Kategori Fiqih : Bisnis & Riba
Rabu, 22 Maret 2006 09:16:17 WIB
Bahwasanya belajar yang di isyaratkan oleh penanya bukanlah belajar yang hukumnya wajib. Itu hanyalah sebuah sarana di zaman ini untuk memperoleh rizki. Jika demikian permasalahannya, di mana ia hidup dibawah tanggungan ayahnya, sedang ia yakin bahwa ayahnya mengamalkan riba, maka wajib baginya melakukan segala upaya agar terlepas dari penghidupan yang tegak diatas kemaksiatan tersebut. Meskipun urusan ini mengharuskannya meninggalkan kuliah, karena belajar (pada kulah tersebut) bukanlah fardhu ‘ain. Dan wajib baginya berusaha mencari rizki yang halal dengan jerih payah dan keringatnya sendiri. Itu lebih baik dan lebih kekal.
Rabu, 22 Maret 2006 07:19:52 WIB
Al-Baihaqi berkata : “Bahwa Abdul Wahhab (yakni Ibnu Atha’) berkata yaitu (si penjual) berkata : “Itu (barang) untukmu apabila kontan Rp 10,- namun jika dengan penundaan (seharga) Rp 20,-“. Imam Ibnu Qutaibah juga menerangkannya dengan (keterangan) ini, beliau berkata di dalam “Gharib Al-Hadits (I/18)” : Diantara jual beli yang terlarang (ialah) dua syarat (harga) dalam satu penjualan, yaitu (misalnya) seseorang membeli barang seharga dua dinar jika temponya dua bulan, dan seharga tiga dinar jika temponya tiga bulan. Itulah makna “dua (harga) penjualan di dalam satu penjualan. Dan hadits itu dengan lafazh ini adalah ringkas dan shahih. Hadits ini tersebut didalam hadits Ibnu Umar dan Ibnu Amr, keduanya telah ditakhrij di dalam “Irwaa Al-Ghalil (V/150-151)”. Dan semakna dengan hadits itu adalah ucapan Ibnu Mas’ud. "Satu akad jual beli di dalam dua akad jual beli adalah riba”
Sabtu, 25 Februari 2006 07:32:32 WIB
Cara seperti ini termasuk qimar (judi) yang diharamkan menurut syari'at, menyebabkan perbuatan memakan harta manusia secara batil, membuat orang tergiur dan menyebabkan barangnya menjadi laris sementara barang orang lain yang sejenis dan tidak berjudi seperti yang dilakukannya menjadi tidak laku (bangkrut). Oleh karena itu, saya melihat perlunya mengingatkan para pembaca bahwa perbuatan seperti itu diharamkan dan hadiah yang diraih dengan cara seperti itu juga diharamkan menurut syari'at karena termasuk jenis maysir yang diharamkan, yang juga adalah qimar (keduanya adalah judi,-pent). Maka, adalah wajib bagi para pedagang tersebut untuk berhati-hati dari melakukan perjudian seperti itu dan hendaklah mereka memberikan kesempatan kepada orang lain sebagaimana yang mereka dapatkan
Sabtu, 7 Januari 2006 09:16:49 WIB
Saya bekerja di sebuah Bank milik pemerintah. Keistimewaan Bank tersebut adalah mau memberikan pinjaman lunak kepada para petani dan pengusaha kecil dengan syarat ringan, dengan tempo sekitar beberapa bulan sampai beberapa tahun. Bank tersebut memberikan pinjaman berupa uang tunai dan berupa barang-barang kebutuhan (rumah tangga) dengan disertai bunga dan denda pinjamannya kepada Bank tersebut. Selama 20 tahun lebih saya bekerja di Bank tersebut. Gaji yang saya terima dari Bank tersebut saya pergunakan untuk kebutuhan hidup saya dan untuk biaya pernikahan serta untuk menghidupi dan menyekolahkan anak-anak saya, dan sebagian saya pergunakan untuk bershadaqah. Sementara saya tidak mempunyai penghasilan lain. Bagaimana hukum syar'i mengenai diri saya tersebut?
Senin, 21 Nopember 2005 10:24:11 WIB
Dilihat dari sudut permanen atau tidaknya, akad diklasifikasikan menjadi tiga : (1). Akad permanen dari kedua belah pihak yakni akad yang terjadi di mana masing-masing dari kedua belah pihak tidak mampu membatalkan akad tersebut tanpa kerelaan pihak lain. Seperti akad jual beli, sharf, salm, penyewaan dan sejenisnya. (2). Akad non permanen dari kedua belah pihak yakni bahwa salah satu dari kedua belah pihak bila menghendaki bisa membatalkan akad tersebut. Contohnya, syirkah, wikalah, peminjaman, menanam modal dengan sistem qiradh, wasiat dan sejenisnya. (3). Akad permanen dari salah satu pihak namun non permanen pada pihak lain. Seperti penggadaian barang setelah barang di tangan, penjaminan dan sejenisnya. Di antara hukum yang berlaku pada akad permanen adalah tidak ada pilihan (khiyar) yang bersifat selamanya, dan tidak ada pula pembatalan setelah kematian salah satu yang terlibat dalam akad atau keduanya.
Senin, 21 Nopember 2005 07:50:06 WIB
Cacat ini berkaitan dengan objek perjanjian usaha tertentu. Yakni dengan menggambarkan objek perjanjian dengan satu gambaran tertentu, ternyata yang tampak berkebalikan. Seperti orang yang membeli perhiasan berlian, ternyata dibuat dari kaca. Atau orang yang membeli pakaian dari sutera, ternyata hanya dibuat dari katun. Tidak diragukan lagi bahwa kekeliruan semacam ini tentu saja akan mempengaruhi keridhaan, karena faktor perbedaan antara kenyataan dengan hal yang diperkirakan sebelumnya yang seharusnya disenanginya. Bahkan bisa jadi urusannya akan berkembang sehingga perjanjian usaha menjadi gagal total karena objek perjanjian yang hilang. Seperti dua orang yang melakukan perjanjian dalam jual beli emas, ternyata pembeli mendapatkan barang beliannya hanya berupa tembaga. Karena objek perjanjian, yakni emas, tidak ada, maka perjanjian jual beli tersebut gagal karena objek hilang dari perjanjian.
First Prev 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Next Last
