Kategori Fokus : Mabhats

Kandungan Syari'at Penuh Dengan Kebaikan

Jumat, 10 Agustus 2007 00:49:24 WIB



Halaman ke-2 dari 2


SEJAUH MANA AKAL MANUSIA DAPAT MENGETAHUI KEBAIKAN DAN KEBURUKAN?
Tingkat kemampuan akal antara seseorang dengan orang lainnya sangat variatif. Kebenaran, penilaian baik dan buruk, bila hanya didasarkan pada kecerdasan akal manusia belaka, sungguh sangat naif. Karena ia bersifat nisbi dan relatif. Bukti kongkretnya, aturan-aturan produk manusia seringkali mengalami perubahan dan revisi seiring dengan perkembangan zaman dan perbedaan pemegang kendalinya.

Sehingga, penilaian baik oleh seseorang tidak menutup kemungkinan disanggah oleh orang lain. Akibatnya terjadi khilaf dalam menilai baik atau buruk terhadap sebuah obyek atau perilaku. Tidak mungkin perbedaan pandangan ini diselesaikan, kecuali dengan kembali kepada sumber yang tidak diperselisihkan statusnya. Yakni, kembali kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” [An-Nisâ: 59] [15]

Sebagaimana telah dijelaskan terdahulu bahwa orientasi syari’at Islam ialah untuk menciptakan segala bentuk mashlahah. Dengan begitu, tidak ada satu pun kemashlahatan yang terbengkalai dalam pandangan syari’at. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyempurnakan agama Islam bagi kaum Muslimin dan menyempurnakan kenikmatan bagi mereka.

Ibnul-Qayyim rahimahullahu memperjelas kenyataaan bahwasanya Allah Ta’ala telah menanamkan pada fitrah manusia yang masih bersih dan akal, yaitu berupa kemampuan untuk menilai baik terhadap kejujuran, berbuat baik kepada orang lain, ‘iffah, sifat ksatria, akhlak yang luhur, amanah, silaturrahmi, menepati janji... dan menilai buruk terhadap tindak-tanduk yang berlawanan dengan fitrah tersebut. Akan tetapi, kemampuan akal dan fitrah manusia dalam konteks tersebut, hanya bagaikan hasratnya terhadap air sejuk saat dahaga, makanan yang lezat ketika merasa lapar dan keinginan mengenakan pakaian hangat ketika kedinginan. Jalan yang paling benar dari cara di atas, yaitu melalui as-sam’u (wahyu), karena adanya kekaburan yang dialami akal dan fitrah dalam memahami sebagian hakikat persoalan. Adapun orang yang mengetahui secara terperinci tentang itu ialah Rasulullahn Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [16]

Oleh sebab itu, keberadaan syari’at Islam yang berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala di tengah manusia adalah mutlak. Sebab, akal, bagaimanapun canggihnya, ia tidak mampu meneropong segala kebaikan dan keburukan yang hakiki. Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu menyatakan: “Seandainya tidak ada risalah, akal manusia tidak mampu mengetahui aspek-aspek yang bermanfaat dan berbahaya di dunia dan di akhirat secara terperinci”. [17]

Beliau menambahkan: “Sudah menjadi kewajiban atas setiap orang untuk mengerahkan kemampuan dan kesanggupannya supaya mengetahui kandungan risalah yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan taat kepada beliau. Dan caranya, yaitu melalui ar-riwâyah (periwayatan) dan nukilan an-naql (wahyu). Karena, akal semata tidak mampu untuk itu. Sebagaimana cahaya tidak dapat melihat, kecuali dengan keberadaan cahaya di depannya. Begitu pula akal manusia tidak kuasa mencari hidayah, kecuali ketika pancaran risalah tersebut terbit”[18]

Sulthânul-’Ulama Al ‘Izz bin ‘Abdis-Salam rahimahullahu juga menuturkan keterangan yang sama. Kata beliau: “Adapun mashâlih dan mafâsid dunia akhirat dan faktor-faktor penyebabnya tidak dapat diketahui, kecuali dengan syari’at. Bila ada yang masih belum jelas, maka dicari melalui dalil-dalil syari’at, yaitu Al-Kitab, as-Sunnnah, Ijma’, Qiyas yang mu’tabar, serta istidlâl yang shahîh”[19]

Dalam persoalan ini, terdapat pula penyimpangan dari sejumlah aliran. Para pengusungnya telah disinggung oleh Syaikhul- Islam Ibnu Taimiyyah, sebagai berikut.[20]

Pertama, adalah sekte Mu’tazilah Qadariyyah, sebagian ulama Syafi’iyyah dan banyak kalangan dari ulama Hanafiyyah.

Mereka menyatakan, pada dasarnya obyek yang diperintahkan atau dilarang tersebut memang baik maupun buruk, sebelum munculnya ketetapan tersebut. Ketetapan perintah dan larangan hanya sekedar menyibak karakteristik yang menyatu dengannya, tidak mengakibatkan penilaian baik atau buruk. Menurut pandangan mereka, tidak boleh memunculkan penetapan perintah atau larangan atas dorongan hikmah yang timbul dari perkara itu sendiri.

Lain lagi dengan ideologi yang bersumber dari aliran Jahmiyyah Jabriyyah dan kalangan Asy’ariyyah. Mereka memandang, sebuah perintah tidak memuat hikmah apapun, baik dari perintah itu sendiri atau implikasinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menciptakan apapun atas dasar hikmah. Kehendak Allah-lah yang menentukan kemunculan apa yang sudah ada, dan penentuan salah satu dari dua hal yang serupa tanpa faktor khusus. Kebaikan maupun keburukan menurut persepsi mereka, bukanlah bagian dari sifat yang menyatu pada sebuah obyek. Kebaikan dan keburukan itu, tidak lain lantaran telah dinilai baik atau buruk oleh syari’at. Secara implisit maupun eksplisit, tidak ada unsur kebaikan maupun keburukan berkaitan dengan obyek tersebut. Pada gilirannya, konsekuensi dari pandangan mereka, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala boleh memerintahkan sebuah perintah, sekalipun berujud kekufuran, perbuatan fasik maupun maksiat. Begitupun, melarang segala perkara, kendatipun masalah tauhîd, kejujuran ataupun keadilan.

Dua pandangan di atas sangat bertentangan dengan orientasi syari’at Islam, yang memberikan kebaikan sebesar-besarnya bagi alam semesta. Pandangan ini juga menyelisihi pandangan para sahabat Rasulullah dan generasi selanjutnya yang mengikuti mereka dengan setia.

Dalam pandangan mereka, hikmah yang timbul bervariasi menjadi tiga macam.

Tindakan tersebut mengandung unsur maslahat atau mafsadah, meskipun syari’at belum menyinggungnya. Misalnya, sudah diketahui bersama bahwa kejujuran mengandung kemaslahatan, dan kezhaliman menimbulkan mafsadah. Dua hal itu sudah masuk dalam kategori hasan (baik) atau qabîh (buruk), yang bisa dicerna oleh akal dan melalui syari’at. Bukan atas dasar sifat yang sebelumnya tidak melekat padanya. Akan tetapi, hal ini tidak otomatis menyebabkan pelakunya harus menerima hukuman di akhirat kelak, bila syari’at belum menetapkannya. Inilah di antara kesalahan kalangan yang ekstrim dalam berasumsi kebaikan dan keburukan bisa diambil melalui akal semata. Mereka menyatakan, bahwa orang-orang akan disiksa atas perilaku mereka yang buruk, meskipun Allah belum mengutus seorang rasul yang menjelaskan sisi keburukannya kepada mereka. Amat jelas, kalau pemahaman ini bertentangan dengan ayat:

“Artinya : Dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang rasul” [Al-Isra :15]

“Artinya : (Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” [An-Nisa 165].

Bentuk Kedua : Sesungguhnya perkara yang diperintahkan dan dikenakan larangan, menjadi obyek yang memperoleh sifat kebaikan lantaran syari’at memerintahkannya atau ternodai oleh keburukan akibat pelarangannya. Sebagai contoh, khamr (minuman keras, minuman yang memabukkan), yang sebelumnya bukan barang haram, kemudian datang ketetapan yang mengharamkannya, sehingga khamr beralih menjadi barang khabîtsah (keji).

Jenis Ketiga : Yakni adanya hikmah dengan adanya perintah tersebut, tetapi bukan sebuah maslahat. Orientasinya hanyalah sebagai ujian bagi seorang hamba, apakah menjadi manusia yang taat atau sebaliknya justru melanggar aturan tersebut. Sebagaimana dialami oleh Al-Khalîl yang diperintahkan untuk menyembelih anaknya, Ismail.

Bentuk ketiga inilah yang kabur, belum bisa dicerna oleh kalangan Mu’tazilah. Persepsi mereka, kebaikan dan keburukan itu tidak muncul kecuali sebagai sifat yang menyatu dengan sesuatu, tanpa ketetapan dari syari’at. Sedangkan golongan Asy’ariyyah berpandangan, segala aturan syari’at hanya ditujukan sebagai imtihân (ujian) belaka, dan seluruh tindak-tanduk tidak mempunyai implikasi apapun, baik sebelum ditetapkan oleh syari’at sebagai larangan dan perintah, maupun setelah ditetapkan. Hikmah ditetapkannya syari’at tidak pernah mereka perhatikan, baik dalam hal perintah maupun larangan. Adapun para orang bijak, mayoritas ulama, mereka menetapkan tiga jenis ini, dan itulah pendapat yang benar dan menandakan kecerdasan jiwa.[21]

Jadi, berdasarkan keterangan Ibnu Taimiyyah, bahwa akal dan fitrah kadang bisa mandiri dalam menentukan sisi kebaikan atau keburukan sesuatu, akan tetapi sangat terbatas. Selain itu, pengetahuan akal tentang baik buruknya suatu perkara tidak berdampak pada balasan akhirat, berupa pahala, siksa, selama tidak ada dalil yang menetapkannya.[22]

Pandangan Ibnu Taimiyyah itu dalam perkaraperkara yang berhubungan dengan budaya dan pengalaman-pengalaman. Adapun yang berhubungan dengan ibadah, seperti shalat, thawaf dan lain-lain, sesungguhnya akal tidak memiliki andil sedikit pun.[23]

Ibnul-Qayyim rahimahullahu juga menandaskan: Pernyataan yang menentukan permasalahan ini, bahwasanya aspek kebaikan dan keburukan, kadang termuat pada suatu tindakan tertentu, akan tetapi Allah tidak menetapkan pahala atas pelaksanaannya, dan tidak menghukumi karenanya melainkan setelah ditegakkan hujjah dengan mengirimkan rasul. Inilah permasalahan yang tidak diperhatikan oleh golongan Mu’tazilah.[24]

Ringkasnya, syari’at tidak pernah mengesampingkan kemaslahatan terhadap sesuatu apapun, bahkan Allah l telah menyempurnakan agama Islam dan menyempurnakan kenikmatan bagi kaum Muslimin. Namun, apabila akal meyakini adanya kemaslahatan pada suatu perkara yang ternyata belum ditetapkan oleh syari’at, maka tidak terlepas dari dua kemungkinan. Pertama, sebenarnya syari’at telah menunjukkannya, tetapi belum terlihat oleh manusia. Atau sebetulnya perkara tadi bukan sebuah kemaslahatan, kendati diyakini oleh akal sebagai kemaslahatan. Karena yang dinamakan mashlahah, ialah kemaslahatan yang murni atau yang dominan. [25]

PENUTUP
Secara keseluruhan, agama Islam mengandung kemaslahatan. Ibnul Qayyim rahimahullahu mengatakan: “Jika engkau merenungi hikmah dalam agama yang lurus ini, ajaran yang hanif dan syari’at yang diemban Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang kesempurnaannya tidak bisa disampaikan melalui ungkapan, imajinasi pun tidak mampu membayangkan keindahannya, dan daya pikir para cendikiawan tidak mampu menggagas ajaran yang lebih baik darinya, kendatipun mereka bersatu dengan bantuan daya pikir yang paling cerdas. Cukuplah menjadi kebaikan Islam, bahwa akal-akal yang sempurna lagi utama telah mengetahui keelokannya dan mengakui keutamaannya. Dan sesungguhnya tidak pernah ada ajaran di alam dunia ini yang lebih sempurna, lebih agung dan besar daripadanya. Seandainya Rasulullah tidak membawa bukti atas kebenarannya, cukuplah syari’at itu sebagai petunjuk yang membuktikannya”.[26]

Karenanya, umat manusia benar-benar membutuhkan syari’at Islam, lantaran mengandung seluruh kemaslahatan yang besar, mempedulikan mashâlih manusia di dunia maupun di akhirat dan menjadi sarana untuk menggapai keselamatan dan kebahagiaan. Allah menjelaskan dalam kitab-Nya, bahwa syari’at- Nya merupakan shirâthul-mustaqim (jalan yang lurus), jalan yang lurus dan metode yang benar. Siapa saja yang konsisten di atasnya, niscaya akan selamat. Dan barang siapa yang berpaling, maka akan binasa”[27]

Oleh sebab itu, seperti diungkapkan oleh Syaikh Abdur-Razzaq Al-’Abbad dalam Asbabul Ziyadatul-Iman wa Nuqshanihi [28] (hlm. 36), bahwa merenungi sisi-sisi keindahan Islam dan kandungan risalah Islam yang memuat berbagai perintah, larangan, aturan, hukum, akhlaq dan etika, termasuk merupakan faktor penting yang menjadi daya tarik orang untuk masuk Islam, dan pertambahan keimanan bagi para pemeluknya. Wallahul-muwaffiq.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XI/1428H/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Almat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183. telp. 0271-5891016]
__________
Foote Note
[15]. Raf’udz-Dzulli wash-Shaghâr ‘anil-Maftunîn bi Khuluqil-Kuffar, ‘Abdul-Malik bin Ahmad Ramdhani, Cetakan II, Tahun 1426 H, hlm. 52.
[16]. Ighatsatul-Lahafan (2/138). Dinukil dari Raf’udz-Dzulli, hlm. 52-53.
[17]. Majmu Al-Fatâwa (19/99-100).
[18]. Majmu Al-Fatâwa (1/5-6, 3/338-339).
[19]. Qawâ’idul-Ahkam, hlm. 11.
[20]. Minhajus-Sunnah (3/14), Majmu Al-Fatâwa (8/90, 341, 17/198), Syarhul-Ashfahaniyyah, hlm. 161.
[21]. Majmu Al-Fatâwa (8/431-436, 17/198-203, 11/347, 354).
[22]. Maqâshidusy-Syari’ah ‘inda Ibni Taimiyyah, hlm. 294.
[23]. Maqâshidusy-Syari’ah ‘Inda Ibni Taimiyyah, hlm. 294-295.
[24]. Miftahu Dâris-Sa’adah hlm. 333-334, 367, 372, 374-355.
[25]. Majmu Al-Fatâwa (11/344-345), Maqâshidusy-Syari’ah ‘Inda, 295.
[26]. Miftahu Dâris-Sa’adah, hlm. 324. Dinukil dari Asbabu Ziyadatil-Îman wa Nuqshanini, hlm. 36.
[27]. Asyari’atul-Islamiyyah wa Mahâsinuha wa Dharûratil-Basyari Ila-iha, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, hlm. 50.
[28]. Diterbitkan Dâr Ghirâs, Cetakan III, Tahun 1424 H – 2003 M.

prev 1 2 

Bismillaahirrahmaanirrahiim Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga dicurahkan kepada Rasul termulia, juga kepada seluruh keluarga dan shahabatnya. Amma ba'du. Website almanhaj.or.id adalah sebuah media dakwah sangat ringkas dan sederhana, yang diupayakan untuk ikut serta dalam tasfiyah (membersihkan) umat dari syirik, bid'ah, serta gerakan pemikiran yang merusak ajaran Islam dan tarbiyah (mendidik) kaum muslimin berdasarkan ajaran Islam yang murni dan mengajak mereka kepada pola pikir ilmiah berdasarkan al-Qur'an dan as-Sunnah dengan pemahaman Salafush Shalih. Kebenaran dan kebaikan yang anda dapatkan dari website ini datangnya dari Allah Ta'ala, adapun yang berupa kesalahan datangnya dari syaithan, dan kami berlepas diri dari kesalahan tersebut ketika kami masih hidup ataupun ketika sudah mati. Semua tulisan atau kitab selain Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahihah dan maqbul, mempunyai celah untuk dikritik, disalahkan dan dibenarkan. Barangsiapa yang melihat adanya kesalahan hendaknya meluruskannya. Hati kami lapang dan telinga kami mendengar serta bersedia menerima. Semoga Allah menjadikan upaya ini sebagai amalan shalih yang bermanfaat pada hari yang tidak lagi bermanfaat harta dan anak-anak, melainkan orang yang menemui Rabb-nya dengan amalan shalih. Jazaakumullahu khairan almanhaj.or.id Abu Harits Abdillah - Redaktur Abu Khaulah al-Palimbani - Web Admin