Rabu, 1 September 2010 17:01:40 WIB
Kategori : Bahasan : Bid'ah
Fitnah (kesesatan; kesalahan) meniru suara para qaari’ (orang yang membaca Al-Qur’an) dan mempraktekkannya di masjid-masjid di hadapan Allah adalah perkara yang dianggap bid’ah (tambahan) dalam urusan ibadah membaca qur’an . Padahal merupakan suatu hal yang dimaklumi bahwa hal meniru suara yang qaari’ yang baik bisa dilakukan pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan pada zaman para sahabat Radhiyallahu 'anhum, tetapi tidak diketahui adanya di kalangan mereka yang bertaqaarub (beribadah) kepada Allah dengan meniru-niru suara Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sehingga dari sini diketahui bahwa perbuatan tersebut tidak masyru’ (disyari’atkan/diajarkan) sekaligus merupakan sikap mengada-ada dalam persoalan ibadah. Padahal menurut qaidah syara’ bahwa setiap perkara ibadah yang diada-adakan adalah bid’ah dan semua bid’ah adalah kesesatan. Hal inilah -pada zaman kita ini- yang membuat banyak orang berdesak-desakan mengerumuni masjid-masjid yang imamnya mempunyai prinsip seperti di atas (meniru suara para qaari’ yang terkenal). Sehingga banyak orang pada bulan Ramadhan yang bepergian dari satu negeri ke negeri lain dengan tujuan shalat tarawih di suatu masjid yang imamnya mempunyai "suara yang bagus". Coba anda camkan baik-baik hal ini, betapa terinjak-injaknya Sunnah Nabi tentang larangan "sengaja bepergian (ke tempat yang dimuliakan-red) kecuali ke tiga masjid: Masjid Haram, Masjid Nabawi, dan Masjid al-Aqsha"
Selasa, 31 Agustus 2010 16:45:02 WIB
Kategori : Al-Qur'an
Al-Qur’an mendatangkan ketenangan dan rahmat bagi siapa saja yang membacanya, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Tidaklah berkumpul suatu kaum dalam suatu majlis kecuali turun pada mereka ketenangan dan diliputi oleh rahmat dan dikerumuni oleh malaikat dan Allah akan menyebutkan mereka di hadapan para malaikatnya". Al-Qur’an hanya untuk orang yang hidup bukan orang yang mati berdasarkan firman Allah: "Supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya)". Dan firman Allah: "Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya". Imam Syafi’i mengeluarkan pendapat dari ayat ini bahwa pahala bacaan al-Qur’an tidak akan sampai kepada orang-orang yang mati. Karena bacaan tersebut bukan amalan si mayit. Adapun bacaan seorang anak untuk kedua orang tuanya, maka pahalanya bisa sampai kepadanya, karena seorang anak merupakan hasil usaha orang tua, sebagaimana disebutkan dalam hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Al-Qur’an sebagai penawar (obat) hati dari penyakit syirik, nifak dan yang lainnya. Di dalam al-Qur’an ada sebagian ayat-ayat dan surat-surat (yang berfungsi) untuk mengobati badan seperti surat al-Fatihah, an-Naas dan al-Falaq serta yang lainnya tersebut di dalam sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Senin, 30 Agustus 2010 16:35:47 WIB
Kategori : Fiqih : Nasehat
Seandainya kita, ternyata termasuk orang-orang mufarrith, yaitu amalannya tidak banyak pada bulan puasa, maka setidaknya kita memelihara shalat lima waktu dengan baik, dikerjakan secara berjama’ah di masjid, serta berusaha sesegera mungkin berangkat ke masjid sebelum tiba waktunya. Sesungguhnya, menjaga amalan fardhu pada bulan Ramadhan merupakan ibadah dan taqarrub yang paling agung kepada Allah. Sungguh sangat memprihatinkan, tatkala kita mendapati orang yang bersemangat melaksanakan shalat tarawih, bahkan hampir-hampir tidak pernah absen, namun pada saat yang sama, ternyata dia tidak menjaga shalat lima waktu dengan berjamaah. Terkadang lebih memilih tidur, sehingga melewatkan shalat wajib, dengan dalih persiapan untuk shalat tarawih?! Demikian ini merupakan kebodohan dan pelecehan terhadap kewajiban…! Sungguh, mendirikan shalat lima waktu bersama imam saja, tanpa melakukan shalat tarawih satu malam pun, lebih baik daripada mengerjakan shalat tarawih, namun menyia-nyiakan shalat fardhu yang lima waktu. Ini bukan berarti kita memandang remeh terhadap shalat tarawih, akan tetapi, seharusnya seorang muslim itu menggabungkan keduanya, memberikan perhatian khusus terhadap hal-hal yang fardhu (shalat lima waktu), baru kemudian melangkah menuju amalan sunnah, seperti shalat tarawih.
Minggu, 29 Agustus 2010 16:00:47 WIB
Kategori : Alwajiz : Jual Beli
Allah Ta’ala berfirman: “Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” Juga berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.” Dari Hakim bin Hizam Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Al-Bayyi’an (penjual dan pembeli) memiliki hak khiyar (memilih untuk melanjutkan jual beli atau membatalkannya) selama keduanya belum berpisah.” Kaum muslimin telah berijma’ akan bolehnya jual beli, dan hikmah juga mengharuskan adanya jual beli, karena hajat manusia banyak bergantung dengan apa yang dimiliki oleh orang lain (namun) terkadang orang tersebut tidak memberikan kepadanya, sehingga dalam pensyari’atan jual beli terdapat wasilah (perantara) untuk sampai kepada tujuan tanpa memberatkan. Dari Hakim bin Hizam Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam beliau bersabda: “Penjual dan pembeli memiliki hak khiyar selama keduanya belum berpisah (atau beliau bersabda, ‘Hingga keduanya ber-pisah’), apabila keduanya berbuat jujur dan menjelaskan (keadaan dagangannya), maka akan diberkahi dalam jual belinya, (namun) apabila menutup-nutupinya dan berdusta, maka akan dihapus keberkahan jual belinya.”
Sabtu, 28 Agustus 2010 07:25:29 WIB
Kategori : Bahasan : Hadits (1)
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, beliau berkata, ketika kami duduk-duduk bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, tiba-tiba datanglah seseorang sambil berkata: “Wahai, Rasulullah, celaka !” Beliau menjawab,”Ada apa denganmu?” Dia berkata,”Aku berhubungan dengan istriku, padahal aku sedang berpuasa.” (Dalam riwayat lain berbunyi : aku berhubungan dengan istriku di bulan Ramadhan). Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata,”Apakah kamu mempunyai budak untuk dimerdekakan?” Dia menjawab,”Tidak!” Lalu Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata lagi,”Mampukah kamu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Dia menjawab,”Ttidak.” Lalu Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya lagi : “Mampukah kamu memberi makan enam puluh orang miskin?” Dia menjawab,”Tidak.” Lalu Rasulullah diam sebentar. Dalam keadaan seperti ini, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam diberi satu ‘irq berisi kurma –Al irq adalah alat takaran- (maka) Beliau berkata: “Mana orang yang bertanya tadi?” Dia menjawab,”Saya orangnya.” Beliau berkata lagi: “Ambillah ini dan bersedekahlah dengannya!” Kemudian orang tersebut berkata: “Apakah kepada orang yang lebih fakir dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada di dua ujung kota Madinah satu keluarga yang lebih fakir dari keluargaku”. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tertawa sampai tampak gigi taringnya, kemudian (Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam) berkata: “Berilah makan keluargamu!”
Jumat, 27 Agustus 2010 17:05:47 WIB
Kategori : Akhlak
Wahai kaum Muslimin, marilah kita bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla. Marilah kita menjadi orang-orang yang jujur, berlaku baik kepada Allah Azza wa Jalla dan kepada seluruh makhluk, jika kita memang benar-benar orang yang beriman. Hendaklah kita berlaku jujur, karena kejujuran mengantarkan kepada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan kita kepada surga. Seseorang itu selalu berlaku jujur dan membiasakannya, hingga di sisi Allah Azza wa Jalla dia di tulis sebagai orang yang jujur. Orang-orang yang jujur dalam ucapan dan perbuatannya, akan dicintai oleh Allah Azza wa Jalla dan dicintai oleh manusia. Setiap majelis merasa senang apabila mereka disebut, dan hati dengan lapang menerima setiap kali mereka membawa berita. Mereka memperoleh buah kejujuran mereka di dunia dan di alam kubur. Apabila mereka di kumpulkan, setiap lisan selalu mengucapkan kata pujian bagi mereka. Hati mereka dipenuhi rasa cinta dan persaudaraan. Dan kejujuran itu mencakup kejujuran dalam keyakinan, ucapan dan perbuatan. Jujur dalam keyakinan maksudnya adalah keikhlasan seseorang dalam beramal. Ia tidak mengerjakan amalan karena riyâ‘ ataupun sum‘ah. Adapun jujur dalam ucapan, maksudnya dia jujur dengan berita yang disampaikan serta ucapannya sesuai dengan kenyataan. Dia tidak memberikan kabar berita yang menyelisihi kenyataan/realita, baik ketika berbicara serius maupun senda gurau; baik ketika senang maupun sempit
First Prev 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 Next Last
