Kategori Fiqih : Jenazah & Maut
Sabtu, 27 Nopember 2010 16:16:39 WIB
Sesungguhnya manusia itu berdasarkan fitrahnya, telah dijadikan untuk memberikan manfaat kepada orang-orang yang telah mati, khususnya setelah mereka meninggal dunia secara langsung, dengan prasangkaan dan anggapan bahwa amalan yang mereka kerjakan itu bisa memberikan manfaat kepada si mayit ketika di dalam kuburan dan setelah ia dibangkitkan darinya. Sebelum wafatnya, manusia bisa melakukan sebagian amalan-amalan yang pahalanya bisa terus mengalir setelah kematiannya. Selain itu, orang yang masih hidup juga dapat memberikan manfaat kepada mayit dengan amalan-amalan yang dikerjakan untuk ditujukan kepada si mayit setelah kematiannya. Amalan-amalan yang bisa dilakukan sebelum kematian itu memungkinkan dan mampu dilakukan. Jika sedikit saja dia mengerahkan usaha, waktu atau harta, maka dia mampu untuk melakukannya. Sedangkan amalan-amalan yang dilakukan oleh orang lain setelah kematiannya, maka amalan-amalan itu tidak berada di tangannya, bisa jadi ada atau tidak ada. Oleh sebab itu saya akan menyebutkan amalan-amalan yang berasal dari usahanya, bukan usaha orang lain, agar semua manusia segera mengamalkannya sebelum datang ajalnya, dengan harapan untuk memberikan manfaat bagi dirinya sendiri, tidak menyandarkan dirinya kepada manfaat dari orang lain setelah kematiannya.
Senin, 11 Oktober 2010 03:20:26 WIB
Diantara aqidah Islam yang diimani oleh Rasul Allah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan yang diajarkan kepada umatnya adalah adanya fitnah dan adzab kubur. Oleh karena itu memahami aqidah ini adalah sebuah keniscayaan. Apalagi dengan adanya gerakan yang menghidupkan kembali kesesatan Khawarij dan sebagian Mu’tazilah yang mengingkari adanya adzab kubur dengan syubhat yang mereka lontarkan, yaitu : Pertama, adzab kubur itu irrasional. Kedua, haditsnya berstatus ahad yang berarti tidak meyakinkan. Sementara meyakini yang zhanni adalah haram. Ketiga, adzab kubur hanyalah masalah khilafiyyah. Keempat, dalil-dalil tentang adzab kubur saling bertentangan. Pada masa Imam al-Baihaqi (384-458 H), orang-orang Qadariyyah, Mu’tazilah bahkan Batiniyyah berpura-pura berintisab kepada madzhab hanafi. Ahli kalam dari kalangan mereka mengingkari hadits ahad dan mengingkari adzab kubur. Hal ini mendorong Imam al-Baihaqi untuk menulis kitab khusus yang berjudul “Itsbat Adzab al-Qabr”. Kitab ini sudah dicetak di Oman dengan tahqiq Dr. Syaraf Mahmud. Kini, karena pemikiran-pemikiran bid’ah ini muncul kembali dengan gencar, maka kami merasa terpanggil untuk memaparkan tentang fitnah kubur, adzab kubur, perintah memohon perlindungan dari adzab kubur, sebab-sebab yang mendatangkan adzab kubur dan yang menyelamatkan manusia darinya, sehingga menjadi jelas siapa yang benar dan siapa yang sesat, siapa yang mengikuti sunnah dan siapa yang mengikuti bid’ah, siapa yang mengikuti ulama salaf dan siapa yang mengkhianati mereka.
Minggu, 15 Nopember 2009 20:56:30 WIB
Manakala musibah ini menimpa, banyak orang mengungkapkan perasaan berkabungnya dengan berbagai cara. Di antaranya, ada yang berkabung dengan menaikkan bendera setengah tiang karena wafatnya seorang pemimpin atau tokoh besar. Atau kaum laki-laki berkabung atas kematian salah seorang keluarga atau kerabatnya. Ada yang mengungkapkannya dengan mengenakan pakaian serba hitam sebagai simbol duka. Bagaimanakah dengan Islam? Islam telah menetapkan, bahwa berkabung hanyalah untuk wanita jika suaminya atau salah satu keluarganya meninggal dunia, dengan cara-cara yang telah ditetapkan syari’at. Berkabung, dalam bahasa Arabnya adalah al hadaad ( الْحَدَادُ ). Maknanya, tidak mengenakan perhiasan baik berupa pakaian yang menarik, minyak wangi atau lainnya yang dapat menarik orang lain untuk menikahinya. Pendapat lain menyatakan, al hadaad adalah sikap wanita yang tidak mengenakan segala sesuatu yang dapat menarik orang lain untuk menikahinya seperti minyak wangi, celak mata dan pakaian yang menarik dan tidak keluar rumah tanpa keperluan mendesak, setelah kematian suaminya. Al-Hadaad, terbagi menjadi dua. Pertama, berkabung dari kematian suami selama empat bulan sepuluh hari. Kedua, berkabung dari kematian salah satu anggota keluarganya, selain suami selama tiga hari.
Sabtu, 14 Nopember 2009 10:25:00 WIB
Ketika orang meninggal dunia, ia tidak lantas menempati peristirahatan terakhir. Ia hanya singgah untuk sementara waktu, meskipun persinggahan itu bisa lebih lama daripada ketika ia hidup di alam dunia. Itulah alam barzakh, alam kubur. Bahkan mungkin di sana, ia tidak sempat beristirahat sama sekali, meski hanya sekejap, sebab ia terus-menerus mendapatkan siksa. Alam barzakh ini pasti dilalui oleh setiap insan, sebelum datangnya hari pengadilan besar yang siapapun tidak akan bisa lolos darinya. Hari ketika Allah datang untuk mengadili setiap manusia sesuai dengan yang pernah mereka kerjakan. Hari kiamat. Hari yang tidak pernah diharapkan kehadirannya oleh orang kafir, sebab mereka sudah mengetahui dan merasakan kedahsyatannya ketika mengalami siksa hebat di kuburnya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam banyak menceritakan keadaan di alam kubur ini. Bahkan Beliau banyak menceritakan tentang siksa yang ditimpakan kepada orang-orang muslim yang bermaksiat. Beliau pernah menceritakan siksa kubur yang di alami oleh dua orang. Yang satu disebabkan oleh namimah (menghasut dan adu domba). Sedangkan yang lain disebabkan oleh kencing yang tidak bersih.
Kamis, 12 Nopember 2009 21:04:08 WIB
Jika Anda pernah mendengar kisah mengenai orang-orang yang hidup kekal di dunia ini, sesungguhnya itu hanya dongeng yang batil. Sebagian orang beranggapan ada orang-orang yang hidup kekal di dunia ini, seperti Khidhir Alaihissalam, Dzulqarnain atau lainnya. Keyakinan seperti ini tidak dikenal dalam Islam. Karena, tidak ada manusia yang hidup kekal di dunia ini. Kematian, sesungguhnya merupakan hakikat yang menakutkan, akan menghampiri semua manusia. Tidak ada yang mampu menolaknya. Dan tidak ada seorangpun kawan yang mampu menahannya. Kematian datang berulang-ulang, menjemput setiap orang, orang tua maupun anak-anak, orang kaya maupun orang miskin, orang kuat maupun orang lemah. Semuanya menghadapi kematian dengan sikap yang sama, tidak ada kemampuan menghindarinya, tidak ada kekuatan, tidak ada pertolongan dari orang lain, tidak ada penolakan, dan tidak ada penundaan. Semua itu mengisyaratkan, bahwa kematian datang dari Pemilik kekuatan yang paling tinggi. Meski sedikit, tak seorang pun manusia memiliki wewenang atas kematian.
Rabu, 11 Nopember 2009 16:15:14 WIB
Syaikh Sa'di menjelaskan: "Allah mengingatkan para hamba-Nya dengan keadan orang yang akan tercabut nyawanya, bahwa ketika ruh sampai pada taraqi yaitu tulang-tulang yang meliputi ujung leher (kerongkongan), maka pada saat itulah penderitaan mulai berat, (ia) mencari segala sarana yang dianggap menyebabkan kesembuhan atau kenyamanan. Karena itu Allah berfiman: "Dan dikatakan (kepadanya): "Siapakah yang akan menyembuhkan?" artinya siapa yang akan meruqyahnya dari kata ruqyah. Pasalnya, mereka telah kehilangan segala terapi umum yang mereka pikirkan, sehingga mereka bergantung sekali pada terapi ilahi. Namun qadha dan qadar jika datang dan tiba, maka tidak dapat ditolak. Dan dia yakin bahwa sesungguhnya itulah waktu perpisahan dengan dunia. Dan bertaut betis (kiri) dengan betis (kanan), maksudnya kesengsaraan jadi satu dan berkumpul. Urusan menjadi berbahaya, penderitaan semakin sulit, nyawa diharapkan keluar dari badan yang telah ia huni dan masih bersamanya. Maka dihalau menuju Allah Ta'ala untuk dibalasi amalannya, dan mengakui perbuatannya. Peringatan yang Allah sebutkan ini akan dapat mendorong hati-hati untuk bergegas menuju keselamatannya, dan menahannya dari perkara yang menjadi kebinasaannya. Tetapi, orang yang menantang, orang yang tidak mendapat manfaat dari ayat-ayat, senantiasa berbuat sesat dan kekufuran dan penentangan". .
First Prev 1 2 3 4 5 6 7 Next Last