Kategori Bahasan : Hadits (1)

Keharusan Menerima Khabar Ahad Dalam Semua Bidang Agama

Sabtu, 9 Oktober 2010 15:29:57 WIB

Mengharamkan khabar ahad untuk menjadi hujjah tanpa diperkuat dengan dalil dari Kitab Allah dan Sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, berarti telah menetapkan hukum tidak sesuai dengan apa yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kami meminta kepada mereka yang menuntut ditegakkan syari’at Allah, hendaknya mereka terlebih dahulu menegakkannya pada diri mereka. Seharusnya, ketika mereka menyaksikan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah pernah mengirimkan satu orang sahabat untuk membawa misi da’wah tentang aqidah ke penduduk Yaman, seharusnya mereka mau tunduk dan menerima kenyataan ini, serta mengatakan “sami’naa wa ‘atha’naa” (kami mendengar dan kami akan mengikutinya), bukannya mengatakan “sami’naa wa asha-inaa wa jaadalnaa wa ta’ashshobnaa” (kami mendengar, tapi kami tidak akan mengikutinya, bahkan kami akan mendebatnya dan fanatik). Sekiranya khabar ahad tidak bisa dijadikan hujjah, tentunya Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak hanya akan mengirim satu orang. Dan tentunya orang-orang di Yaman pun akan mengatakan kepada Mu’adz “kau datang sekarang ini sebagai khabar ahad, dan kami tidak akan dapat menerima ajaran-ajaran tentang aqidah darimu. Kembalilah engkau kepada Nabimu.

Penolakan Khabar Ahad Dari Sisi Empiris

Jumat, 8 Oktober 2010 07:34:25 WIB

Jadi, menurut Ahli Hadits, zhann yang rajih berpindah maknanya dari keraguan menjadi keyakinan. Karena, ketika mereka meragukan sebuah riwayat, kemudian mereka meneliti sanadnya, dan mereka mendapatkan sanad tersebut cukup syarat untuk diterima, sehingga keraguan mereka terhadap riwayat tersebut menjadi kalah atau marjuh, dan kemudian keyakinanlah menjadi yang dominan atau yang rajih. Inilah yang dimaksud –oleh para ahli hadits– sebagai dalil zhanni, dan mereka tidak pernah keberatan atau melarang untuk berhujjah dengan hadits semacam ini dalam berbagai masalah. Bahkan sebaliknya, mereka membantah kaum Mu’tazilah yang meremehkan dan tidak mengambil hadits semacam ini. Jadi, zhann yang dihasilkan oleh khabar ahad yang sanadnya shahih adalah sebuah keyakinan. Sebab, bukti adanya kebenaran yang terdapat di dalam khabar ahad dari orang perawi yang adil (jujur) jauh lebih banyak. Bahkan orang-orang yang menolak khabar ahad, pun masih juga menggunakannya sebagai hujjah dalam syari’at (fiqh). Ini menunjukkan, mereka sendiri berpendapat bahwa zhann yang dihasilkan oleh khabar ahad adalah zhann yang rajah, bukan zhann yang marjuh. Sebab zhann yang marjuh –sesuai dengan kesepakatan ulama- tidak boleh dijadikan sebagai dalil dalam masalah aqidah dan juga hukum-hukum syari’at. Jika mereka tidak mau menerima hal ini, seharusnya mereka juga berpendapat bahwa khabar ahad tidak bisa menjadi hujjah dalam masalah-masalah hukum syari’at (bukan hanya dalam aqidah saja). Kalau mereka tetap tidak mau, berarti mereka telah jatuh pada sikap kontradiksi.

Mengapa Menolak Khabar Ahad?

Kamis, 7 Oktober 2010 06:43:24 WIB

Memang benar, telah terjadi silang pendapat diantara para ulama, apakah khabar ahad menunjukkan ilmu atau dzann. Pendapat Pertama. Khabar ahad menunjukkan ilmu yang yakin secara mutlak, baik didukung qarinah (indikasi) maupun tidak. Pendapat ini merupakan salah satu pendapat Imam Ahmad. Pendapat Kedua. Khabar ahad menunjukkan dzann secara mutlak, baik ditopang oleh beberapa indikasi maupun tidak. Secara umum, pendapat ini merupakan pendapat para ulama ushul, dan diikuti oleh sebagian Ahli Hadits seperti Imam Nawawi. Pendapat Ketiga. Khabar ahad menunjukkan ilmu yang yakin, apabila ditunjang oleh beberapa indikasi. Pendapat ini adalah pendapat kelompok penganut madzhab dan Ahli Ushul Fikih yang didukung oleh Imam Al Amidi dan Al Juwaini. Imam Asy Syaukani dalam kitab Irsyadul Fuhul berkata: “Ketahuilah, perselisihan pendapat diantara para ulama tentang khabar ahad, bahwa hadits ahad menunjukkan ilmu yang yakin atau dzan, terikat oleh syarat, yaitu bila hadits tersebut tidak ada hadits lain yang memperkuatnya. Namun bila ada hadits yang memperkuatnya atau hadits tersebut masyhur, maka tidak ada perselisihan pendapat diantara ulama. Begitu pula tidak ada perselisihan diantara ulama, bila khabar ahad memberi konsekwensi ijmi dalam pengalaman hukumnya, maka hadits itu berfaidah ilmu. Polemik penolakan khabar ahad masih menjadi perdebatan sengit di kalangan orang awam. Bahkan sikap penolakan tersebut sudah menjadi bagian aqidah wala’ dan bara’ bagi mereka, dan menjadi tolok ukur untuk memusuhi atau memihak orang lain.

Benarkah Imam Bukhari Tidak Menjadikan Hadits Ahad Sebagai Hujjah Dalam Aqidah?

Rabu, 6 Oktober 2010 06:48:48 WIB

Pernyataan seperti ini adalah sebuah kebohongan yang nyata. Hadits-hadits yang kita bawakan di atas, semuanya terdapat di Shahih Bukhari, dalam kitab Al Iman. Lantas, bagaimana mungkin dikatakan, beliau tidak menjadikannya sebagai hujjah?! Juga dapat kita lihat dalam kitab Shahih-nya, ada dua kitab yang membahas masalah aqidah, yaitu kitab Al Iman dan kitab At Tauhid. Banyak ditemukan disana mengenai hadits-hadits ahad dan dijadikan hujjah oleh beliau. Dalam kitab At Tauhid, Imam Bukhari membawakan hadits ahad sebagai hadits pertama. Yaitu hadits Mu’adz. "Sesungguhnya engkau akan datang kepada kaum Ahli Kitab, maka hendaklah yang pertama kali kau serukan, adalah supaya mereka beribadah kepada Allah. Jika mereka sudah mengenal Allah, maka beritahukanlah mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka shalat lima kali sehari semalam. Jika mereka sudah melakukan hal itu, maka beritahukanlah bahwa Allah mewajibkan mereka zakat dari harta benda mereka dan zakat itu diberikan kepada orang fakir mereka. Jika mereka taat, maka ambillah dan hindarilah harta kesayangan (berharga) mereka". Hadits ini berbicara tentang aqidah. Hadits-hadits lain dalam bab ini berbicara tentang aqidah dan banyak yang ahad.

Contoh-Contoh Hadits Ahad

Selasa, 5 Oktober 2010 22:51:02 WIB

Pembahasan mengenai hadits ahad dan hubungannya dengan aqidah, atau hukum dan aqidah, itu tidak pernah dibicarakan oleh generasi pertama, kedua dan ketiga. Khususnya para sahabat Radhiyallahu 'anhum, tidak pernah memilah atau membagi-bagi hadits, seperti pembagian yang dilakukan oleh sebagian ahli bid’ah, bahwa hadits ahad hanya terbatas untuk hukum, sedangkan hadits mutawatir dapat dipakai untuk aqidah. Pembagian seperti ini tidak pernah dikenal, kecuali oleh ahli bid’ah, seperti Mu’tazilah. Dan fikrah ini terus berkembang sampai pada awal abad kedua puluh, hingga timbul Mu’tazilah gaya baru, atau yang kita kenal dengan Hizbut Tahrir. Hizbut Tahrir membagi, hadits mutawatir untuk aqidah dan ahkam. Sedangkan hadits ahad dikhususkan untuk masalah hukum. Adapun para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in menerima hadits, jika hadits tersebut sah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tanpa membaginya sebagaimana yang dilakukan oleh Mu’tazilah dan yang sepaham dengannya. Jadi, para sahabatnya melihatnya, sah atau tidak, jika sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu hadits, dan diterima baik untuk masalah hukum ataupun aqidah. Jadi pembagian yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir, bahwa hadits ahad tidak bisa dipakai dalam aqidah, merupakan pembagian yang muhdats (bid’ah)

Kafarat Orang Yang Berhubungan Suami Istri Di Siang Ramadhan

Sabtu, 28 Agustus 2010 07:25:29 WIB

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, beliau berkata, ketika kami duduk-duduk bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, tiba-tiba datanglah seseorang sambil berkata: “Wahai, Rasulullah, celaka !” Beliau menjawab,”Ada apa denganmu?” Dia berkata,”Aku berhubungan dengan istriku, padahal aku sedang berpuasa.” (Dalam riwayat lain berbunyi : aku berhubungan dengan istriku di bulan Ramadhan). Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata,”Apakah kamu mempunyai budak untuk dimerdekakan?” Dia menjawab,”Tidak!” Lalu Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata lagi,”Mampukah kamu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Dia menjawab,”Ttidak.” Lalu Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya lagi : “Mampukah kamu memberi makan enam puluh orang miskin?” Dia menjawab,”Tidak.” Lalu Rasulullah diam sebentar. Dalam keadaan seperti ini, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam diberi satu ‘irq berisi kurma –Al irq adalah alat takaran- (maka) Beliau berkata: “Mana orang yang bertanya tadi?” Dia menjawab,”Saya orangnya.” Beliau berkata lagi: “Ambillah ini dan bersedekahlah dengannya!” Kemudian orang tersebut berkata: “Apakah kepada orang yang lebih fakir dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada di dua ujung kota Madinah satu keluarga yang lebih fakir dari keluargaku”. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tertawa sampai tampak gigi taringnya, kemudian (Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam) berkata: “Berilah makan keluargamu!”

First  Prev  1  2  3  4  5  6  7  8  9  10  11  Next  Last

Bismillaahirrahmaanirrahiim Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga dicurahkan kepada Rasul termulia, juga kepada seluruh keluarga dan shahabatnya. Amma ba'du. Website almanhaj.or.id adalah sebuah media dakwah sangat ringkas dan sederhana, yang diupayakan untuk ikut serta dalam tasfiyah (membersihkan) umat dari syirik, bid'ah, serta gerakan pemikiran yang merusak ajaran Islam dan tarbiyah (mendidik) kaum muslimin berdasarkan ajaran Islam yang murni dan mengajak mereka kepada pola pikir ilmiah berdasarkan al-Qur'an dan as-Sunnah dengan pemahaman Salafush Shalih. Kebenaran dan kebaikan yang anda dapatkan dari website ini datangnya dari Allah Ta'ala, adapun yang berupa kesalahan datangnya dari syaithan, dan kami berlepas diri dari kesalahan tersebut ketika kami masih hidup ataupun ketika sudah mati. Semua tulisan atau kitab selain Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahihah dan maqbul, mempunyai celah untuk dikritik, disalahkan dan dibenarkan. Barangsiapa yang melihat adanya kesalahan hendaknya meluruskannya. Hati kami lapang dan telinga kami mendengar serta bersedia menerima. Semoga Allah menjadikan upaya ini sebagai amalan shalih yang bermanfaat pada hari yang tidak lagi bermanfaat harta dan anak-anak, melainkan orang yang menemui Rabb-nya dengan amalan shalih. Jazaakumullahu khairan almanhaj.or.id Abu Harits Abdillah - Redaktur Abu Khaulah al-Palimbani - Web Admin