hak-hak sesama tersebut bagaikan hutang yang mesti dilunasi. Seorang yang gugur di medan perang (mati syahid) akan menghadapi persoalan karena hutang, apalagi selainnya. Adapun hukum-hukum produk manusia yang membicarakan hak-hak istri, tidak mempunyai kekuatan pendorong sebagaimana tertera di atas. Karenanya, akan dapat disaksikan, lelaki mudah berkelit dari kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan bagi istrinya sendiri. Gejala ini muncul tatkala terjadi pertikaian dan perbedaan pendapat mengenai pemenuhan kewajiban-kewajiban tersebut, karena tidak ada rasa takut kepada Allah Ta'ala dan tipisnya keimanan terhadap hari Akhir.
Rabu, 6 Januari 2010 07:50:49 WIB
Kategori : Fiqih : Nikah & Talak
Akan tetapi, kondisi ideal ini, terkadang terganggu oleh riak-riak yang pada akhirnya mempengaruhi tingkat mawaddah dan rahmat antara suami-istri. Suami berbalik membenci istrinya. Pada sebagian suami, tidak mampu bersabar sehingga tangan kuatnya diayunkan ke tubuh istri, dan menyebabkan istri mengerang kesakitan. Bekas-bekas penganiayaan pun terlihat jelas. Istrinya merasa tidak aman dan nyaman hidup dengan lelaki itu. Situasi kian memanas. Akibat emosi tak terkendali, kadang timbul aksi yang tidak diharapkan, semisal penganiayaan hingga pembunuhan, baik dari suami maupun istri. Nas`alullah as-salaamah. Syaikh 'Abdur-Rahmaan as-Sudais menyampaikan fakta: "Ada sejumlah lelaki (suami) yang tidak dikenal kecuali hanya dengan bahasa perintah dan larangan, hardikan, sifat arogan, buruk pergaulan, tidak ringan tangan, susah bertoleransi, emosional dan sangat reaktif. Jika berbicara, perkataannya menunjukkan dirinya bukan orang yang beradab. Dan bila berbuat, perilakunya mencerminkan kecerobohan. Di dalam rumah, suka menghitung-hitung kebaikannya di hadapan istri. Bila keluar rumah, prasangka buruk kepada istri menggelayuti pikirannya. Bukan pribadi yang lembut dan tidak sayang. Istrinya hidup dalam kesulitan, bergulat dengan kesengsaraan dan terpaksa mengalami prahara"
Selasa, 5 Januari 2010 16:03:03 WIB
Kategori : Fiqih : Shalat Jum'at
Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata,”Aku menyukai imam berkhutbah dengan (membaca) hamdallah, shalawat atas RasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam, nasihat, bacaan (ayat Al Qur’an), dan tidak lebih dari itu.” Syaikh Masyhur Hasan Salman berkata,”Sebagian orang yang mulia telah berkata: Khutbah yang paling tepat adalah yang sesuai dengan zaman, tempat, dan keadaan. Ketika ‘Idul Fithri, khathib menjelaskan hukum-hukum zakat fithrah. Di daerah yang penduduknya berselisih, menjelaskan persatuan. Atau orang-orang malas menuntut ilmu, khathib mendorong mereka menuntut ilmu. Orang tua-orang tua membiarkan pendidikan anak-anak, khathib mendorong mereka untuk itu, dan lain-lain yang sesuai dengan keadaan orang banyak, selaras dengan pendapat (kebutuhan) mereka, dan sesuai tabi’at mereka. Seseorang hendaklah berkhutbah sesuai dengan tempat dan keadaannya, memperhatikan keadaan manusia, memperhatikan perbuatan mereka, dan kejadian-kejadian setiap pekan. Kemudian, ketika naik mimbar, melarang mereka dari (kemungkaran) dan mengingatkan mereka terhadap kejadian-kejadian itu. Semoga mereka mendapatkan petunjuk kepada jalan yang lurus.
Selasa, 5 Januari 2010 07:19:25 WIB
Kategori : Fiqih : Shalat Jum'at
Sesungguhnya khutbah Jum’at merupakan kesempatan yang sangat besar untuk berdakwah dan membimbing manusia menuju keridhaan Allah. Hal itu, jika khutbah dimanfaatkan sebaik-baiknya, dengan menyampaikan materi yang dibutuhkan oleh hadirin menyangkut masalah agama mereka, dengan ringkas, tidak panjang lebar, dan dengan cara yang menarik serta tidak membosankan, sebagaimana dicontohkan telah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dari keterangan-keterangan di atas jelaslah, bahwa khutbah Jum’at memiliki kedudukan yang agung dalam syari’at Islam, sehingga sepantasnya seorang khatib melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Seorang khathib harus memahami aqidah yang shahihah (benar), sehingga dia tidak sesat dan menyesatkan orang lain. (Seorang khatib seharusnya) memahami fiqih, sehingga mampu membimbing manusia dengan cahaya syari’at menuju jalan yang lurus. (Seorang khatib harus) memperhatikan keadaan masyarakat, kemudian mengingatkan mereka dari penyimpangan-penyimpangan dan mendorong kepada ketaatan. Seorang khathib sepantasnya juga seorang yang shalih, mengamalkan ilmunya, tidak melanggar larangan, sehingga akan memberikan pengaruh kebaikan kepada para pendengar.
First Prev 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 Next Last
