Sabtu, 17 Juli 2010 15:22:19 WIB
Kategori : Bahasan : Tauhid
Setelah menyebutkan ketiga jenis tawassul masyru’ di atas Syeikh Al-Albani rahimahullah berkata: “Adapun tawassul- tawassul selain ini, maka terjadi perselisihan. Sedangkan yang kami yakini dan kami jadikan agama kepada Allah adalah bahwa hal itu tidak boleh, tidak disyari’atkan. Karena tidak ada dalil padanya yang dapat menegakkan hujjah, dan telah diingkari oleh para ulama peneliti pada generasi-generasi Islam yang silih berganti. Walaupun sebagian ulama telah membolehkan sebagian (jenis) tawassul, imam Ahmad membolehkan bertawassul dengan Rasulullah n saja, sedangkan imam Syaukani membolehkan bertawassul dengan beliau n dan dengan lainnya, dari para nabi dan orang-orang shalih, tetapi kami –sebagaimana kebiasaan kami di dalam seluruh perkara-perkara yang diperselisihkan- hanyalah mengikuti dalil yang ada, kami tidak fanatik pada manusia, kami tidak cenderung kepada seorangpun kecuali karena kebenaran yang kami lihat dan kami yakini. Sedangkan dalam masalah tawassul, kami melihat bahwa kebenaran bersama orang-orang yang melarang bertawassul dengan makhluk. Dan kami tidak melihat dalil shahih yang dapat dipegangi bagi orang-orang yang membolehkannya. Dan kami menuntut mereka untuk membawakan nash shahih dan nyata dari Al-Kitab dan As-Sunnah tentang bertawassul dengan makhluk, tetapi sangat jauh mereka mendapati sesuatu yang menguatkan pendapat mereka.
Jumat, 16 Juli 2010 16:20:56 WIB
Kategori : Wanita : Kesehatan
Termasuk sunnah yang paling sering dan yang paling senang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah bersiwak. Siwak merupakan pekerjaan yang ringan namun memiliki faedah yang banyak baik bersifat keduniaan yaitu berupa kebersihan mulut, sehat dan putihnya gigi, menghilangkan bau mulut, dan lain-lain, maupun faedah-faedah yang bersifat akhirat, yaitu ittiba’ kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mendapatkan keridhaan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Siwak merupakan kebersihan bagi mulut dan keridhoan bagi Rabb”. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam begitu bersemangat melakukannya dan sangat ingin agar umatnya pun melakukan sebagaimana yang dia lakukan, hingga beliau bersabda : “Kalau bukan karena akan memberatkan umatku maka akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan wudlu. “Kalau bukan karena akan memberatkan umatku maka akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan sholat”. Ibnu Daqiqil ‘Ied menjelaskan sebab sangat dianjurkannya bersiwak ketika akan sholat, beliau berkata: “Rahasianya yaitu bahwasanya kita diperintahkan agar dalam setiap keadaan ketika bertaqorrub kepada Allah, kita senantiasa dalam keadaan yang sempurna dan dalam keadaan bersih untuk menampakkan mulianya ibadah”.
Kamis, 15 Juli 2010 03:26:58 WIB
Kategori : Fiqih : Shalat
Ibnul Qayyim rahimahullah di dalam Zadul Ma’ad, menyebutkan beberapa cacat hadits Abu Hurairah (hadits no:1), yang kemudian hal itu diikuti oleh orang-orang lain setelah beliau!, tetapi berdasarkan penelitian tidak-lah demikian, inilah secara ringkas bantahan terhadap hal tersebut: (1). “Bahwa hadits Wail (meletakkan tangan dahulu) lebih kuat dari pada hadits Abu Hurairah (meletakkan lutut lebih dahulu)”. Bantahan: Penjelasan kami di atas telah menunjukkan bahwa hadits Wail adalah hadits dha’if, sedangkan hadits Abu Hurairah adalah hadits shahih. (2). Bahwa hadits Abu Hurairah kemungkinan matannya (teksnya) terbalik dari sebagian perawi, karena awal perkataan menyelisihi akhir perkataan. Kemungkinan yang benar: “Hendaklah ia meletakkan dua lututnya lebih dahulu daripada dua tangannya”. Sebagaimana diriwayatkan pada hadits lain. Bantahan: Bahwa hadits Abu Hurairah (meletakkan lutut lebih dahulu) adalah shahih, dan seluruh hadits yang bertentangan dengan ini adalah dha’if, sehingga tidak dapat diterima membikin kemungkinan-kemungkinan berdasarkan hadits yang dha’if. (3). Bahwa jika hadits Abu Hurairah shahih, maka hadits itu mansukh (dihapuskan hukumnya). Bantahan: Hadits-hadits yang dikatakan menghapuskan semuanya dha’if sebagaimana di atas, sehingga pernyataan itu tidak dapat diterima.
Rabu, 14 Juli 2010 15:51:10 WIB
Kategori : Dakwah : Syubhat
Apa yang dilakukan oleh banyak orang sekarang, seperti meminta izin atau "kulonuwun", "permisi", atau berpamitan kepada "penunggu" yang dianggap mbaurekso (Jawa, menguasai) suatu tempat tertentu ketika hendak melakukan sesuatu tertentu, sama artinya dengan yang dilakukan oleh orang-orang terbelakang zaman dahulu yang hidup pada zaman kebodohan. Dan itu merupakan perbuatan syirik besar. Lantas, bagaimana pula dengan seseorang yang menjalin hubungan dengan jin? Bahkan mengatakan mampu menangkap dan menguasainya? Menjalin hubungan dengan jin, baik secara akrab ataupun tidak, erat kaitannya dengan kepentingan perdukunan atau perklenikan, apapun sebutannya. Hanya paranormal sajalah tokoh-tokoh yang menggeluti dunia ini. Dalam sejarah Islam, tidak ada tokoh-tokoh Islam terdahulu yang memelihara jin, meskipun hanya untuk menjaga diri, rumah, harta atau kebunnya. Bahkan tidak ada riwayat shahih yang menerangkan adanya seorang sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mampu menangkap makhluk halus tersebut. Riwayat yang ada, yaitu penangkapan Abu Hurairah terhadap pencuri yang berusaha mencuri harta Baitul Mal yang dijaganya, justeru memberikan petunjuk menegnai cara untuk mendapat perlindungan Allah dari kejahatan setan, ialah dengan membaca ayat-ayat al Qur`an. Salah satunya dengan membaca ayat Kursi, sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Selasa, 13 Juli 2010 16:29:11 WIB
Kategori : Bahasan : Hadits (1)
Ada seseorang yang berbicara di dalam shalatnya. Dia mengira, bahwa ketika sedang mengerjakan shalat diperbolehkan berbicara. Karena orang ini jahil (tidak mengetahui hukumnya) dan mukhthi' (keliru), maka shalatnya tidak batal. Dia telah melakukan sebuah kesalahan, namun tanpa maksud yang disengaja. Secara khusus, terdapat dalil yang menunjukkan perbuatan seperti ini. Yaitu hadits Mu’awiyah bin al Hakam as Sulami Radhiyallahu 'anhu , yang cukup panjang, tentang diharamkannya berbicara ketika seseorang sedang shalat. Kisah ringkasnya, tatkala Mu’awiyah bin al Hakam as Sulami Radhiyallahu 'anhu shalat berjama'ah bersama Rasulullah, ia mendengar orang bersin. Dan orang yang bersin itu berkata "alhamdulillah," sehingga ia pun berkata (menjawab) "yarhamukallah". Akhirnya, orang-orang di sekitarnya memandang kepadanya. Dia pun berteriak. Lalu orang-orang di sekitarnya memukul-mukul paha mereka sebagai isyarat agar ia diam. Maka Mu’awiyah bin al Hakam as Sulami Radhiyallahu 'anhu pun terdiam. Begitu shalat usai, manusia yang paling berakhlak mulia (yaitu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ) memanggilnya. Akhirnya, Mu'awiyah bercerita tentang akhlak Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika mengajarkan dan membimbingnya: Aku belum pernah melihat seorang pendidikpun sebelumnya maupun setelahnya yang lebih baik darinya. Demi Allah, ia tidak membentakku, tidak memukulku, dan tidak mencaciku.
Senin, 12 Juli 2010 15:36:10 WIB
Kategori : Fiqih : Shalat
Terdapat tiga pendapat seputar masalah ini : Pertama : Bersedekap dan tidak bersedekap dalam i'tidal hukumnya sama, sehingga diperbolehkan memilih salah satunya. Demikian ini yang menjadi pendapat Imam Ahmad, dan demikianlah pendapat madzhab Hambali. Mereka berargumen, tidak ada dalam Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang secara jelas, sehingga keduanya diperbolehkan. Kedua : Bersedekap adalah Sunnah. Inilah yang dirajihkan Syaikh Ibnu 'Utsaimin. Yang rajih -menurut beliau- sunnahnya adalah meletakkan tangan kanan di atas hasta tangan kiri, karena keumuman hadits Sahl bin Sa'ad as-Sa'idi yang shahih dari riwayat al Bukhari, berbunyi: "Orang-orang dahulu diperintahkan untuk meletakkan tangan kanannya di atas hasta tangan kirinya dalam shalat.". Apabila kamu melihat kepada keumumunan hadits ini, yaitu (فِيْ الصَّلاَةِ) dan tidak menyatakan dalam berdiri, maka jelas bagimu bahwa berdiri setelah ruku' disyari'atkan bersedekap. Karena dalam shalat, posisi kedua tangan ketika ruku' berada di atas dua lutut, ketika dalam keadaan sujud berada di atas tanah, ketika duduk berada di atas kedua paha, dan (dalam) keadaan berdiri -mencakup sebelum ruku` dan setelah ruku`- tangan kanan di letakkan di atas hasta tangan kiri. Demikian inilah yang benar.
First Prev 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 Next Last
