Anjuran Bershalawat Kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam

Minggu, 10 Juni 2012 21:29:38 WIB
Kategori : Risalah : Do'a & Taubat

Mengucapkan shalawat untuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam diperintahkan oleh syari’at pada waktu-waktu yang dipentingkan, baik yang hukumnya wajib atau sunnah muakkadah. Dalam kitab Jalaa’ul Afhaam, Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan 41 waktu (tempat). Beliau rahimahullah memulai dengan sesuatu yang paling penting yakni ketika shalat di akhir tasyahhud. Di waktu tersebut para ulama sepakat tentang disyari’atkannya bershalawat untuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, namun mereka berselisih tentang hukum wajibnya. Di antara waktu lain yang beliau sebutkan adalah di akhir Qunut, kemudian saat khutbah, seperti khutbah Jum’at, hari raya dan istisqa’, kemudian setelah menjawab muadzdzin, ketika berdo’a, ketika masuk dan keluar dari masjid, juga ketika menyebut nama beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada kaum Muslimin tentang tatacara mengucapkan shalawat. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menganjurkan untuk memperbanyak membaca shalawat kepadanya pada hari Jum’at. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Perbanyaklah kalian membaca shalawat kepadaku pada hari dan malam Jum’at, barangsiapa yang bershalawat kepadaku sekali niscaya Allah bershalawat kepadanya sepuluh kali.”

Bagaimana Cara Shalawat Yang Sesuai Sunnah, Dan Bolehkah Shalawat Diiringi Dengan Rebana?

Sabtu, 9 Juni 2012 22:29:01 WIB
Kategori : Risalah : Do'a & Taubat

Imam Ath Thurthusi, tokoh ulama Malikiyah dari kota Qurthubah (wafat 520 H); beliau ditanya tentang sekelompok orang (yaitu orang-orang Shufi) di suatu tempat yang membaca Al Qur'an, lalu seseorang di antara mereka menyanyikan sya'ir, kemudian mereka menari dan bergoyang. Mereka memukul rebana dan memainkan seruling. Apakah menghadiri mereka itu halal atau tidak? (Ditanya seperti itu) beliau menjawab,”Jalan orang-orang Shufi adalah batil dan sesat. Islam itu hanyalah kitab Allah dan Sunnah RasulNya. Adapun menari dan pura-pura menampakkan cinta (kepada Allah), maka yang pertama kali mengada-adakan adalah kawan-kawan Samiri (pada zaman Nabi Musa). Yaitu ketika Samiri membuatkan patung anak sapi yang bisa bersuara untuk mereka, lalu mereka datang menari di sekitarnya dan berpura-pura menampakkan cinta (kepada Allah). Tarian itu adalah agama orang-orang kafir dan para penyembah anak sapi. Adapun majelis Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya penuh ketenangan, seolah-olah di atas kepala mereka dihinggapi burung. Maka seharusnya penguasa dan wakil-wakilnya melarang mereka menghadiri masjid-masjid dan lainnya (untuk menyanyi dan menari, Pen). Dan bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, tidaklah halal menghadiri mereka. Tidak halal membantu mereka melakukan kebatilan.

Shalat Sunnah Qobliyah Jum'at..?

Rabu, 6 Juni 2012 22:14:45 WIB
Kategori : Fiqih : Shalat Jum'at

Sebagian orang beranggapan, bahwa shalat qabliyah (sebelum) Jum’at ada dan berasal dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kebiasaan ini dilakukan setelah adzan pertama dikumandangkan, yaitu ketika khatib belum naik mimbar. Ironisnya, shalat ini dikomando oleh muadzin dengan menyerukan shalat sunnah Jum’at. Benarkah perbuatan ini berasal dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Merupakan kebiasaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa pada hari Jum’at, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu keluar dari rumahnya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan naik ke mimbar. Setelah muadzin mengumandangkan adzan lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah. Andaikan shalat sunnah sebelum Jum’at benar adanya, niscaya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam orang pertama yang melakukannya serta memerintahkan kepada para sahabat Radhiyallahu anhum setelah adzan dikumandangkan. Pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak ada adzan selain ketika khatib di atas mimbar. Imam Syafi’i rahimahullah berkata,”Dan aku menyukai satu adzan dari seorang muadzin ketika (khatib) di atas mimbar, bukan banyak muadzin,” kemudian beliau menyebutkan dari As Saib bin Yazid, bahwa pada mulanya adzan pada hari Jum’at dilaksanakan ketika seorang imam duduk di atas mimbar. (Ini terjadi) pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar.

Bahaya Fanatisme Golongan

Selasa, 5 Juni 2012 22:44:19 WIB
Kategori : Bahasan : Manhaj

Orang-orang zhalim berusaha menghapus rambu-rambu jalan dan sarana kemulian umat ini; yang jalan itu telah ditempuh oleh generasi teladan yang pertama. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang bersamanya, karena khawatir hal itu akan menjadi pelita yang akan menerangi orang-orang yang mengikuti keridhan Allah kepada keadaan yang lebih lurus. Para Ribbiyyûn itu mengumumkan di kalangan manusia kepada semua manusia, "Marilah menuju Islam dan Sunnah dengan pemahaman Salaful-Ummah (generasi awal umat ini), orang-orang yang telah mendahului masuk Islam dari kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan sebaik-baiknya sampai hari pembalasan," karena fondasi yang semestinya, ialah menetapi al-Kitab dan Sunnah dengan mengikuti para sahabat Radhiyallahu anhum, dan bangkitnya orang yang ahli mendakwahkannya berdasarkan jalan kenabian. Tidak menyelisihi jalan kenabian itu, baik dengan nama, gambar, hakikat maupun bentuknya. Karena sesungguhnya, ini termasuk rambu-rambu peribadahan di atas petunjuk sebaik-baik makhluk (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam)

Meringankan Shalat

Minggu, 3 Juni 2012 23:09:26 WIB
Kategori : Fiqih : Shalat

Meringkas dan meringankan shalat yang diperintahkan, serta memanjangkan shalat yang terlarang, tidak mungkin dikembalikan kepada kebiasaan golongan atau pengikut satu madzhab (sebagai ukurannya, pent). Juga tidak bisa dikembalikan kepada keinginan dan kesukaan para makmum. Demikian juga tidak bisa dikembalikan ke ijtihad para imam yang mengimami shalat. Dalam hal ini, semua pendapat dan keinginan yang beragam itu tidak bisa diterapkan, karena akan merusak ketentuan shalat, sehingga ukuran lama dan pendeknya shalat disesuai dengan kemauan orang. Kondisi seperti ini tidak akan didapatkan dalam syari’at. Namun, yang menjadi penentunya, yaitu berhukum kepada perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika orang yang shalat di belakang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada yang lemah, tua, kecil dan orang yang memiliki kebutuhan, sementara itu tidak ada imam lain di Madinah selain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka juga tidak lari (pergi) dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan kadar shalat (shalat lama) yang menyebabkan banyaknya orang yang lari (tidak mendatangi shalat berjama’ah), kecuali dalam keadaan malas (atau) para penganggur yang terbiasa shalat dengan (gaya) mematuk seperti shalatnya orang-orang munafik, yang mereka ini tidak memilki apa-apa dalam shalat selain perasaan, tidak merasakan ketenangan, maka, larinya orang-orang ini tidak perlu diperhitungkan.

Hukum Mengangkat Tangan Dalam Berdo'a

Sabtu, 2 Juni 2012 14:31:14 WIB
Kategori : Risalah : Do'a & Taubat

Pengkompromian antara hadits Anas ini dengan banyak hadits, (telah) diutarakan oleh sebagian ulama, bahwa Anas menyebutkan angkat tangan tinggi-tinggi sehingga ketiak Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam terlihat dan badan Beliau membungkuk. Cara inilah, yang oleh Ibnu Abbas dinamakan ibtihal (permohonan yang sangat). Ibnu Abbas merinci cara berdo'a ini menjadi tiga macam. Pertama, isyarat dengan telunjuk, seperti yang dilakukan Nabi ketika khutbah di atas mimbar. Kedua, do'a permohonan. Dengan mengangkat kedua tangan sejajar pundak. Demikian ini termuat dalam banyak hadits. Ketiga, ibtihal. Yaitu seperti yang dituturkan Anas. Oleh karena itu Anas berkata,”Beliau mengangkat kedua tangannya sehingga nampak ketiaknya.” Cara do'a ini dengan mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi, menghadapkan bagian dalam telapak tangan mengarah ke wajah dan tanah, sedangkan punggung tangan mengarah ke langit. Penafsiran ini dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dalam Kitab Marasilnya, dari hadits Abu Ayub Sulaiman bin Musa Ad Dimasqi rahimahullah, dia berkata,”Tidak tercatat dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bila Beliau mengangkat kedua tangan, kecuali pada tiga keadaan saja. (Yaitu) ketika meminta hujan (istisqa'), meminta pertolongan, sore hari di Arafah. Selain (dari waktu-waktu) itu, kadang kala mengangkat tangan, kadang kala tidak”.

First  Prev  7  8  9  10  11  12  13  14  15  16  17  Next  Last

Bismillaahirrahmaanirrahiim Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga dicurahkan kepada Rasul termulia, juga kepada seluruh keluarga dan shahabatnya. Amma ba'du. Website almanhaj.or.id adalah sebuah media dakwah sangat ringkas dan sederhana, yang diupayakan untuk ikut serta dalam tasfiyah (membersihkan) umat dari syirik, bid'ah, serta gerakan pemikiran yang merusak ajaran Islam dan tarbiyah (mendidik) kaum muslimin berdasarkan ajaran Islam yang murni dan mengajak mereka kepada pola pikir ilmiah berdasarkan al-Qur'an dan as-Sunnah dengan pemahaman Salafush Shalih. Kebenaran dan kebaikan yang anda dapatkan dari website ini datangnya dari Allah Ta'ala, adapun yang berupa kesalahan datangnya dari syaithan, dan kami berlepas diri dari kesalahan tersebut ketika kami masih hidup ataupun ketika sudah mati. Semua tulisan atau kitab selain Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahihah dan maqbul, mempunyai celah untuk dikritik, disalahkan dan dibenarkan. Barangsiapa yang melihat adanya kesalahan hendaknya meluruskannya. Hati kami lapang dan telinga kami mendengar serta bersedia menerima. Semoga Allah menjadikan upaya ini sebagai amalan shalih yang bermanfaat pada hari yang tidak lagi bermanfaat harta dan anak-anak, melainkan orang yang menemui Rabb-nya dengan amalan shalih. Jazaakumullahu khairan almanhaj.or.id Abu Harits Abdillah - Redaktur Abu Khaulah al-Palimbani - Web Admin