Kategori Fiqih : Shalat Jum'at
Kamis, 2 Desember 2004 07:07:24 WIB
Di antara umat manusia ada yang membuat mimbar masjid sangat tinggi sekali. Dan ini jelas salah dengan dua alasan: Pertama: Hal tersebut bertentangan dengan mimbar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang tingginya hanya tiga tingkat (anak tangga) saja. Yang menjadi dalil hal tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim rahimahullah di dalam kitab Shahiihnya dari Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengutus seseorang kepada seorang wanita seraya berkata, “Perintahkan budakmu yang ahli kayu untuk membuatkan untukku mimbar dari kayu untuk aku perguna-kan berbicara kepada orang-orang dari atas mim-bar tersebut.” Lalu dia membuatkan mimbar itu tiga tingkat dan kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan supaya diletakkan di masjid, maka mimbar itu diletakkan di tempat itu. Ada juga dalil lain yang menunjukkan bahwa mimbar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam itu tiga tingkat saja. Yaitu apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Ahmad, dan dinilai hasan oleh al-Albani rahima-humullah:
Kamis, 30 September 2004 16:27:26 WIB
Hadits ini secara jelas menyebutkan bahwa waktu itu adalah saat terakhir setelah Ashar dan sebelum Maghrib. Oleh karena itu, hendaklah seorang muslim bersegera sesaat sebelum Maghrib berwudhu’ dan pergi ke masjid lalu mengerjakan shalat Tahiyyatul Masjid [4], lalu duduk di masjid sambil memohon kepada Rabb-nya seraya menundukkan diri kepada-Nya sambil menunggu shalat Maghrib, karena barangsiapa duduk di masjid untuk me-nunggu shalat, maka dia berada dalam shalat dan berdo’a kepada Rabb-nya sesuai dengan keinginannya berupa kebaikan dunia dan akhirat, yang ia berada pada waktu yang sangat agung lagi berharga, saat di mana Allah akan mengabulkan do’a. Yaitu saat di mana Allah melimpahkan karunia kepada hamba-hamba-Nya. Orang yang diharamkan adalah yang diharamkan dari kebaikannya dan yang berbahagia adalah yang memanfaatkannya dan menyibukkan diri di dalamnya serta menyiapkan diri menyambutnya. Sehingga Allah tidak melihat Anda pada waktu itu dalam keadaan lengah dan lalai.
Senin, 16 Agustus 2004 16:48:05 WIB
Di antara imam ada yang mengatakan: “Istawuu wa’tadiluu (lurus dan rapatkan).” Dan setelah itu langsung takbir dan masuk shalat, padahal barisan masih bengkok bahkan bisa jadi masih terdapat barisan yang kosong (renggang). Lalu di antara para imam itu ada yang mengerjakan shalat dengan barisan yang berantakan dan tidak lurus. Dan ada juga di antara jama’ah yang masih terus meluruskan barisannya sampai imam sudah selesai membaca al-Fatihah. Dan itu jelas kesalahan yang parah dari seorang imam. Seharusnya dia sendiri yang melurus-kan barisan atau mewakilkan kepada seseorang untuk merapikan dan meluruskan barisan. Dan baru setelah barisan lurus dan rapat, maka dia bisa mulai beri’tidal, bertakbir dan masuk shalat. Yang demikian itu karena pelurusan dan pe-rapian barisan termasuk bagian dari shalat yang memang diperintahkan melalui firman Allah Ta’ala berikut ini: “... Dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar...”
Kamis, 29 Juli 2004 09:18:02 WIB
Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Madzhab Malik adalah jual beli itu harus ditinggalkan jika shalat sudah diserukan. Dan transaksi jual beli yang terjadi pada saat itu menjadi batal. Tetapi tidak batal pemerdekaan budak, pernikahan, perceraian, dan lain-lainnya yang terjadi pada saat itu, karena bukan menjadi kebiasaan orang untuk menyibukkan diri dengan hal ter-sebut, berbeda halnya dengan kesibukan jual beli yang biasa mereka lakukan. Mereka mengatakan, “Demikian halnya dengan syirkah, hibah, shadaqah, yang jarang sekali terjadi pada waktu itu, sehingga tidak batal.” Ibnu al-Arabi al-Maliki rahimahullah mengatakan, “Yang benar adalah batalnya semua urusan yang terjadi pada saat itu, jual beli itu dilarang karena kesibukan terhadapnya, sehingga segala urusan yang menyibukkan dan melalaikan shalat Jum’at adalah haram menurut syari’at dan pasti batal.” Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Yang benar adalah rusak dan batalnya transaksi itu. Hal itu didasarkan pada sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam: “Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang bukan dari ajaran kami, maka ia tertolak.”
Minggu, 25 Juli 2004 13:51:45 WIB
Dan menurut riwayat ath-Thabrani dan al-Baihaqi, dari ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu 'anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya shadaqah itu dapat memadamkan panas kuburan dari penghuninya. Dan sesungguhnya orang mukmin pada hari Kiamat kelak akan bernaung di bawah naungan shadaqahnya.” ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu mengatakan, “Pernah dikatakan kepadaku bahwa seluruh amal perbuatan akan merasa bangga sehingga shada-qah akan berkata, ‘Aku yang lebih utama dari kalian.’” Ini salah satu bagian dari keutamaan shadaqah pada setiap harinya. Sedangkan shadaqah pada hari Jum’at memiliki keutamaan khusus dari hari-hari lainnya. Telah diriwayatkan oleh Imam ‘Abdurrazzaq ash-Shan’ani rahimahullah dari Imam Sufyan ats-Tsauri, dari Mansur, dari Mujahid, dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhuma, dia berkata, Abu Hurairah dan Ka’ab pernah ber-kumpul. Lalu Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu berkata, “Sesungguhnya pada hari Jum’at itu terdapat satu waktu yang tidaklah seorang muslim bertepatan dengannya dalam keadaan memohon kebaikan kepada Allah Ta’ala melainkan Dia akan men-datangkan kebaikan itu kepadanya.”
Rabu, 9 Juni 2004 16:29:15 WIB
Tidak ada ketarangan shahih dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau melaksanakan shalat Jum'at saat dalam perjalanan, bahkan riwayat menyebutkan bahwa beliau menjama' (mengumpulkan) dua shalat –dhuhur dan ashar- saat di Arafah dan itu terjadi pada hari Jum'at. Oleh karena itu ada keterangan-keterangan dari Shahabat yang menguatkannya. Dari Hassan Al-Bashri diriwayatkan bahwa Anas bin Malik menetap di Naisabur selama satu tahun -atau dua tahun- di selalu shalat dua raka'at lalu salam dan dia tidak melaksanakan shalat jum'at. Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhu berkata "Tidak ada shalat Jum'at bagi Musafir". Ibnul Mundzir Rahimahullah berkata : "Keterangan yang dapat dijadikan dalil gugurnya kewajiban shalat Jum'at bagi musafir yaitu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam beberapa kali perjalanan-perjalanan beliau - Tetapi tidak ada keterangan yang sampai pada kami bahwa beliau melaksanakan shalat Jum'at
First Prev 1 2 3 4 5 Next Last