Kategori Fiqih : Shalat

Shalat Di Tanah. Bersedekap Ketika I'tidal, Shalat di Masjid Nabi Padahal Ada Kuburannya

Senin, 12 Juli 2010 15:36:10 WIB

SHALAT DI TANAH


Assalamu’alaikum, mohon penjelasan di rubrik soal-jawab. Banyak hadits shahih yang menyatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di atas tanah tanpa penghalang bahkan bersandal dan ketika shalat diatas mimbar pun beliau turun ke tanah untuk bersujud dan naik ke mimbar untuk berdiri dan ruku. Sekarang tak sedikitpun orang shalat di atas tanah langsung tetapi shalat dalam masjid yang berkeramik mewah bahkan permadani lembut. Apakah ini tidak bertentangn dengan ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Syukran
Maman Indramayu

Jawaban.
Apa yang anda sebutkan tidak bertentangan dengan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Memang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sering shalat di atas tanah tanpa penghalang, namun beliau juga pernah shalat di atas tikar, khumrah (tikar kecil atau tenunan daun kurma atau semacamnya sebagai alas wajah ketika sujud, sehingga ukurannya juga sebesar itu ; jadi semacam sajadah kecil namun khusus untuk wajah) [1]

Demekian juga, sepengetahuan kami, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memerintahkan umat agar shalat langsung di atas tanah, dan tidak pernah melarang shalat di atas permadani, keramik atau semacamnya.

Sebagai seorang muslim, kita tidak boleh mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Dan kita tidak boleh mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Namun begitu, ada juga ulama yang memakruhkan shalat diatas sajadah yang penuh gambar nan mewah dan mengatakan bahwa yang paling utama adalah meneladani Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Al-‘Izz bin Abdis Salam rahimahullah mengatakan : “Dimakruhkan shalat di atas sajadah yang dihias-hiasi dan berwarna-warni. Juga di atas sajadah yang mahal dan indah. Karena kondisi saat shalat adalah kondisi merendahkan hati dan merendahkan diri. Di masjid Makkah dan Madinah orang-orang (yaikni pada zaman itu, -red) senantiasa melakukan shalat di atas tanah, pasir dan kerikil, karena merendahkan diri kepada Allah.

Beliau rahimahullah juga mengatakan : “Maka yang lebih utama adalah mengikuti perkataan dan perbuatan-perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik yang kecil maupun yang besar. Barangsiapa mentaatinya, maka dia pasti mendapatkan petunjuk dan dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan barangsiapa yang tidak mentaatinya dan meneladani beliau, maka dia jauh dari kebenaran seukuran jauhnya dari mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam” [2]. Wallahu a’lam

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XII/14298H/20087M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Lihat Shifat shalat Nabi, halaman 150, karya Syaikh Al-Albani, penerbit Maktabah Al-Ma’arif.
[2]. Fatawa Al-‘Izz bin Abdis Salam, halaman 68, dinukil dari Al-Qaulul Mubin fi Akh-thail Mushallin, halaman 66


BERSEDEKAP KETIKA I'TIDAL

Pertanyaan.
Apakah hadits yang menerangkan sedekap setelah ruku` (i'tidal) shahih? Dan bagaimana pendapat ulama dalam masalah ini?
0852450xxxxx

Jawab.
Kami belum mendapatkan satu hadits yang secara mejelaskan tentang sedekap ketika i'tidal, kecuali dua hadits yang dipergunakan sebagian ulama untuk menunjukkan sunnahnya perbuatan ini. Berikut kami bawakan hadits tersebut.

كَانَ النَّاسُ يُؤْمَرُوْنَ أَنْ يَضَعَ الرَّجُلُ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى ذِرَاعِهِ الْيُسْرَى فِيْ الصَّلاَةِ

"Orang-orang dahulu diperintahkan untuk meletakkan tangan kanannya di atas hasta tangan kirinya dalam shalat". [HR al Bukhari].

كَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ اسْتَوَى حَتَّى يَعُوْدَ كُلُّ فَقَارٍ مَكَانَهُ

"Apabila mengangkat kepalanya (bangkit dari ruku'), maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam meluruskan (badannya) hingga semua rangkaian tulang belakangnya kembali ke posisinya". [HR al Bukhari].

Kedua hadits di atas, tidak secara jelas menunjukkan hukum perbuatan tersebut. Oleh karena itu, para ulama berbeda pendapat dalam permasalahan sedekap atau meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri ketika i'idal (berdiri setelah ruku'). Perbedaan pendapat ini sudah berlangsung sejak zaman Imam Ahmad bin Hambal.

Terdapat tiga pendapat seputar masalah ini :

Pertama : Bersedekap dan tidak bersedekap dalam i'tidal hukumnya sama, sehingga diperbolehkan memilih salah satunya. Demikian ini yang menjadi pendapat Imam Ahmad [1], dan demikianlah pendapat madzhab Hambali. Mereka berargumen, tidak ada dalam Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang secara jelas, sehingga keduanya diperbolehkan.

Kedua : Bersedekap adalah Sunnah. Inilah yang dirajihkan Syaikh Ibnu 'Utsaimin [2]. Yang rajih -menurut beliau- sunnahnya adalah meletakkan tangan kanan di atas hasta tangan kiri, karena keumuman hadits Sahl bin Sa'ad as-Sa'idi yang shahih dari riwayat al Bukhari, berbunyi:

كَانَ النَّاسُ يُؤْمَرُوْنَ أَنْ يَضَعَ الرَّجُلُ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى ذِرَاعِهِ الْيُسْرَى فِيْ الصَّلاَةِ

"Orang-orang dahulu diperintahkan untuk meletakkan tangan kanannya di atas hasta tangan kirinya dalam shalat."

Apabila kamu melihat kepada keumumunan hadits ini, yaitu (فِيْ الصَّلاَةِ) dan tidak menyatakan dalam berdiri, maka jelas bagimu bahwa berdiri setelah ruku' disyari'atkan bersedekap. Karena dalam shalat, posisi kedua tangan ketika ruku' berada di atas dua lutut, ketika dalam keadaan sujud berada di atas tanah, ketika duduk berada di atas kedua paha, dan (dalam) keadaan berdiri -mencakup sebelum ruku` dan setelah ruku`- tangan kanan di letakkan di atas hasta tangan kiri. Demikian inilah yang benar,[3]

Ketiga : Yang Sunnah tidak bersedekap. Demikian pendapat Syaikh al Albani dalam kitab Shifat Shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Syaikh al Albani berdalil dengan hadits yang diriwayatkan al Bukhari dan Abu Dawud berbunyi:

كَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ اسْتَوَى حَتَّى يَعُوْدَ كُلُّ فَقَارٍ مَكَانَهُ

"Apabila mengangkat kepalanya (bangkit dari ruku'), maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam meluruskan (badannya) hingga semua rangkaian tulang belakangnya kembali ke posisinya".

Lalu Syaikh al Albani membantah argumen yang menyelisihi penadapat beliau. Lebih lanjut, lihat Sifat Shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, hlm. 138-139.

Demikianlah perbedaan pendapat dalam masalah ini. Wallahu a'lam.


SHALAT DI MASJID NABI PADAHAL ADA KUBURANNYA


Pertanyaan.
Bagaimana kepastian hukum shalat di Masjid Nabi yang di dalamnya terdapat kuburan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam ? Boleh atau tidak?
Nanang, 08138057xxxx

Jawab.
Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu kami jelaskan beberapa hal menyangkut permasalahan ini.

Bahwasanya Islam melarang kita membangun masjid di atas kuburan ataupun mengubur seseorang di dalam masjid. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:

لَعْنَةُ اللَّهُ عَلَى الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

"Semoga Allah melaknat orang Yahudi dan Nashara yang telah membangun kuburan para nabi mereka sebagai masjid". [Muttafaqun 'alaihi].

Demikian juga, dalam sebuah hadits disebutkan adanya larangan shalat menghadap kuburan, sebagaimana sabda Rasulullah:

لَا تُصَلُّوا إِلَى الْقُبُورِ وَلَا تَجْلِسُوا عَلَيْهَا

"Janganlah kalian shalat menghadap kuburan, dan janganlah duduk di atasnya". [HR Muslim]

Oleh sebab itu, para ulama melarang shalat di masjid yang ada kuburannya, bahkan dianggap tidak sah. Sebagaimana Lajnah Daimah lil Buhuts al Ilmiyah wal-Ifta Saudi Arabia telah menyatakan dalam fatwanya, bahwasanya terdapat larangan menjadikan kuburan sebagai masjid, maka tidak diperbolehkan shalat disana dan shalatnya tidak sah.[4]

Adapun kepada pemerintah, dianjurkan untuk menghancurkan masjid yang dibangun di atas kuburan, apabila kuburan tersebut ada sebelum pembangunan masjid. Apabila keberadaan masjid lebih dahulu daripada kuburan, maka hendaknya kuburan tersebut digali, dikeluarkan isinya, dan kemudian dipindahkan ke pekuburan umum yang terdekat. Anjuran ini disebutkan dalam fatwa yang berbunyi:

Tidak diperbolehkan shalat di dalam masjid yang ada satu kuburan atau beberapa kuburan, berdasarkan pada hadits Jundab bin 'Abdullah Radhiyallahu 'anhu, bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (pada) lima hari sebelum beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam meninggal:

إِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُوْنَ قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ وَ صَالِحِيْهِمْ مَسَاجِدَ, ألآ فَلاَ تَتَّخِذُوْا الْقُبُوْرَ مَسَاجِدَ فَإِنِّيْ أَنْهَكُمْ عَنْ ذَلِكَ

"Sungguh umat sebelum kalian dahulu telah membangun masjid-masjid di atas kuburan para nabi dan orang shalih mereka. Ketahuilah, janganlah kalian membangun masjid-masjid di atas kuburan, karena aku melarangnya". [HR Muslim].

Juga hadits A'isyah, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

لَعْنَ اللَّهُ عَلَى الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

"Semoga Allah melaknat orang Yahudi dan Nashara yang telah membangun kuburan para nabi mereka sebagai masjid".

Kewajiban pemerintah kaum Muslimin agar menghancurkan masjid-masjid yang dibangun di atas kuburan, disebabkan karena masjid-masjid tersebut dibangun bukan di atas takwa. Hendaknya juga mengeluarkan semua yang dikubur di dalam masjid setelah masjid dibangun dan mengeluarkan jenazahnya, walaupun telah menjadi tulang atau debu, karena kesalahan mereka dikubur disana. Setelah itu diperbolehkan shalat di masjid tersebut, sebab yang dilarang telah hilang.[5]

Prof. Dr. Syaikh Shalih al Fauzan, di dalam fatwanya, beliau menyatakan:
Apabila kuburan-kuburan tersebut terpisah dari masjid oleh jalan atau pagar tembok, dan dibangunnya masjid tersebut bukan karena keberadaan kuburan tersebut, maka tidak mengapa masjid dekat dari kuburan, apabila tidak ada tempat yang jauh darinya (kuburan). Adapun bila pembangunan masjid tersebut di tempat yang ada kuburannya, dengan tujuan dan anggapan di tempat tersebut ada barakahnya, atau (menganggap) hal itu lebih utama, maka tidak boleh, karena itu merupakan salah satu sarana perantara perbuatan syirik.[6]

Menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan Masjid Nabawi, yang di dalamnya terdapat kuburan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka para ulama telah menjelaskan bahwa hukumnya berbeda dengan kuburan lainnya. Ketika menjawab pertanyaan seseorang yang menjadikan Masjid Nabawi -yang ada kuburan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam - sebagai dalil bolehnya shalat di dalam masjid yang ada kuburannya, Lajnah Daimah lil Buhuts al Ilmiyah wal-Ifta` berfatwa:

Adapun Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, (beliau) dikuburkan di luar masjid, (yaitu) di rumah 'Aisyah. Sehingga pada asalnya, Masjid Nabawi dibangun untuk Allah dan dibangun tidak di atas kuburan. Namun masuknya kuburan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (ke dalam masjid), semata-mata disebabkan karena perluasan masjid.[7]

Syaikh al Albani rahimahullah, secara jelas juga mengatakan:
Masalah ini, walaupun saat ini secara nyata kita saksikan, namun pada zaman sahabat, hal tersebut tidak pernah ada. Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat, mereka menguburkannya di rumah beliau yang berada di samping masjid, dan terpisah dengan tembok yang terdapat pintu tempat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar menuju masjid. Perkara ini terkenal dan dalam masalah ini tidak ada perselisihan pendapat di antara para ulama.

(Maksud) para sahabat, ketika menguburkan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam di kamar 'Aisyah, agar tidak ada seorangpun yang dapat menjadikan kuburan beliau sebagai masjid. Namun yang terjadi setelah itu, diluar perkiraan mereka. Peristiwa tersebut terjadi ketika al Walid bin Abdil Malik memerintakan penghancuran Masjid Nabawi pada tahun 88 H dan memasukkan kamar-kamar para isteri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ke dalam masjid, sehingga kamar 'Aisyah dimasukkan ke dalamnya. Lalu jadilah kuburan tersebut berada di dalam masjid. Dan pada waktu itu, sudah tidak ada seorang sahabat pun yang masih hidup di Madinah.[8]

Kemudian Syaikh al Albani memberikan kesimpulan hukum, bahwa hukum terdahulu (yaitu larangan shalat di masjid yang di dalamnya terdapat kuburannya, Red.) mencakup seluruh masjid, baik yang besar maupun yang kecil, yang lama maupun yang baru, karena keumuman dalil-dalilnya. Satu masjid pun tidak ada pengecualian dari larangan tersebut, kecuali Masjid Nabawi. Karena Masjid Nabawi ini memiliki kekhususan, yang tidak dimiliki oleh masjid-masjid yang dibangun di atas kuburan. Seandainya dilarang shalat pada Masjid Nabawi, tentu larangan itu memberikan pengertian yang menyamakan Masjid Nabawi dengan masjid-masjid selainnya, dan menghilangkan keutamaan-keutamaan (yang dimiliki Masjid Nabawi tersebut). Hal seperti ini, jelas tidak boleh.[9]

Demikianlah beberapa penukilan dari pendapat para ulama dalam permasalahan ini. Sehingga menjadi jelas bagi, bahwa shalat di Masjid Nabawi yang di dalamnya terdapat kuburan Nabi, tidaklah mengapa. Yakni dibolehkan. Wallahu a'lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun X/1428H/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Lihat Masa-il Ahmad Liibnihi Shalih (2/205) dan Syarhul-Mumti' (3/145-146)
[2]. Syarhul Mumti' (3/146)
[3]. Ibid.
[4]. Fatwa Lajnah Daimah lil Buhuts al Ilmiyah wal-Ifta` no. 5316.
[5]. Ibid., no. 4150 dan no. 6261.
[6]. Al Muntaqa min Fatawa Syaikh Shalih bin 'Abdillah bin Fauzan al Fauzan (2/171), fatwa no. 148.
[7]. Fatwa Lajnah Daimah lil Buhuts al Ilmiyah wal-Ifta` no. 5316 (6/257)
[8]. Tahdzirus-Saajid.
[9]. Ibid.

Bismillaahirrahmaanirrahiim Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga dicurahkan kepada Rasul termulia, juga kepada seluruh keluarga dan shahabatnya. Amma ba'du. Website almanhaj.or.id adalah sebuah media dakwah sangat ringkas dan sederhana, yang diupayakan untuk ikut serta dalam tasfiyah (membersihkan) umat dari syirik, bid'ah, serta gerakan pemikiran yang merusak ajaran Islam dan tarbiyah (mendidik) kaum muslimin berdasarkan ajaran Islam yang murni dan mengajak mereka kepada pola pikir ilmiah berdasarkan al-Qur'an dan as-Sunnah dengan pemahaman Salafush Shalih. Kebenaran dan kebaikan yang anda dapatkan dari website ini datangnya dari Allah Ta'ala, adapun yang berupa kesalahan datangnya dari syaithan, dan kami berlepas diri dari kesalahan tersebut ketika kami masih hidup ataupun ketika sudah mati. Semua tulisan atau kitab selain Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahihah dan maqbul, mempunyai celah untuk dikritik, disalahkan dan dibenarkan. Barangsiapa yang melihat adanya kesalahan hendaknya meluruskannya. Hati kami lapang dan telinga kami mendengar serta bersedia menerima. Semoga Allah menjadikan upaya ini sebagai amalan shalih yang bermanfaat pada hari yang tidak lagi bermanfaat harta dan anak-anak, melainkan orang yang menemui Rabb-nya dengan amalan shalih. Jazaakumullahu khairan almanhaj.or.id Abu Harits Abdillah - Redaktur Abu Khaulah al-Palimbani - Web Admin