Senin, 6 Juni 2011 21:59:01 WIB
Kategori : Fiqih : Shalat
Membicarakan tentang shalat Raghaib, tidak bisa dipisahkan dengan bulan Rajab. Karena, orang-orang yang mengamalkan shalat Raghaib, mereka melakukannya pada bulan Rajab. Sebagaimana kita ketahui, dahulu orang-orang Araba Jahiliyah memandang bulan Rajab ini memiliki arti penting dan keistimewaan dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya, sehingga mereka memberi nama bulan tersebut dengan kata “rajab”. Rajab berasal dari kata :رَجَبَ الرجل رَجَبًا وَ رَجَبَهُ يَرْجُبُ رَجلْبًا رُجُوْبًا , maknanya menghormati dan mengagungkan. Sehingga bulan Rajab ini bermakna bulan yang agung. Bulan Rajab memiliki 14 nama, yaitu Rajab, Al Asham, Al Ashab, Rajm, Al Harm, Al Muqim, Al Mu’alla, Manshal Al Asinnah, Manshal Al Aal, Al Mubri’ , Al Musyqisy, Syahru Al ‘Atirah dan Rajab Mudhar. Bulan Rajab tidak memiliki keistimewaan, kecuali sebagai salah satu dari empat yang menyandang sebagai bulan haram. Satupun tidak ada dalil yang sah, yang menunjukkan keutamaan dan pengkhususan bulan Rajab ini dengan melakukan amal ibadah tertentu. Namun, sangat disesalkan berkembang banyak kebid’ahan pada bulan ini, diantaranya bid’ah shalat Raghaib. Shalat Raghaib dilakukan pada awal malam Jum’at pertama bulan Rajab diantara shalat Maghrib dan Isya’ didahului dengan puasa hari Kamis, yaitu pada Kamis pertama bulan Rajab. Ibnu Utsaimin berkata: “Pada bulan Rajab terdapat shalat yang dinamakan dengan Shalat Raghaib. Dikerjakan malam Jum'at pertama antara Maghrib dan Isya', sebanyak 12 raka'at dengan sifat yang aneh, sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar di dalam kitab Tabyinul 'Ajab Bima Warada Fi Fadhli Rajab.”
Minggu, 5 Juni 2011 22:47:19 WIB
Kategori : Fokus : Mabhats
Bulan Rajab, adalah satu diantara bulan haram yang empat (Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, tiga bulan yang berurutan, kemudian yang keempat adalah Rajab, yang diapit oleh bulan Jumada, yakni Jumada Tsaniah dan Sya’ban). Empat bulan ini memiliki kekhususan yang sama, tanpa terkecuali bulan Rajab. Para ulama berselisih pendapat, diantara empat ini, mana yang paling baik. Sebagian Syafi'iyah berkata: “Yang paling baik adalah Rajab”. Tetapi pendapat ini dilemahkan oleh Imam Nawawi dan yang lainnya. Sebagian ulama berpendapat: “Bulan Muharram”. Ini adalah pendapat Al Hasan dan dikuatkan oleh Nawawi. Sebagian ulama berkata: ”Bulan Dzulhijjah”. Pendapat ini diriwayatkan dari Sa'id bin Jubair dan selainnya. Dan inilah yang lebih kuat. Demikian, sebagaimana dinukil dalam kitab Al Latha'if, karya Ibnu Rajab Al Hambali. Saya berkata (Syaikh Ibnu Utsaimin): Pendapat ini adalah benar. Karena dalam bulan Dzulhijjah terdapat dua keistimewaan. Yaitu, Dzulhijjah termasuk bulan-bulan haji, yang padanya terdapat hari Idul Adha. Dan yang kedua, karena Dzulhijjah termasuk bulan-bulan haram. Bulan Rajab adalah bulan yang diagungkan oleh orang-orang Jahiliyah, yakni mereka mengharamkan perang pada bulan-bulan tersebut, sebagaimana pada bulan-bulan haram lainnya. Kaum muslimin berbeda pendapat tentang haramnya berperang pada bulan ini.
Sabtu, 4 Juni 2011 22:59:06 WIB
Kategori : Fokus : Mabhats
Tidak ada satu dalilpun yang shahih –yang secara khusus- menyebutkan keutamaan bulan Rajab, sebagaimana telah dituturkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dalam kitab Tabyin Al Ujab : “Tidak ada hadits shahih yang pantas untuk dijadikan hujjah dalam masalah keutamaan bulan Rajab, (dengan) puasa di dalamnya dan shalat malam khusus pada malam harinya”. Beliau juga berkata : “Sungguh Imam Abu Ismail Al Harawi Al Hafizh telah mendahuluiku menetapkan demikian. Kami meriwayatkan darinya dengan sanad yang shahih. Demikian pula kami meriwiyatkan dari selainnya”. Demikian pula kalangan ulama kritikus serta para huffazh telah mendahuluinya, diantaranya : Al ‘Allamah Ibnu Qayyim Al Jauziyah (wafat 751 H), beliau berkata di dalam Al Manar Al Munif, hlm. 96 : “Setiap hadits yang menyebutkan puasa Rajab dan shalat pada sebagian malamnya, maka itu kedustaan yang diada-adakan”. Al ‘Allamah Al Faqih Majdudin Al Fairuz Abadi (wafat 826 H), beliau berkata di penutup kitab Safar As Sa’adah, hlm. 150 : “Dan bab shalat raghaib, shalat nishfu sya’ban, shalat nishfu rajab, shalat iman, shalat malam mi’raj …, bab-bab ini, di dalamnya tidak ada sesuatu pun yang sah secara pokok”. Beliau juga berkata : “Bab puasa Rajab dan keutamaannya, tidak ada satupun yang tsabit, bahkan sebaliknya ada riwayat yang memakruhkannya”.
Jumat, 3 Juni 2011 22:18:22 WIB
Kategori : Ahkam
Naskh menurut istilah Salafush Sholih Mutaqoddimin. Istilah naskh yang ada pada mereka lebih luas daripada definisi para ulama ushul Muta-akhirin. Hudzaifah Radhiyallahu 'anhu berkata: “Yang memberi fatwa kepada manusia hanyalah tiga orang: Orang yang mengetahui yang mansukh dari Al-Qur’an; atau amir (pemimpin) yang harus (berfatwa); atau orang dungu yang memaksakan diri”. Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata mengomentari perkataan di atas : “Yang dimaksudkan oleh beliau (Hudzaifah) dan yang dimaksudkan oleh kebanyakan Salaf dengan (istilah) naasikh dan mansukh terkadang adalah : menghapuskan hukum sekaligus, dan ini merupakan istilah muta-akhirin, dan terkadang adalah: menghapus penunjukkan dalil ‘am, mutlaq, zhohir, dan lainnya, kemungkinan dengan takhshish (pengkhususan), taqyiid (penentuan), atau membawa yang muthlaq kepada muqoyyad (yang ditentukan), dan tafsir (penjelasan) serta tanbiih (mengingatkan). Sehingga mereka (Salaf) menamakan istitsna’ (pengecualian), syarath, dan sifat dengan naskh, karena hal itu menghapus penunjukkan zhohir dan menjelaskan yang dimaksudkan. Maka naskh, menurut mereka (Salaf) dan bahasa mereka adalah: menjelaskan yang dimaksudkan dengan bukan lafazh itu, tetapi dengan perkara yang di luarnya. Barangsiapa memperhatikan perkataan mereka, akan melihat padanya dari hal itu apa-apa yang tidak dapat dihitung, dan dengan sebab itu akan hilang darinya kesulitan-kesulitan yang diakibatkan karena membawa perkataan mereka pada istilah baru yang akhir
Kamis, 2 Juni 2011 15:16:56 WIB
Kategori : Al-Qur'an
Adapun ayat 42 surat Al-Fushilat berbunyi: Kebatilan tidak akan datang kepadanya (al-Qur'an) baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari (Rabb) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. Ayat ini dipakai dalil oleh Abu Muslim Al-Ashfahani, seorang Mu’tazilah, tentang tidak adanya naskh dalam Al-Qur’an, karena dia menganggap naskh merupakan kebatilan. Namun pemahaman tersebut tidak benar! Tentang maksud ayat ini, Syeikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata: “Yaitu: Syaithan dari kalangan syaithon-syaithan jin dan manusia tidak akan mendekatinya, baik dengan mencuri (dengar-red), memasukkan sesuatu yang bukan darinya kepadanya, menambah, ataupun mengurangi. Maka Al-Qur’an itu terjaga di saat turunnya, terjaga lafazh-lafazhnya dan makna-maknanya. (Allah) Yang telah menurunkannya telah menjamin penjagaannya, sebagaimana Dia berfirman: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya". Dr. Ali bin Sa’id bin Shalih Adh-Dhuweihi berkata: “Sisi pertama: Sesungguhnya yang dimaksudkan dengan firman Allah: “Kebatilan tidak akan datang kepadanya (al-Qur'an)”, mungkin kebatilan (dalam ayat ini) maknanya adalah kedustaan. Yaitu: kedustaan tidak akan menyusulnya. Atau, kemungkinan yang dimaksudkan adalah bahwa kitab (Al-Qur’an) ini tidak didahului oleh kitab Allah Ta’ala yang membatalkannya, dan tidak akan datang setelahnya (kitab) yang akan membatalkannya.
Rabu, 1 Juni 2011 23:30:29 WIB
Kategori : Bahasan : Hadits (1)
Abu Bakar Muhammad bin Alth Thayyib Al Baqilani (wafat tahun 463) berkata,”Ahli bahasa Arab sepakat, bahwa perkataan ( صحابي) berasal dari kata (صُحْبَة ), dan bukan dari ukuran persahabatan yang khusus. Bahkan ia berlaku untuk semua orang yang menemani seseorang, baik sebentar atau lama,” kemudian ia menyatakan,”Secara bahasa menunjukkan, (bahwa) hal ini berlaku kepada orang yang menemani Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam walaupun sesaat pada siang hari. Demikian asal dari penamaan ini.” Sedangkan Imam Ahmad bin Hambal mendefinisikan sahabat dalam pernyataan beliau: “Setiap orang yang bersahabat dengan Nabi n setahun atau sebulan atau sehari atau sesaat atau hanya melihatnya, maka ia termasuk sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam“. Namun definisi yang rajih adalah menurut Al Hafizh Ibnu Hajar, yaitu: “Sahabat adalah orang yang berjumpa dengan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam keadaan mukmin (beriman kepadanya) dan meninggal dalam keadaan Islam. Sehingga tercakup dalam definisi ini orang yang berjumpa dengan Beliau dan bermulazamah (dalam waktu) lama atau sebentar, orang yang meriwayatkan hadits dari Beliau atau yang tidak, orang yang berperang bersama Beliau atau tidak, dan orang yang melihat Beliau walaupun belum bermajelis dengannya, dan orang yang tidak melihat Beliau karena buta.
First Prev 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 Next Last
