Senin, 2 Januari 2012 22:41:51 WIB
Kategori : Kitab : Hari Kiamat (1)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Tidak akan tiba hari Kiamat hingga zaman berdekatan, setahun bagaikan sebulan, sebulan bagaikan sepekan, sepekan bagaikan sehari, sehari bagaikan sejam dan sejam bagaikan terbakarnya pelepah pohon kurma.” Ada beberapa pendapat para ulama tentang makna berdekatannya zaman, di antaranya: Pertama : Maksudnya adalah sedikitnya keberkahan di dalam waktu. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hal ini telah didapati pada zaman kita sekarang ini. Karena kita telah menjumpai cepatnya waktu berlalu yang tidak pernah kita temukan pada zaman sebelum kita.” Kedua : Maksudnya adalah apa yang akan terjadi pada zaman al-Mahdi dan Nabi ‘Isa Alaihissallam, di mana manusia menikmati kehidupannya, adanya jaminan keamanan, juga keadilan. Saat itu manusia merasakan singkatnya masa-masa kemakmuran padahal waktunya lama, dan masa-masa sulit dirasakan lama padahal singkat. Ketiga : Maksudnya adalah kedekatan (kemiripan) keadaan penghuninya dalam hal sedikitnya ilmu agama. Sehingga, tidak ada amar ma’ruf dan nahi munkar di tengah-tengah mereka karena mendominasinya kefasikan dan para pelakunya. Secara khusus hal itu terjadi ketika upaya mencari ilmu ditinggalkan serta ridha dengan kebodohan. Karena sesungguhnya manusia tidak sama dalam keilmuannya, dan beragamnya tingkatan ilmu mereka.
Senin, 2 Januari 2012 15:11:19 WIB
Kategori : Kitab : Hari Kiamat (1)
Al-Imam Ahmad dan al-Hakim meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhuma, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Tidak akan tiba hari Kiamat hingga banyak perbuatan dan perkataan keji, pemutusan silaturahmi, dan jeleknya hubungan bertetangga.” Ath-Thabrani meriwayatkan dalam al-Ausath dari Anas Radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ‘Di antara tanda-tanda Kiamat adalah perbuatan dan perkataan yang keji (kotor), serta pemutusan silaturahmi.” Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwasanya beliau bersabda:“Sesungguhnya menjelang terjadinya Kiamat... dan pemutusan silaturahmi.” Apa-apa yang telah dikabarkan oleh Nabi Shallallahu 'aliahi wa sallam telah terjadi, kekejian menyebar di sebagian besar kalangan manusia, mereka tidak peduli terhadap perkataan yang mengandung dosa yang mereka ucapkan, juga tidak peduli terhadap akibat (siksa) yang sangat pedih atas perbuatan tersebut. Hubungan kekerabatan diputuskan, seseorang tidak menjalin kekerabatan dengan kerabatnya. Bahkan di antara mereka terjadi saling memutuskan silaturahmi dan saling memusuhi, hal itu terus-menerus terjadi berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun sementara mereka berada di satu daerah.
Rabu, 28 Desember 2011 04:26:05 WIB
Kategori : Fiqih : Bisnis & Riba
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, calo berarti orang yang menjadi perantara dan memberikan jasanya berdasarkan upah. Calo bisa disamakan dengan makelar atau perantara. Dalam hal ini calo tiket dapat diartikan dengan perantara perusahaan pemberi jasa transportasi dan pengguna jasa. Keberadaan calo sangat dibutuhkan oleh pihak produsen, pemilik barang atau jasa untuk memasarkan barang/jasa yang mereka miliki. Dan juga sangat dibutuhkan oleh para pembeli/pengguna jasa untuk memberikan informasi yang akurat sehingga pihak konsumen dapat menentukan pilihan mereka terhadap barang/jasa sesuai dengan keinginan dan anggaran mereka. Karena kebutuhan pemilik barang/jasa dan konsumen akan jasa calo maka keberadaan calo sudah dikenal sejak lama dari masa Rasulullah dan qurun mufaddhalah, profesi calo dikenal dengan sebutan dallal atau simsaar. Pekerjaan mereka di saat itu adalah meneriakkan nama barang serta sepesifikasinya sehingga para pembeli berdatangan ke tempat tersebut untuk membeli barang yang mereka inginkan. Setelah selesai meneriakkan barang, mereka mendapatkan imbalan dari pemilik barang atas pekerajan mereka. Atas dasar kebutuhan akan jasa calo dan karena hukum asal muamalat adalah mubah selama tidak terdapat larangan, maka profesi calo dibenarkan dalam Islam serta upah yang mereka dapatkan hukumnya halal.
Senin, 26 Desember 2011 15:27:02 WIB
Kategori : Kitab : Aqidah (Syarah)
Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah Ahlul Wasath (ummat yang pertengahan di antara firqah-firqah yang menyimpang). Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjadikan ummat (Islam) ini sebagai ummat pertengahan (ummat yang adil dan terpilih), di kalangan semua ummat manusia, sebagaimana firman-Nya: “Dan demikian pula telah Kami jadikan kamu (ummat Islam), ummat yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” Mereka (Ahlus Sunnah) adalah pertengahan di antara firqah-firqah (golongan-golongan) yang sesat. Menurut penjelasan Imam ‘Abdullah Ibnul Mubarak (wafat th. 181 H) dan Yusuf al-Asbath (wafat th. 195 H) bahwa golongan yang binasa (sesat) banyak jumlahnya, akan tetapi sumber perpecahannya ada empat firqah (golongan), yaitu: Rafidhah. Khawarij. Qadariyyah. Murji'ah. Ada orang yang bertanya kepada ‘Abdullah Ibnul Mubarak tentang golongan Jahmiyyah, maka beliau menjawab: “Mereka itu bukan ummat Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.”. Jahmiyyah adalah aliran yang sesat dan dikafirkan oleh para ulama. Muncul pada akhir kekuasaan Bani Umayyah. Disebut demikian karena dikaitkan dengan nama tokoh pendirinya, yaitu Abu Mahraz Jahm bin Shafwan at-Tirmidzi yang dibunuh pada tahun 128 H.
Minggu, 25 Desember 2011 22:29:53 WIB
Kategori : Kitab : Aqidah (Syarah)
Iman adalah meyakini dengan hati, mengucapkannya dengan lisan dan mengamalkannya dengan anggota badan. Amal perbuatan -dengan keseluruhan jenis-jenisnya yang meliputi amalan hati dan amalan anggota badan- adalah termasuk hakekat iman. Ahlus Sunnah tidak mengeluarkan amalan sekecil apa pun dari hakekat iman ini, apalagi amalan-amalan besar dan agung. Bukan termasuk pemahaman Ahlus Sunnah bahwa iman adalah pembenaran dengan hati saja! Atau pembenaran dengan pengucapan lisan saja! Tanpa amalan anggota badan! Dan barangsiapa berpendapat demikian, maka ia telah sesat dan menyesatkan. Sesungguhnya pemahaman seperti ini berasal dari kejelekan faham kaum Murji’ah. Iman memiliki cabang-cabang serta tingkatan-tingkatan. Sebagian di antaranya jika ditinggalkan, maka menjadikan kufur, sebagian yang lain jika ditinggalkan adalah dosa -kecil atau besar-, dan sebagian yang lain jika ditinggalkan akan menyebabkan hilangnya kesempatan memperoleh pahala dan menyia-nyiakan ganjaran. Iman dapat bertambah dengan ketaatan hingga mencapai kesempurnaan, dan dapat berkurang karena kemaksiatan hingga sirna dan tidak tersisa sedikit pun.
Sabtu, 24 Desember 2011 15:04:05 WIB
Kategori : Kitab : Aqidah (Syarah)
Pengkafiran adalah hukum syar’i dan tempat kembalinya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam. Barangsiapa yang tetap keislamannya secara meyakinkan, maka keislaman itu tidak bisa lenyap darinya kecuali dengan sebab yang meyakinkan pula. Tidak setiap ucapan dan perbuatan yang disifatkan nash sebagai kekufuran merupakan kekafiran yang besar (kufur akbar) yang mengeluarkan seseorang dari agama, karena sesungguhnya kekafiran itu ada dua macam; kekafiran kecil (asghar) dan kekafiran besar (akbar). Maka, hukum atas ucapan-ucapan maupun perbuatan-perbuatan ini sesungguhnya berlaku menurut ketentuan metode para ulama Ahlus Sunnah dan hukum-hukum yang mereka keluarkan. Tidak boleh menjatuhkan hukum kafir kepada seorang Mus-lim, kecuali telah ada petunjuk yang jelas, terang dan mantap dari Al-Qur-an dan As-Sunnah atas kekufurannya. Maka, dalam permasalahan ini tidak cukup hanya dengan syubhat dan zhan (persangkaan) saja. Ahlus Sunnah tidak menghukumi pelaku dosa besar tersebut dengan kekafiran. Namun menghukuminya sebagai bentuk kefasikan dan kurangnya iman apabila bukan dosa syirik dan dia tidak menganggap halal perbuatan dosanya.
First Prev 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 Next Last
