Kategori Fiqih : Haji & Umrah
Kamis, 11 Maret 2004 07:22:23 WIB
Pada pertengahan pertama Ramadhan, saya berpuasa di negeri sendiri, ketika bepergian saya meninggalkan puasa dan shalat selama 15 hari, selama di negara asing tersebut. Saya mengatakan bahwa mereka adalah bangsa yang terbiasa melakukan hal-hal yang najis dan saya tidak boleh menggunakan kebutuhan mereka, dan saya juga tidak mengetahui arah kiblat. Saya juga tidak makan dan minum apa yang mereka makan dan mereka minum. Pertanyaan saya, apakah saya sebab meninggalkan shalat dan puasa itu berpengaruh kepada haji yang telah saya laksanakan beberapa tahun silam ? Dan apakah di sana ada hukum atau kifarat agar dosa-dosa saya diampuni Allah ? Mohon penjelasan, semoga Allah melimpahkan keberkahan kepada Anda.
Kamis, 11 Maret 2004 07:17:22 WIB
Barangsiapa yang haji dan dia meninggalkan shalat, jika dia meninggalkannya karena mengingkari wajibnya shalat maka dia kufur dengan ijma ulama. Karena itu hajinya tidak sah baginya. Adapaun orang yang meninggalkan shalat karena meremehkan maka dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat diantara ulama. Sebagian ulama mengatakan, bahwa haji orang tersebut sah. Tapi sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa haji orang tersebut tidak sah. Dan pedapat yang kedua ini adalah yang benar. Sebab Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. "Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat. Maka siapa yang meninggalkan shalat sesungguhnya dia telah kafir". Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. "Batas antara seseorang dengan kekafiran dan kemusyrikan adalah meninggalkan shalat"
Selasa, 9 Maret 2004 07:17:01 WIB
Karena haji wajib dilaksanakan seketika jika telah memenuhi syarat-syaratnya. Dan karena wanita penanya tersebut telah memenuhih syarat karena mendapatkan kemampuan dan mahram, maka dia wajib segera haji dan suaminya haram melarangnya tanpa alasan. Artinya, bahwa wanita penanya tersebut boleh haji bersama kakaknya meskipun suaminya tidak menyetujuinya. Sebab haji sebagai kewajiban individu seperti shalat dan puasa, dan hak Allah lebih utama untuk didahulukan, sedang suami tidak mempunyai hak melarang istri dari melaksanakan kewajiban haji tanpa alasan. Suami tidak boleh melarang istrinya yang ingin melaksanakan haji wajib jika telah memenuhi syarat-syarat kewajiban haji dan mendapatkan kemudahan melaksanakan haji. Sebab haji sebagai kewajiban yang harus segera dilaksanakan dan tidak boleh ditunda jika telah mempunyai kemampuan. Tapi istri disunnahkan minta izin suami untuk hal tersebut.
Selasa, 9 Maret 2004 07:12:44 WIB
Wanita yang tidak mempunyai mahram yang mendampingi dalam haji maka dia tidak wajib haji. Sebab mahram bagi seorang wanita merupakan bentuk kemampuan melakukan perjalanan dalam haji. Sedangkan kemampuan melakukan perjalanan merupakan syarat dalam haji. Dan wanita yang tidak bersama mahramnya, maka haji tidak wajib atas dia. Adakalanya kewajiban haji gugur darinya karena tiadanya kemampuan sampai ke Mekkah dan tiadanya kemampuan adalah alasan syar'i, dan adakalanya dia tidak wajib melaksanakannya. Artinya, jika dia meninggal, maka hajinya dapat digantikan oleh ahli warisnya. Saya ingin mengatakan kepada penanya, bahwa wanita tidak berdosa jika tidak haji sebab tiadanya mahram. Dan demikian itu tidak mudharat kepadanya. Sebab dia diamaafkan karena tiadanya kemampuan dalam tinjauan syar'i.
Minggu, 7 Maret 2004 15:15:25 WIB
Ulama menafsirkan bahwa rafats adalah melakukan senggama dan hal-hal yang mengarah kepadanya. Sedangkan fasik adalah semua perbuatan maksiat. Adapun jidal maka ulama menafsirkan dengan perdebatan dalam hal-hal yang tidak berguna, atau dalam hal-hal yang telah dijelaskan Allah kepada hamba-hamba-Nya. Dan termasuk dalam perdebatan yang dilarang adalah semua perdebatan yang menyebabkan kegaduhan, mudharat kepada orang lain atau mengurangi ketentraman. Atau bahwa yang dimaksudkan perdebatan yang dilarang adalah perdebatan yang menyerukan kebatilan dan mengaburkan kebenaran. Sedangkan perdebatan dengan cara yang baik untuk menjelaskan kebenaran sebagai kebenaran, dan kebatilan sebagai kebatilan adalah perdebatan yang dibenarkan dalam syari'at Islam dan tidak termasuk perdebatan yang dilarang ketika haji.
Minggu, 7 Maret 2004 15:11:19 WIB
Imam Syafi'i berpendapat bahwa kewajiban haji tidak harus segera dilakukan. Sebab Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengakhirkan haji hingga tahun ke 13H. Namun pendapat Imam Syafi'i ini dijawab, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengakhirkan haji melainkan hanya dalam satu tahun karena beliau ingin membersihkan Baitullah dari orang-orang musyrik dan hajinya orang-orang yang telanjang serta dari segala bentuk bid'ah. Maka ketika Baitullah telah suci dari hal-hal tersebut Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menunaikan haji pada tahun berikutnya. Atas dasar ini, maka haji harus segera dilakukan karena takut ajal tiba sehingga orang yang telah wajib haji dan tidak segera melaksanakan termasuk orang-orang yang ceroboh karena menunda-nunda kewajiban yang telah mampu dilakukan.
First Prev 9 10 11 12 13 14 15 Next Last