Minggu, 28 Maret 2010 14:30:50 WIB
Kategori : Aktual
Biasanya, bila Ulama' ahli ijtihad dihadapkan kepada suatu masalah yang belum pernah terjadi, mereka bersikap ekstra hati-hati. Bahkan, pada banyak kesempatan, mereka tidak segera memberikan jawaban atas masalah tersebut. Mereka menunda jawabannya untuk beberapa hari, sehingga memiliki waktu yang cukup untuk mempelajarinya dengan Ulama' ahli ijtihad lainnya. Abu Hushain Utsman bin 'Ashim Al-Asady rahimahullah berkata: "Sesungguhnya mereka itu sangat gegabah ketika berfatwa tentang suatu masalah, yang andaikan masalah tersebut disampaikan kepada Khalîfah Umar bin Al-Khatthâb Radhiyallahu 'anhu , niscaya ia segera mengumpulkan para pemuka sahabat yang ikut dalam perang Badar untuk berdiskusi." Demikianlah tradisi para Khulafâur Râsyidîn ketika menghadapi berbagai masalah kontemporer. Mereka mengumpulkan Ulama' alhi ijtihad dari kalangan Sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, berdiskusi dan bahkan membuat pengumuman kepada masyarakat umum: "Barang siapa yang memiliki ilmu tentang permasalahan tersebut hendaknya segera menyampaikannya".
Sabtu, 27 Maret 2010 14:34:29 WIB
Kategori : Ahkam
Keinginan seorang wanita yang sudah berkeluarga yang tidak bisa hamil dan keinginan sang suami untuk mendapatkan anak dianggap sebagai sebuah tujuan yang dibenarkan syari’at. Tujuan ini bisa dijadikan alasan untuk melakukan pengobatan (jika terkendala-pent) dengan cara-cara inseminasi buatan yang dibenarkan syari’at. Cara (inseminasi buatan yang) pertama (yaitu sperma diambilkan dari seorang lelaki yang sudah berkeluarga lalu diinjeksikan ke dalam rahim sang istri yang dijelaskan pada saat menguraikan cara pembuahan yang terjadi di dalam rahim) merupakan cara yang diperbolehkan menurut syari’at dengan tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan umum yang disebutkan di atas. Ini dilakukan setelah dipastikan bahwa sang istri memerlukan proses ini supaya bisa hamil. Cara ketiga (kedua benih, sperma dan sel telur diambil dari pasangan suami istri; kemudian proses pembuahannya dilakukan pada tabung. Setelah terjadi pembuahan, sel telur yang sudah dibuahi itu dimasukkan ke rahim wanita pemilik sel telur tadi), awalnya cara ini merupakan cara yang bisa diterima menurut tinjauan syari’at. Namun cara ini tidak bisa lepas sama sekali dari berbagai hal yang bisa menimbulkan keragu-raguan. Maka sebaiknya cara ini tidak ditempuh kecuali ketika sangat terpaksa sekali serta ketentuan-ketentuan umum yang di atas sudah terpenuhi.
Jumat, 19 Maret 2010 15:47:38 WIB
Kategori : Al-Masaa'il : Terorisme
Ada beberapa cara yang secara teoritis dapat ditempuh oleh kaum Muslimin dan pihak-pihak berkepentingan untuk mengatasi dan memutuskan berlangsungnya kegiatan teror. Namun, secara praktis memerlukan kesungguhan dan keikhlasan kerja dari berbagai pihak. Motivasi yang mendorong kerja keras ini, yang paling pokok adalah keimanan kepada Allah Azza wa Jalla, dengan maksud mencari ridha serta pahala-Nya. Sehingga yang diutamakan adalah kemaslahatan dan kepentingan umum, bukan kemaslahatan dan kepentingan pribadi. Dengan demikian, akan tercipta upaya penanggulangan bersama, dalam lingkup ta'âwun 'alal al-Birri wat-Taqwa (tolong menolong serta kerjasama berdasarkan kebaikan dan ketakwaan), bukan atas dasar berebut kepentingan duniawi yang memicu persaingan tidak sehat dan saling mencurigai. Akar radikalisme yang memicu tindakan kekerasan dan terorisme sebenarnya sudah muncul semenjak zaman Sahabat masih hidup. Terutama mulai mencuat pada zaman pemerintahan Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu 'anhu. Oleh sebab itu, beberapa kiat yang akan dipaparkan di bawah ini di dasarkan pada langkah-langkah yang pernah dilakukan oleh para Sahabat dan para Ulama salaf dalam mengatasi berkembangnya akar radikalisme pada waktu itu. Sebelum menyimpulkan kiat-kiat dimaksud, alangkah baiknya dikemukakan terlebih dahulu beberapa riwayat shahîh yang akan dijadikan landasan dalam megambil kesimpulan.
Kamis, 18 Maret 2010 16:11:21 WIB
Kategori : Al-Masaa'il : Terorisme
Menimbang berbagai faktor ini secara komprehensif, saya memikirkan suatu rencana dan cara untuk membalas perbuatan musuh. Aku pernah katakan kepada para anggota jama`ah: “Hendaknya mereka memikirkan suatu rencana dan cara, dengan mempertimbangkan bahwa mereka pulalah yang akan menjadi eksekutornya. Tentunya cara itu disesuaikan dengan potensi yang mereka miliki. Saya tidak tahu dengan pasti cara apa yang tepat bagi mereka dan saya juga tidak bisa menentukannya ...... Tindakan kita ini sebagai balasan atas penangkapan langsung beberapa anggota organisasi Ikhwânul Muslimîn. Kita membalas dengan menyingkirkan pimpinan-pimpinan mereka, terutama presiden, perdana mentri, ketua dewan pertimbangan agung, kepala intelijen dan kepala kepolisian. Balasan juga dapat dilanjutkan dengan meledakkan mengebom berbagai infrastruktur yang dapat melumpuhkan transportasi kota Kairo. Semua itu bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada anggota Ikhwânul Muslimîn di dalam dan luar kota Kairo. Serangan juga dapat diarahkan ke pusat pembangkit listrik dan jembatan layang."
Rabu, 17 Maret 2010 16:15:09 WIB
Kategori : Al-Masaa'il : Terorisme
Pengkafiran terhadap seorang Muslim mengakibatkan perkara-perkara yang berbahaya, seperti menghalalkan darah dan harta, mencegah warisan, batalnya pernikahan, dan lainnya dari akibat-akibat kemurtadan. Untuk itu, seorang Mukmin tidak boleh menghukumi kafir kepada seorang Muslim lainnya hanya karena sedikit syubhat (kesamaran). Jika pengkafiran yang ditujukan kepada individu-individu mengandung bahaya yang besar, lantas bagaimana jika ditujukan kepada pemerintah-pemerintah Muslim? Tentu bahayanya jauh lebih besar! Karena pengkafiran seperti ini akan membuahkan sikap membangkang kepada ulil amri, mengangkat senjata, menyebarkan kekacauan, menumpahkan darah, dan kerusakan manusia dan negara. Oleh karena itu Hai'ah Kibaril 'Ulama (Lembaga Ulama Besar) di Kerajaan Saudi Arabia mengisyaratkan adanya hubungan erat antara fenomena pengeboman yang terjadi di berbagai negara Islam dengan pengkafiran. Hai'ah Kibaril 'Ulama menjelaskan, "Sesungguhnya Majlis Hai'ah Kibaril 'Ulama di dalam pertemuannya ke-49 di kota Thaif, mulai tanggal 2/4/1419 H, telah mengkaji apa yang terjadi di banyak negara-negara Islam –dan lainnya- yang berupa takfîr (fenomena pengkafirkan) dan tafjîr (pengeboman), dan akibat-akibatnya yang berupa penumpahan darah dan penghancuran bangunan-bangunan".
Selasa, 16 Maret 2010 15:47:03 WIB
Kategori : Dakwah : Hizbiyyah
Adapun bagi orang yang membuat undang-undang hukum lain -padahal ia mengetahui ada hukum Allah dan hukum buatannya ini menyelisihi hukum Allah- maka orang ini telah mengganti syari’at Allah dengan undang-undang buatannya. Berarti ia kafir. Sebab, dengan adanya undang-undang buatannya ini, tidaklah ia membenci syari’at Allah, melainkan karena pasti -ia yakini- bahwa undang-undang tersebut lebih baik bagi manusia dan negara dibanding syari’at Allah. Manakala kami mengatakan bahwa ia kafir (artinya, perbuatan itu bisa menyebabkan kekafiran), Akan tetapi bisa jadi si pembuat undang-undang tersebut ma’dzur (termaafkan). Karena, misalnya ia terpedaya. Umpamanya dikatakan kepadanya,‘Ini tidak menyalahi Islam’, atau ‘Ini termasuk mashalih mursalah’, atau ‘Ini termasuk masalah yang oleh Islam dikembalikan kepada manusia’. Hendaknya difahami, bahwa seseorang wajib merasa takut kepada Allah (Rabb-nya) dalam menetapkan semua masalah hukum. Sehingga hendaknya, ia tidak terburu-buru menetapkan kepastian hukum, khususnya berkaitan dengan takfir (menjatuhkan hukum kafir terhadap seseorang). Suatu (penetapan hukum) yang kini menjadi mudah diucapkan oleh sebagian orang yang memiliki ghirah agama yang tinggi dan sangat emosional, tanpa berpikir jeli.
First Prev 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 Next Last
