Kamis, 19 Mei 2011 14:46:59 WIB
Kategori : Fiqih : Jual Beli
Adapun batasan masjid yang dilarang berjual-beli, apakah di mulai dari pagar (gerbang) atau dimulai dengan temboknya? Kami belum mendapatkan penjelasan yang tegas dari para ulama. Diantara perkataan ulama yang kami dapati, yang nampaknya juga berkaitan dengan masalah ini ialah: Perkataan Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani rahimahullah : “Hukum serambi masjid dan yang dekat dari serambi adalah hukum masjid. Oleh karena itulah, kebiasaan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam jika mendapati baunya (yakni bau bawang putih atau semacamnya, Red) di dalam masjid, Beliau memerintahkan mengeluarkan orang yang didapati bau darinya menuju Baqi’, sebagaimana telah shahih di dalam (kitab Shahih Muslim. Perkataan Al Hafizh tersebut, juga dinukil oleh Syaikh Al Albani dalam kitab Ats Tsamar Al Mustathab (2/665). Demikian juga Syaikh Salim Al Hilali, beliau mengatakan: “Hukum arena masjid dan yang dekat darinya adalah hukum masjid. Hal itu nampak di dalam perbuatan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengeluarkan orang yang didapati darinya bau bawang putih, bawang merah, dan bawang kucai menuju Baqi’.
Selasa, 17 Mei 2011 23:18:41 WIB
Kategori : Fiqih : Jenazah & Maut
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah berkata: "Telah menjadi kebiasaan di beberapa negara Islam pada zaman sekarang adanya perintah untuk ihdad (berkabung) karena meninggalnya seorang raja atau pemimpin selama tiga hari atau kurang atau lebih, disertai dengan liburnya kantor-kantor pemerintahan dan pengibaran bendera. Tidak diragukan lagi, bahwa hal ini menyelisihi syari'at Islam dan tasyabbuh dengan musuh-musuh Islam. Padahal telah datang hadits-hadits yang shahih yang melarang dan memperingatkan tentang ihdad, kecuali bagi seorang istri, (dia) diperbolehkan ihdad ketika ditinggal mati suaminya selama empat bulan sepuluh hari. Sebagaimana boleh bagi wanita untuk ihdad tidak lebih dari tiga hari, apabila ada kerabatnya yang mati. Adapun selain itu, maka dilarang. Dan tidak ada tuntunannya di dalam syari'at yang sempurna ini dalil yang membolehkan ihdad terhadap seorang raja atau pemimpin atau orang lain. Padahal telah meninggal dunia pada zaman Nabi putra Beliau, (yaitu) Ibrahim dan tiga orang putrinya, dan Beliau tidak pernah ihdad sama sekali. Dan pada waktu itu, terbunuh panglima-panglima perang Mu'tah, Beliau pun tidak ihdad. Kemudian Beliau wafat, sedangkan Beliau makhluk yang paling mulia. Kematian Beliau merupakan musibah yang paling besar. Akan tetapi, tidak seorangpun diantara sahabat yang melakukan ihdad…."
Senin, 16 Mei 2011 22:46:42 WIB
Kategori : Fiqih : Jenazah & Maut
Diperbolehkan shalat ghaib bagi mayat yang belum di shalatkan di tempatnya semula. Karena Nabi menyalatkan Raja Najasyi yang meninggal dunia ketika Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahui berita kematiannya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: "Pendapat yang benar, mayat ghaib yang mati di tempat (di negara) yang belum dishalatkan disana, maka dishalatkan shalat ghaib. Sebagaimana Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyalatkan Najasyi, karena dia mati di lingkungan orang kafir dan belum dishalatkan di tempatnya tersebut. Apabila sudah dishalatkan, maka tidak dishalatkan shalat ghaib, karena kewajiban sudah gugur. Suatu saat, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyalatkan mayat yang ghaib, dan juga suatu ketika tidak menyalatkannya. Beliau mengerjakan dan Beliau meninggalkannya. Demikian ini merupakan sunnah. Yang satu dalam keadaan tertentu, dan yang lainnya dalam keadaan yang berbeda. Wallahu a'lam. Dan ini, juga merupakan pendapat yang dipilih Ibnul Qayyim rahimahullah ." Lihat Zaadul Ma'ad (1/520). Diperbolehkan untuk menyalatkan mayat yang dibunuh karena ditegakkan hukum Islam atas diri si mayit. Sebagaimana di dalam hadits Muslim tentang kisah wanita Juhainah yang berzina, kemudian bertaubat. Usai dirajam, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyalatkannya. Seorang pemimpin kaum muslimin/ahli ilmu dan tokoh agama tidak menyalatkan orang yang mencuri harta rampasan perang,atau orang yang mati bunuh diri.
Minggu, 15 Mei 2011 22:59:28 WIB
Kategori : Al-Qur'an
Sebagian kelompok, dengan sengaja melakukan penafsiran yang dipaksakan atas ayat tersebut, berkaitan dengan penyebutan kata "imam". Mereka melakukan penyelewengan terhadap makna ayat. Ini dilakukan untuk mendukung kepentingan golongan atau kelompoknya supaya bisa tetap eksis, dan para tokohnya teropini sebagai sosok yang hebat, lantaran akan dipanggil oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala saat hari Kiamat kelak. Para pengikutnya pun dibuat tercengang dengan tafsiran tersebut. Di antara golongan yang "memanfaatkan" ayat ini ialah Islam Jama'ah, yang kini bernama Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII). Kelompok yang sudah berulang kali berganti nama ini memelintir kandungan ayat di atas. Mereka memberi penafsiran, yang isinya diarahkan kepada pemimpin LDII, yaitu Nur Hasan Ubaidah Lubis (Madigol). Berdasarkan penuturannya dalam "tafsir manqul" miliknya, ia berkata: "Pada hari kami panggil setiap manusia dengan imam mereka, sehingga yang tidak punya amir, maka akan masuk neraka". Penyebutan kata "imam" yang dimaksud oleh LDII ialah amir mereka, yaitu Nur Hasan. Keterangan ini dituturkan oleh mantan tokoh besar LDII yang telah sadar, yaitu Ustadz Hâsyim Rifâ'i yang pernah berguru selama 17 tahun kepada Nur Hasan 'Ubaidah Lubis, pendiri LDII.
Sabtu, 14 Mei 2011 23:45:09 WIB
Kategori : Wanita : Muslimah
Ada orang yang apabila melihat kawannya mendapatkan kemuliaan, ilmu atau lainnya, ia hanya bisa tertegun sambil berkata dalam hati, bagimana aku bisa seperti dia? Atau kasus lain, seseorang selalu saja pesimis menghadapi suatu pekerjaan. Alasannya tidak lain, karena menurut yang ia dengan, pekerjaan yang dihadapinya itu sulit. Dalam realita lain, tatkala sebuah penyakit sedang mendera, penderita hanya pasrah total terhadap penyakit tersebut. Seharian dihabiskan dalam tangisan semata, tanpa usaha dan upaya. Seolah-olah harapan sudah tertutup rapat. Atau bisa saja dalam kehidupan rumah orang tua merasa capek, manakala melihat sang buah hatinya berulah, bandel dan nakal. Banyak petuah telah diupayakan agar sang anak menyadari pentingnya berbuat santun. Tapi apa dikata, ternyata sang anak justru melawan menentang. Dia tetap bandel, nakal dan urakan. Menghadapi kenyataan ini, terpaksa sebagai orang tua hanya mengelus dada, bersabar. Namun, terkadang membuatnya putus harapan mengahadapi kenyataan pahit ini. Itu sebagian potret sikap keterputus-asaan, yang terkadang menyelinap hinggap pada seseorang. Semua rasa pesimis tersebut harus dipupus. Karena, Allah pasti memberikan pertolongan dan jalan keluar bagi yang mau berusaha.
Jumat, 13 Mei 2011 22:33:31 WIB
Kategori : Fiqih : Jenazah & Maut
Manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup tanpa orang lain. ia memerlukan bergaul dengan orang lain. Ini merupakan fitrah. Tidak mungkin ada yang bisa menghindarinya, terlebih lagi pada era global sekarang ini, dunia layaknya sebuah kampung kecil saja. Berhubungan dengan orang lain, meski terkadang berefek negatif, manakala berlangsung tanpa kendali, tetapi ia juga merupakan peluang yang bisa mendatangkan beragam kemaslahatan, sekaligus ladang amal untuk memproleh pahala. Islam sangat responsif terhadap fenomena ini. Bukan sekedar komunikasi yang bertema dan berskala besar saja yang diperhatikannya, tetapi hubungan yang sangat kecil pun tak luput dari pantauannya. Ini tiada lain karena demi kemaslahatan manusia, sebagai makhluk yang berkepribadian mulia. Islam telah memberikan peraturan dalam masalah mu’amalah semacam ini, agar dalam pergaulan, manusia tidak melampui batas-batas koridor yang telah ditentukan syariat. Sehingga pergaulan tersebut tidak merugikan salah satu pihak. Salah satu dari bentuk mu’amalah tersebut adalah ta’ziyah. Atau biasa disebut melayat. Bagaimanakah penjelasan tentang masalah ini? Untuk menjelaskan masalah ta’ziyah ini, berikut kami ketengahkan ulasan yang diambil dari kitab at Ta`ziyah, karya Syaikh Musa'id bin Qashim al Falih, yang diterbitkan Dar al ‘Ashimah. Semoga bermanfaat.
First Prev 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 Next Last
