Kategori Alwajiz : Jual Beli
Jumat, 7 Januari 2005 16:24:54 WIB
Hawalah dengan haa yang difat-hah dan terkadang dikasrah, diambil dari kata at-tahwil (memindahkan) atau dari kata al-ha-uul, dikatakan: haala ‘anil ‘ahdi idzaa intaqala ‘anhu ha’uulan (berpindah dari janji). Dan menurut para fuqaha adalah memindahkan hutang dari satu penghutang kepada penghutang lainnya. Barangsiapa yang mempunyai hutang sedangkan ia (sendiri) menghutangi orang lain, kemudian ia memindahkan hutangnya kepada orang yang berhutang kepadanya, maka wajib bagi orang yang memberi hutang untuk berpindah (dalam menagih hutang) jika orang yang dipindahkan hutang kepadanya (al-muhaal ‘alaih) kaya, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Menangguhkan pembayaran hutang adalah zhalim, apabila seseorang dari kalian diminta supaya menagih hutang kepada orang kaya, maka hendaklah ia menagihnya
Jumat, 7 Januari 2005 16:21:32 WIB
Definisi ‘Ariyah. Para fuqaha mendefinisikannya (yaitu) izin yang diberikan oleh pemilik barang kepada orang lain untuk memanfaatkan barang miliknya tanpa imbalan. Hukumnya mustahabbah (dianjurkan), sebagaimana firman-Nya Ta’ala:“… Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa...” Dan juga sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Allah akan selalu menolong hamba-Nya selama hamba tersebut mau menolong saudaranya”. Seorang peminjam adalah dipercaya, ia tidak menjamin (atas barang yang dipinjamnya) kecuali jika ia lalai, atau orang yang meminjamkan memberi syarat jaminan kepadanya. Diriwayatkan dari Shafwan bin Ya’la dari ayahnya, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadaku, ‘Apabila utusan-utusanku datang kepadamu, maka berilah ia tiga puluh baju perang dan tiga puluh unta.’” Ia berkata, “Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah ia pinjaman yang dijamin ataukah pinjaman yang akan dikembalikan?’ Beliau menjawab, ‘Bahkan akan dikembalikan.’” Al-Amir ash-Shan’ani berkata dalam Subulus Salaam (III/69), “Al-Madhmuunah (dijamin) yaitu dijamin dengan harga apabila rusak. Sedangkan al-muaddaah (dikembalikan) yaitu wajib dikembalikan bersama utuhnya barang tersebut, apabila rusak maka tidak ditanggung dengan harga.”
Selasa, 14 Desember 2004 13:25:54 WIB
Barangsiapa menemukan barang, maka wajib baginya untuk mengetahui jenis dan jumlahnya, kemudian mempersaksikan kepada orang yang adil, kemudian ia menyimpannya dan diumumkan selama setahun. Apabila pemiliknya memberitahukannya sesuai ciri-cirinya, maka ia wajib memberikan kepada orang tersebut walaupun setelah lewat satu tahun, jika tidak (ada yang mengakuinya), maka ia boleh memanfaatkannya. Diriwayatkan dari Suwaid bin Ghaflah, ia berkata, “Aku bertemu dengan Ubaiy bin Ka’ab, ia berkata, ‘Aku menemukan sebuah kantung yang berisi seratus dinar, lalu aku mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Lalu beliau bersabda, ‘Umumkan dalam setahun.’ Aku pun mengumumkannya selama satu tahun, dan aku tidak menemukan orang yang mengenalinya. Kemudian aku mendatangi beliau lagi, dan bersabda, ‘Umumkan selama satu tahun.’ Lalu aku mengumumkannya dan tidak menemukan (orang yang mengenalnya). Aku mendatangi beliau untuk yang ketiga kali, dan beliau bersabda: "Jagalah tempatnya, jumlahnya dan tali pengikatnya, kalau pemiliknya datang (maka berikanlah) kalau tidak, maka manfaatkanlah." Maka aku pun memanfaatkannya. Setelah itu aku (Suwaid) bertemu dengannya (Ubay) di Makkah, ia berkata, ‘Aku tidak tahu apakah tiga tahun atau satu tahun.’”
Sabtu, 27 Nopember 2004 08:52:08 WIB
Laqiith adalah anak kecil yang belum baligh yang ditemukan di jalan atau tersesat di jalan atau tidak diketahui nasabnya. Apabila ditemukan di negeri Islam, maka dihukumi sebagai muslim dan dihukumi sebagai orang yang merdeka dimana pun ia ditemukan, karena hukum asal manusia adalah merdeka. Apabila ia membawa harta, maka ia diberi nafkah dari hartanya, kalau tidak maka nafkahnya diambil dari baitul maal. Dari Sunain Abu Jamilah -seseorang dari Bani Sulaim- ia berkata, “Aku menemukan seorang anak, lalu aku membawanya menemui ‘Umar bin al-Khaththab, maka berkatalah ‘Uraifi, ‘Wahai Amirul Mukminin, sungguh ia adalah orang yang shalih.’ ‘Umar berkata, ‘Apakah benar ia seperti itu?’ Ia menjawab, ‘Ya.’ ‘Umar berkata, ‘Bawalah ia, dan ia merdeka dan engkau mendapatkan wala’nya, dan kewajiban kami (baitul maal) memberikan nafkahnya.’” Apabila anak temuan meninggal dan ia meninggalkan warisan serta tidak meninggalkan ahli waris, maka warisannya menjadi milik baitul mal demikian pula diyat (denda)nya jika ia dibunuh.
Senin, 11 Oktober 2004 18:48:39 WIB
Dari Kuraib, maula Ibnu ‘Abbas, bahwa Maimunah binti al-Harits Radhiyallahu anhuma (isteri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) memberitahukan kepadanya bahwa ia memerdekakan budaknya dan belum izin kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka tatkala datang hari gilirannya, ia berkata, “Wahai Rasulullah apakah engkau merasa bahwa aku telah memerdekakan budakku?” Beliau menjawab, “Apakah engkau telah melakukannya?” Ia berkata, “Ya.” Beliau bersabda: “Seandainya engkau memberikannya kepada bibi-bibimu, maka itu lebih besar pahalanya untukmu.” Dari an-Nu’man bin Basyir, ia berkata, “Ayahku bersedekah kepadaku dengan sebagian hartanya. Maka ibuku, (yaitu) ‘Amrah binti Rawahah berkata, ‘Aku tidak ridha hingga engkau mempersaksikannya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.’ Maka, ayahku berangkat menemui Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mempersaksikannya atas sedekahku. Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya, ‘Apakah engkau melakukan ini kepada seluruh anak-anakmu?’ Ia menjawab, ‘Tidak.’ Beliau bersabda:
Rabu, 29 September 2004 21:03:23 WIB
Keduanya adalah suatu bentuk pemberian yang terbatas dengan waktu. Adapun ‘umra dengan didhammah dan mim sukun beserta alif di akhirnya diambil dari kata ‘umur. Adapun ruqba dengan timbangan (wazan) umra diambil dari kata muraqabah (mengawasi). Karena mereka dahulu melakukannya di masa Jahiliyyah (yaitu) memberikan rumah kepada sese-orang seraya berkata kepadanya, “Aku menyuruhmu untuk me-makmurkan rumahku.” Atau, “Aku membolehkanmu untuk mendiaminya sepanjang umurmu.” Maka, dikatakan ‘umra karena sebab ini. Demikian pula dikatakan dengan ruqba karena setiap dari keduanya saling mengawasi kapan yang lainnya meninggal sehingga ia (rumah tersebut) kembali kepadanya. Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menganggap pembatasan waktu ini batal/ terhapus, dan beliau menjadikan setiap dari ‘umra dan ruqba milik orang yang diberi selama hidupnya dan bagi ahli waris setelahnya dan tidak kembali kepada si pemberi. Dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:‘'Umra itu boleh bagi orang yang diberinya dan ruqba itu boleh bagi yang diberinya.diberinya.’”
First Prev 1 2 3 4 Next Last