Shalat Sunnah Witir

Rabu, 9 Nopember 2011 17:04:59 WIB
Kategori : Alwajiz : Shalat Sunnah

Juga dari ‘Aisyah, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat malam sebanyak tiga belas raka’at. Beliau berwitir dengan lima raka’at dan tidak duduk kecuali pada raka’at terakhir.” Darinya juga, ia berkata, “Kami biasa menyiapkan siwak dan air wudhu' untuk beliau. Lalu Allah membangunkan beliau pada malam hari sesuai dengan kehendak-Nya. Lalu beliau bersiwak dan berwudhu'. Kemudian beliau shalat sembilan raka’at. Beliau tidak duduk kecuali pada raka’at kedelapan. Beliau berdzikir kepada Allah, memuji, dan berdo’a kepada-Nya. Setelah itu bangkit dan tidak salam. Lalu beliau berdiri dan mengerjakan raka’at yang kesembilan. Kemudian beliau duduk sambil berdzikir kepada Allah, memuji, dan berdo’a kepada-Nya. Lantas beliau mengucap salam dan memperdengarkannya kepada kami. Setelah itu beliau shalat dua raka’at sesudah salam sambil duduk. Itulah berjumlah sebelas raka’at, wahai anakku. Tatkala Nabiyyullah Shallallahu 'alaihi wa sallam semakin tua dan gemuk, beliau berwitir dengan tujuh raka’at. Lalu beliau mengerjakan shalat dua raka’at sebagaimana yang pertama. Itu semua berjumlah sembilan raka’at, wahai anakku.”

Qiyamul Lail (Shalat Malam)

Rabu, 9 Nopember 2011 14:45:55 WIB
Kategori : Alwajiz : Shalat Sunnah

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, “Pada suatu malam, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat di masjid. Lalu orang-orang shalat dengan shalat beliau. Pada malam berikutnya beliau shalat lagi dan orang-orang kian bertambah banyak. Mereka kemudian berkumpul pada malam ketiga atau keempat, namun Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak keluar menemui mereka. Ketika pagi tiba, beliau bersabda: ‘Aku melihat apa yang kalian perbuat. Tidak ada yang menghalangiku untuk keluar menemui kalian. Hanya saja aku takut jika shalat tersebut diwajibkan atas kalian.’ Saat itu pada bulan Ramadhan.” Dari ‘Abdurrahman al-Qari, ia berkata, “Pada suatu malam di bulan Ramadhan, aku keluar bersama 'Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu menuju masjid. Ternyata orang-orang terpecah menjadi beberapa kelompok. Ada seorang laki-laki yang shalat sendirian, dan ada pula yang shalat dengan diikuti oleh beberapa orang. Lalu ‘Umar berkata, “Aku berpendapat, seandainya kukumpulkan mereka di bawah satu qari' (imam), tentulah akan lebih baik. Kemudian dia membulatkan tekadnya dan mengumpulkan mereka di bawah Ubay bin Ka'b. Pada suatu malam yang lain aku keluar bersamanya sedangkan orang-orang tengah shalat bersama imam mereka. ‘Umar berkata, ‘Ini adalah sebaik-baik bid’ah (perkara yang baru)

Berdialog Dengan Teroris (Belajar Dari Pengalaman Arab Saudi Dalam Menumpas Terorisme)

Senin, 10 Oktober 2011 10:24:23 WIB
Kategori : Al-Masaa'il : Terorisme

Seperti Indonesia, Arab Saudi adalah salah satu negara yang paling banyak dibicarakan saat orang membahas terorisme. Berita kematian Usamah bin Laden akhir-akhir ini juga membuat Arab Saudi kembali dibicarakan. Sebelumnya, banyak sekali peristiwa seputar terorisme yang telah terjadi di negeri yang membawahi dua kota suci umat Islam ini. Dalam banyak kasus terorisme di Indonesia, ditemukan banyak pelaku teror yang sebelumnya pernah menjadi terpidana kasus terorisme. Setelah di penjara dan menjalani hukuman, mereka tidak insaf, namun tetap memegangi pemikiran dan perilaku mereka semula. Terlepas dari faktor hidayah, hal tersebut sangat mungkin karena penanganan yang salah atau tidak optimal. Kesalahan pemikiran yang mereka miliki termasuk dalam kategori syubhat, sehingga hukuman fisik yang mereka dapatkan di penjara, atau hukuman sosial berupa pandangan miring masyarakat tidak lantas membuat mereka jera dan insaf. Mereka menganggap aksi mereka sebagai ibadah (jihad) yang mendekatkan diri mereka kepada Allâh Azza wa Jalla dan hukuman yang mereka dapatkan di dunia adalah konsekuensi ketaatan yang semakin menambah pundi-pundi pahala mereka. Kondisi seperti ini menuntut pemerintah dan ulama Ahlus Sunnah untuk memikirkan solusi yang lebih baik, agar gerakan terorisme bisa ditekan dengan lebih optimal. Tulisan singkat ini menyuguhkan sebuah solusi yang telah terbukti mujarab menekan pemikiran dan aksi terorisme berdasarkan pengalaman Kerajaan Arab Saudi.

Maaf-Memaafkan Dalam Rangka Hari Raya Disyariatkan?

Jumat, 2 September 2011 00:11:09 WIB
Kategori : Fiqih : Hari Raya

Akan tetapi, amal shaleh yang agung ini, bisa berubah menjadi perbuatan haram dan tercela jika dilakukan dengan cara-cara yang tidak ada tuntunannya dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Misalnya , mengkhususkan perbuatan ini pada waktu dan sebab tertentu yang tidak terdapat dalil dalam syariat tentang pengkhususan tersebut. Seperti mengkhususkannya pada waktu dan dalam rangka hari raya Idul Fithri dan Idul Adha. Ini termasuk perbuatan bid’ah yang jelas-jelas telah diperingatkan keburukannya oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya semua perkara yang diada-adakan adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat, dan semua yang sesat (tempatnya) dalam neraka”. Kalau ada yang bertanya : mengapa ini dianggap sebagai perbuatan bid’ah yang sesat, padahal agama Islam jelas-jelas sangat menganjurkan dan memuji sifat mudah memaafkan kesalahan orang lain, sebagaimana telah disebutkan dalam keterangan diatas ? Jawabnya : Benar, Islam sangat menganjurkan hal tersebut, dengan syarat jika tidak dikhususkan dengan waktu atau sebab tertentu, tanpa dalil (argumentasi) yang menunjukkan kekhususan tersebut. Karena, jika dikhususkan dengan misalnya waktu tertentu tanpa dalil khusus, maka berubah menjadi perbuatan bid’ah yang sangat tercela dalam Islam.

Menyingkap Keabsahan Halal Bi Halal

Kamis, 1 September 2011 06:17:37 WIB
Kategori : Fiqih : Hari Raya

Konon, tradisi halal bi halal mula-mula dirintis oleh KGPAA Mangkunegara I (lahir 8 Apri 1725), yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa. Untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka setelah shalat Idul Fithri diadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri. Apa yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa itu kemudian ditiru oleh organisasi-organisasi Islam dengan istilah halal bihalal. Kemudian instansi-instansi pemerintah/swasta juga mengadakan halal bihalal, yang pesertanya meliputi warga masyarakat dari berbagai pemeluk agama. Halal bi halal dengan makna seperti di atas juga tidak ditemukan penyebutannya di kitab-kitab para ulama. Sebagian penulis dengan bangga menyebutkan bahwa halal bi halal adalah hasil kreativitas bangsa Indonesia dan pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat Indonesia. Namun dalam kacamata ilmu agama, hal seperti ini justru patut dipertanyakan, karena semakin jauh suatu amalan dari tuntunan kenabian, ia akan semakin diragukan keabsahannya. Islam telah sempurna dan penambahan padanya justru akan mencoreng kesempurnaannya. Tulisan pendek ini berusaha mengulas keabsahan tradisi halal bi halal menurut pandangan syariat.

Idul Fithri Dan Halal Bi Halal

Rabu, 31 Agustus 2011 15:26:52 WIB
Kategori : Fiqih : Hari Raya

Idul Fithri adalah salah satu di antara dua hari raya besar yang ada dalam Islam. Biasanya dalam Idul Fithri, di negeri tercinta ini, selalu identik dengan acara halal bihalal. Entah bagaimana asal muasalnya, tetapi tradisi itu telah berlangsung sejak lama. Yang jelas, hari Idul Fithri adalah hari dimana kaum muslimin merayakan kegembiraannya pasca Ramadhan. Bahkan hari itu kaum muslimin diperbolehkan bersukaria sebagai ungkapan syukur kepada Allah dengan melakukan kegaiatan apa saja yang menyenangkan hati sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan syariat Islam. Ibnu Manzhur dalam Lisan al-Arab membawakan perkataan Ibu al-A’rabiy : “Hari Raya (‘Id) dinamakan ‘Id, karena hari itu selalu berulang setiap tahun dengan kegembiraan yang selalu baru”. Al-Allamah Ibnu Abidin rahimahullah mengatakan, “Hari raya disebut dengan sebutan ‘Id, karena di hari itu Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki berbagai macam kebaikan yang samua kebaikan itu kembali kepada para hamba-Nya. Antara lain : (Kebaikan) berbuka puasa setelah sebelumnya ada larangan makan, demikian pula zakat fithri. Juga menyempurnakan ibadah haji (pada Idul Adha) dengan thawaf ziarah, makan daging kurban, dan lain-lain. Karena kebiasaannya pada hari itu berisi kegembiraan, kesenangan, dan keriangan.

First  Prev  26  27  28  29  30  31  32  33  34  35  36  Next  Last

Bismillaahirrahmaanirrahiim Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga dicurahkan kepada Rasul termulia, juga kepada seluruh keluarga dan shahabatnya. Amma ba'du. Website almanhaj.or.id adalah sebuah media dakwah sangat ringkas dan sederhana, yang diupayakan untuk ikut serta dalam tasfiyah (membersihkan) umat dari syirik, bid'ah, serta gerakan pemikiran yang merusak ajaran Islam dan tarbiyah (mendidik) kaum muslimin berdasarkan ajaran Islam yang murni dan mengajak mereka kepada pola pikir ilmiah berdasarkan al-Qur'an dan as-Sunnah dengan pemahaman Salafush Shalih. Kebenaran dan kebaikan yang anda dapatkan dari website ini datangnya dari Allah Ta'ala, adapun yang berupa kesalahan datangnya dari syaithan, dan kami berlepas diri dari kesalahan tersebut ketika kami masih hidup ataupun ketika sudah mati. Semua tulisan atau kitab selain Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahihah dan maqbul, mempunyai celah untuk dikritik, disalahkan dan dibenarkan. Barangsiapa yang melihat adanya kesalahan hendaknya meluruskannya. Hati kami lapang dan telinga kami mendengar serta bersedia menerima. Semoga Allah menjadikan upaya ini sebagai amalan shalih yang bermanfaat pada hari yang tidak lagi bermanfaat harta dan anak-anak, melainkan orang yang menemui Rabb-nya dengan amalan shalih. Jazaakumullahu khairan almanhaj.or.id Abu Harits Abdillah - Redaktur Abu Khaulah al-Palimbani - Web Admin