Kategori Fiqih : Shalat
Kamis, 11 Nopember 2010 15:53:12 WIB
Shalat menjadi penyejuk hati, kenikmatan jiwa dan surga hati bagi seorang muslim di dunia. Seolah-olah ia senantiasa berada di dalam penjara dan kesempitan, sampai akhirnya masuk ke dalam shalat, sehingga baru bisa beristirahat dari beban dunia dengan shalat. Dia meninggalkan dunia dan kesenangannya di depan pintu masjid, dia meninggalkan di sana harta dunia dan kesibukannya untuk membuka lembaran yang dia sebutkan di dalam hatinya. Masuk masjid dengan hati yang penuh rasa takut karena mengagungkan Allah mengharapkan pahalaNya. Abu Bakar ash Shiddiq Radhiyallahu 'anhu , apabila sedang dalam keadaan shalat, seolah-olah ia seperti tongkat yang ditancapkan. Apabila mengeraskan bacaannya, isakan tangis menyesaki batang lehernya. Sedangkan ‘Umar al Faruq Radhiyallahu 'nhu, apabila membaca, orang yang di belakangnya tidak bisa mendengar bacaannya karena tangisannya. Demikian juga ‘Umar bin Abdul Aziz rahimahullah, apabila dalam keadaan shalat, seolah-olah ia seperti tongkat kayu. Sedangkan ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu, apabila datang waktu shalat, bergetarlah ia dan berubah wajahnya. Tatkala ditanya, dia menjawab: “Sungguh sekarang ini adalah waktu amanah yang Allah tawarkan kepada langit, bumi dan gunung, mereka enggan untuk memikulnya dan takut dengan amanah ini, akan tetapi aku memikulnya”.
Kamis, 15 Juli 2010 03:26:58 WIB
Ibnul Qayyim rahimahullah di dalam Zadul Ma’ad, menyebutkan beberapa cacat hadits Abu Hurairah (hadits no:1), yang kemudian hal itu diikuti oleh orang-orang lain setelah beliau!, tetapi berdasarkan penelitian tidak-lah demikian, inilah secara ringkas bantahan terhadap hal tersebut: (1). “Bahwa hadits Wail (meletakkan tangan dahulu) lebih kuat dari pada hadits Abu Hurairah (meletakkan lutut lebih dahulu)”. Bantahan: Penjelasan kami di atas telah menunjukkan bahwa hadits Wail adalah hadits dha’if, sedangkan hadits Abu Hurairah adalah hadits shahih. (2). Bahwa hadits Abu Hurairah kemungkinan matannya (teksnya) terbalik dari sebagian perawi, karena awal perkataan menyelisihi akhir perkataan. Kemungkinan yang benar: “Hendaklah ia meletakkan dua lututnya lebih dahulu daripada dua tangannya”. Sebagaimana diriwayatkan pada hadits lain. Bantahan: Bahwa hadits Abu Hurairah (meletakkan lutut lebih dahulu) adalah shahih, dan seluruh hadits yang bertentangan dengan ini adalah dha’if, sehingga tidak dapat diterima membikin kemungkinan-kemungkinan berdasarkan hadits yang dha’if. (3). Bahwa jika hadits Abu Hurairah shahih, maka hadits itu mansukh (dihapuskan hukumnya). Bantahan: Hadits-hadits yang dikatakan menghapuskan semuanya dha’if sebagaimana di atas, sehingga pernyataan itu tidak dapat diterima.
Senin, 12 Juli 2010 15:36:10 WIB
Terdapat tiga pendapat seputar masalah ini : Pertama : Bersedekap dan tidak bersedekap dalam i'tidal hukumnya sama, sehingga diperbolehkan memilih salah satunya. Demikian ini yang menjadi pendapat Imam Ahmad, dan demikianlah pendapat madzhab Hambali. Mereka berargumen, tidak ada dalam Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang secara jelas, sehingga keduanya diperbolehkan. Kedua : Bersedekap adalah Sunnah. Inilah yang dirajihkan Syaikh Ibnu 'Utsaimin. Yang rajih -menurut beliau- sunnahnya adalah meletakkan tangan kanan di atas hasta tangan kiri, karena keumuman hadits Sahl bin Sa'ad as-Sa'idi yang shahih dari riwayat al Bukhari, berbunyi: "Orang-orang dahulu diperintahkan untuk meletakkan tangan kanannya di atas hasta tangan kirinya dalam shalat.". Apabila kamu melihat kepada keumumunan hadits ini, yaitu (فِيْ الصَّلاَةِ) dan tidak menyatakan dalam berdiri, maka jelas bagimu bahwa berdiri setelah ruku' disyari'atkan bersedekap. Karena dalam shalat, posisi kedua tangan ketika ruku' berada di atas dua lutut, ketika dalam keadaan sujud berada di atas tanah, ketika duduk berada di atas kedua paha, dan (dalam) keadaan berdiri -mencakup sebelum ruku` dan setelah ruku`- tangan kanan di letakkan di atas hasta tangan kiri. Demikian inilah yang benar.
Selasa, 29 Desember 2009 15:26:22 WIB
Shalat berjamaah merupakan salah satu syiar Islam. Ia dapat menjadi media pemersatu hati kaum Muslimin. Berkumpulnya kaum Muslimin di rumah Allah untuk menunaikan ibadah dipimpin oleh seorang imam, yang tentunya membutuhkan aturan secara lengkap dan jelas. Semua itu diperlukan, karena sebagai kebutuhan, sehingga kaum Muslimin mengetahui aturan yang jelas saat berinteraksi dalam beribadah di tempat yang satu. Begitu juga saat melakukan shalat berjamaah, hendaklah setiap kaum Muslimin mengetahui tentang hal itu, sehingga tidak terjadi pelanggaran terhadap syariat. Jika di suatu masjid terdapat imam rawatibnya, maka yang lebih berhak menjadi imam adalah imam rawatib yang ditunjuk oleh penguasa atau pengurus masjid. Kalau tidak ada, maka yang didahulukan ialah orang yang lebih banyak memiliki hafalan al Qur’an dan lebih memahami hukum Islam. Apabila di kalangan para jamaah setara, maka didahulukan yang lebih pandai dan lebih mengetahui tentang sunnah-sunnah Nabi n . Apabila juga setara, maka didahulukan orang yang lebih dahulu berhijrah. Apabila sama juga, maka didahulukan yang lebih tua usianya.
Jumat, 4 Desember 2009 16:05:31 WIB
Syari’at Islam dibangun di atas dasar ilmu dan kemampuan orang yang dibebani. Tidak ada satu pun beban syari’at yang diwajibkan kepada seseorang di luar kemampuannya. Allah k sendiri menjelaskan hal ini dalam firman-Nya: "Allah Azza wa Jalla tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya". Allah Azza wa Jalla juga memerintahkan kaum Muslimin untuk agar bertaqwa sesuai kemampuan mereka. Allah Azza wa Jalla berfirman: "Maka bertakwalah kamu kepada Allah k menurut kesanggupanmu". Orang yang sakit tidak sama dengan yang sehat. Masing-masing harus berusaha melaksanakan kewajibannya menurut kemampuannya. Dari sini, nampaklah keindahan dan kemudahan syari’at islam. Di antara kewajiban agung yang wajib dilakukan orang yang sakit adalah shalat. Banyak sekali kaum Muslimin yang terkadang meninggalkan shalat dengan dalih sakit atau memaksakan diri melakukan shalat dengan tata cara yang biasa dilakukan orang sehat. Akhirnya, mereka pun merasa berat dan merasa terbebani dengan ibadah shalat. Untuk itu, solusinya adalah mengetahui hukum-hukum dan tata cara shalat bagi orang yang sakit sesuai petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan penjelasan para ulama.
Senin, 2 Nopember 2009 23:03:51 WIB
Semakin banyaknya bangunan tinggi di daerah-daerah dan perkotaan, ditambah banyaknya penerangan buatan dan berbagai macam alat transportasi modern, serta banyaknya pabrik-pabrik dengan asap-asapnya yang menjulang, ini semua mempengaruhi tingkat kesulitan melihat awal terbitnya fajar shodiq yang tipis hanya seperti benang putih, oleh karena itu saat menjelang Subuh, sering kita melihat langit gelap, kemudian tiba-tiba berganti merah dan tidak terlihat lagi warna putih sebelumnya, yang mana warna putih itulah pertanda awal fajar. Oleh karena itu juga gambar-gambar yang tertangkap oleh kamera jika kita ingin mengabadikan terbitnya fajar, biasanya yang tampak adalah fajar yang berwarna merah, bukan awal fajar yang berwarna putih seperti benang tipis. Karena warna putih ini semakin menjadi samar terpengaruh oleh keadaan langit yang sudah berubah, atau mungkin tertangkap warna putih oleh kamera tetapi tidak tipis seperti benang. Ini semua menunjukkan bahwa awal fajar sudah terbit beberapa waktu yang lalu sebelum kamera menangkap gambar tersebut.
First Prev 1 2 3 4 5 6 7 8 Next Last