Kategori Risalah : Keluarga
Senin, 24 Oktober 2005 11:15:00 WIB
Saya seorang terhormat di sebuah negeri yang kacau dan dalam keluarga besar yang tidak berpegang pada ajaran agama Islam, kecuali hanya shaum, bahkan mereka semuanya tidak ada yang shalat. Sebelum menikah, saya berkenalan dengan beberapa orang pemudi yang diberikan karunia petunjuk oleh Allah. Merkapun mengenakan hijab. Dan dengan keutamaan yang diberikan oleh Allah, saya pun ikut mengenakan hijab, dan mulai mekasanakan shalat, membaca dan menghapal Al-Qur'an. Kemudian Allah memberikan karunia kepada saya dengan adanya seorang lelaki yang taat beragama yang menikahiku, dengan kerelaan keluargaku. Meski demikian mereka tetap selalu mengejek kami dan menghina kami. Mereka seringkali memintaku untuk melepaskan hijab dan menghina suamiku karena dia miskin.
Minggu, 18 September 2005 08:18:54 WIB
Ada seorang laki-laki yang menikahi wanita muslimah yang masih suka bersolek. Ia menasehatinya untuk melaksanakan syari'at Allah, khususnya perintah untuk mengenakan hijab. Ia melaksanakan beberapa ajakan tapi ia menolak perintah untuk berhijab. Bagaimana seharusnya laki-laki tersebut berbuat terhadapnya ? Apakah diwajibkan atasnya untuk mentalak istrinya ? Apabila tidak wajib baginya untuk mentalaknya, apakah ia turut menanggung dosa perbuatannya? Mengingat bahwa setiap orang akan diperhitungkan berdasarkan amal perbuatannya, sementara ada hadits yang menyebutkan : "Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya"
Kamis, 28 Juli 2005 13:03:32 WIB
Adapun keluarnya untuk mendakwahi manusia, maka ini merupakan fardhu kifayah, apabila telah cukup orang melaksanakannya maka gugurlah kewajiban itu dari yang lain. Dan telah dimaklumi bahwasanya tidak mungkin mendahulukan fardhu kifayah atas fardhu 'ain, dan tidak mungkin pula ia memperhatikan untuk memberi petunjuk kepada orang yang jauh padahal ia sendiri khawatir dengan orang dekat (kerabat). Maka tidak boleh bagi seseorang menyia-nyiakan keluarganya baik berupa putra, putri, istri, ibu atau saudari sementara ia merasa khawatir akan mereka, lalu pergi mendakwahi orang lain (yang merupakan) fardhu kifayah, pafahal menjaga keluarga adalah fardhu 'ain baginya. Ini sudah jelas bila orang yang mengatakannya mencoba memperhatikan apa yang saya sebutkan sekarang, niscaya jelas baginya bahwa apa yang ia sebutkan itu tidaklah benar.
Rabu, 18 Mei 2005 05:23:09 WIB
Adapun apabila seorang wanita tadi safar bersama mahramnya, tinggal di tempat yang aman, tidak melakukan safar kecuali bersama mahramnya, tidak campur baur dengan laki-laki, untuk menuntut ilmu syar'i dan menjauhi fitnah, maka hal itu diperbolehkan karena termasuk kewajiban wanita adalah menuntut ilmu. Para sahabat dahulu juga pergi ke rumah-rumah para istri Nabi untuk masalah-masalah penting dan mereka juga belajar kepada para sahabat wanita, bahkan imam Az-Zarkasyi menulis sebuah kitab yang tercetak berjudul 'Al-Ijabah Lima Istadrakathu Sayyidah Aisyah 'Ala Shahabah' (Beberapa kritikan Aisyah kepada sahabat). Demikian pula kitab Shahih Bukhari, di kalangan orang-orang belakangan, sanadnya bersumber dari Karimah Al-Marwaziyyah, dimana para ulama abad kedelapan, kesembilan dan kesepuluh mengambil sanad Shahih Bukhari dari Karimah.
Selasa, 19 April 2005 07:51:30 WIB
Menurut pandagan saya hendaknya seorang ayah mendakwahi mereka dengan cara yang terbaik sedikit demi sedikit. Apabila mereka terjatuh dalam beberapa maksiat maka hendaknya ia melihat (maksiat) yang paling berat, lalu memulai dengannya dan mengulang-ulangi diskusi dengan mereka hingga Allah Subhanahu wa Ta'ala memudahkan urusan ini dan merekapun meninggalkannya. Namun jika mereka tidak mungkin meresponnya maka perbuatan-perbuatan maksiat berbeda-beda, sebagian di antaranya tidak mungkin membiarkan anak bersama anda sementara ia melakukannya, dan sebagian ada yang dibawahnya. Maka bila seorang menghadapi pertentangan antara dua mafsadah, sementara keduanya pasti harus terjadi atau salah satunya pasti terjadi, maka melakukan yang lebih ringannya itulah yang adil dan itulah yang hak.
Senin, 28 Maret 2005 17:45:46 WIB
Jika tidak melaksanakan shalat maka ia berhak mendapatkan boikot. Jangan menyalaminya, jangan menjawab salamnya sampai ia bertaubat. Karena meninggalkan shalat adalah kekafiran yang besar, sekalipun ia tidak mengingkari akan kewajibannya. Ini merupakan pendapat yang kuat dari dua pendapat ulama. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. "Perjanjian antara kami dan mereka adalah shalat. Barangsiapa yang meninggalkannya maka sungguh ia telah kafir". Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda. "Pembatas antara seseorang dengan kekufuran dan kesyirikan adalah meninggalkan shalat".
First Prev 1 2 3 4 5 6 Next Last