Minggu, 4 Oktober 2009 16:34:22 WIB
Kategori : Kitab : Qadha & Qadar
Diizinkan berdalih dengan qadar pada saat musibah menimpa manusia, seperti kefakiran, sakit, kematian kerabat, matinya tanaman, kerugian harta, pembunuhan yang tidak disengaja, dan sejenisnya, karena hal ini merupakan kesempurnaan ridha kepada Allah sebagai Rabb. Maka berdalih dengan takdir hanyalah terhadap musibah, bukan pada perbuatan aib. “Orang yang berbahagia, ia akan beristighfar dari perbuatan aib dan bersabar terhadap musibah, sebagaimana firman-Nya: ‘Maka bersabarlah kamu, karena sesungguhnya janji Allah itu benar, dan mohonlah ampunan untuk dosamu… ." Sedangkan orang yang celaka, ia akan bersedih ketika menghadapi musibah, dan berdalih dengan qadar atas perbuatan aib (yang dilakukannya).” Contoh berikut ini akan menjelaskan hal itu: Seandainya seseorang membunuh orang lain tanpa disengaja, kemudian orang lain mencelanya dan ia berargumen dengan takdir, maka argumennya tersebut diterima, tetapi hal itu tidak menghalanginya untuk diberi sanksi.
Sabtu, 3 Oktober 2009 01:26:43 WIB
Kategori : Fiqih : Shalat
Demikian juga bagi kaum Muslimin di Indonesia, karena berada di sebelah timur Ka’bah, maka kiblatnya ialah arah barat, dan tidak perlu menghitung derajat kemiringan ke arah utara. Yaitu anggapan bahwa kiblat itu menghadap ke arah barat, namun agak miring ke utara 26 derajat atau semacamnya. Mengapa, karena hal ini dikhawatirkan termasuk ghuluw (sikap melewati batas) dalam beragama. Selain itu, hal tersebut akan membawa kebingungan dan musibah bagi kaum muslimin. Misalnya masjid-masjid yang sekarang sudah dibangun, seandainya diukur derajatnya dengan kompas ke arah kiblat, lalu dianggap kurang tepat, maka kemudian masjid itu harus dirombak, atau menghadap kiblatnya dimiringkan dari bangunan masjid; yang demikian ini akan membawa musibah. Oleh karena itu, Imam Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah berkata: “Adapun ilmu astronomi, jika seseorang mempelajari darinya perkara yang dibutuhkan untuk penunjuk arah, mengetahui kiblat, dan mengetahui jalan-jalan, hal itu boleh menurut jumhur (mayoritas ulama). Sedangkan selebihnya, maka ia tidak membutuhkannya, karena hal itu akan menyibukkannya dari perkara yang lebih penting darinya.
Jumat, 2 Oktober 2009 22:16:28 WIB
Kategori : Risalah : Tazkiyah Nufus
Saudaraku tercinta…Sebab kegalauan hidup itu ada lima macam dan seyogyanya seseorang merasakan kegalauan karena kelima macam tersebut: Pertama : Kegalauan karena dosa pada masa lampau, karena dia telah melakukan sebuah perbuatan dosa sedangkan dia tidak tahu apakah dosa tersebut diampuni atau tidak? Dalam keadaan tersebut dia harus selalu merasakan kegalauan dan sibuk karenanya. Kedua : Dia telah melakukan kebaikan, tetapi dia tidak tahu apakah kebaikan tersebut diterima atau tidak. Ketiga : Dia mengetahui kehidupannya yang telah lalu dan apa yang terjadi kepadanya, tetapi dia tidak mengetahui apa yang akan menimpanya pada masa mendatang. Keempat : Dia mengetahui bahwa Allah menyiapkan dua tempat untuk manusia pada hari Kiamat, tetapi dia tidak mengetahui ke manakah dia akan kembali (apakah ke Surga atau ke Neraka)? Kelima : Dia tidak tahu apakah Allah ridha kepadanya atau membencinya? Siapa yang merasa galau dengan lima hal di atas dalam kehidupannya, maka tidak ada kesempatan baginya untuk tertawa.
Kamis, 1 Oktober 2009 22:32:27 WIB
Kategori : Risalah : Tazkiyah Nufus
Saudaraku… . Jika semua orang selalu membutuhkan dunia, maka engkau harus merasa butuh kepada Allah. Jika mereka berbahagia dengan dunia, maka engkau harus berbahagia dengan beribadah kepada Allah. Jika mereka merasa senang dengan orang yang mereka cintai, maka engkau harus merasa senang bersama Allah. Dan jika mereka selalu mendekati raja-raja dan para pembesar mereka serta mendekat kepada mereka agar mendapatkan kedudukan dan kemuliaan, maka kenalilah dan mendekatlah engkau kepada Allah, niscaya engkau akan mendapatkan puncak dari kemuliaan dan kedudukan. ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz rahimahullah di dalam khutbahnya berkata, “Setiap perjalanan membutuhkan bekal, maka bekalilah diri kalian dengan ketakwaan untuk perjalanan dari dunia menuju akhirat. Jadilah seperti orang yang benar-benar diancam dengan siksa Allah sehingga kalian merasa takut dan berharap. Dan janganlah merasakan tenggang waktu yang masih panjang sehingga hati menjadi keras dan akhirnya kalian tunduk kepada musuh, karena sesungguhnya panjang angan-angan diperuntukkan bagi orang yang tidak tahu bahwa dia tidak akan menemukan waktu sore ketika dia berada di waktu pagi.
Rabu, 30 September 2009 22:58:00 WIB
Kategori : Risalah : Tazkiyah Nufus
Saudaraku semuslim…Siapa yang mencurahkan kemampuannya untuk berfikir dengan sempurna, dia akan memahami bahwa dunia ini adalah sebuah perjalanan, maka dia akan selalu mengumpulkan perbekalan untuknya. Dia juga tahu bahwa perjalanan tersebut dimulai dari punggung seorang ayah, menuju perut seorang ibu, lalu ke dunia, ke kuburan, setelah itu menuju alam Mahsyar, dan yang terakhir menuju tempat yang abadi. Inilah tempat keselamatan dari segala “penyakit,” yaitu tempat yang kekal abadi. Sedangkan syaitan menawan kita untuk tetap menuju dunia, sehingga kita terus bersemangat dalam keluarga yang hancur berantakan, kemudian dia selalu mendorong kita menuju tempat kita semula. Ketahuilah bahwa batas kehidupan di dunia hanyalah hitungan nafas, perjalanan yang cepat dan tak terasa bagaikan perjalanan sebuah kapal yang tidak dirasakan oleh penumpang yang duduk di atasnya. Sudah semestinya, dia harus memiliki bekal, dan tidak ada bekal menuju perjalanan akhirat kecuali ketakwaan. Oleh karena itu, seseorang haruslah sabar dan merasakan lelahnya kehidupan dalam melaksanakan ketakwaan, sehingga dalam perjalanannya dia tidak berkata, “Ya Rabb-ku! Kembalikanlah aku.”
Selasa, 29 September 2009 15:57:29 WIB
Kategori : Risalah : Tazkiyah Nufus
Saudaraku semuslim, Malam dan siang hanyalah sebuah perjalanan yang selalu dilalui oleh setiap insan, dia melewatinya selangkah demi selangkah sehingga sampai pada akhir sebuah perjalanan. Jika Anda bisa mempersembahkan sebuah perbekalan pada setiap langkah tersebut, maka lakukanlah, karena tidak lama lagi perjalanan ini akan berakhir, bahkan dia berlari dengan lebih cepat dari yang engkau bayangkan. Maka bekalilah dirimu dalam perjalanan ini dan lakukanlah kewajibanmu, seakan-akan engkau sedang ada dalam perjalanan yang banyak mengandung bahaya para perampok. Seorang Salaf menulis surat kepada saudaranya (yang isinya), “Wahai saudaraku, engkau berkhayal bahwa engkau selamanya berada di dunia, akan tetapi sebenarnya engkau ada dalam sebuah perjalanan. Engkau digiring dengan cepat, kematian datang menghadangmu, sedangkan dunia telah menggulung tikarnya di belakangmu, umurmu yang telah berlalu sama sekali tidak akan kembali.”
First Prev 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 Next Last
