Kategori Fokus : Mabhats

Kandungan Syari'at Penuh Dengan Kebaikan

Jumat, 10 Agustus 2007 00:49:24 WIB



Halaman ke-1 dari 2

KANDUNGAN SYARIAT ISLAM, PENUH DENGAN KEBAIKAN


Oleh
Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi Al-Atsari



PENGANTAR
Begitu indah aturan yang dihadirkan Islam bagi umat manusia. Semua sisi kehidupan dipenuhi dengan rambu-rambu yang tidak hanya sarat dengan kemaslahatan, tetapi juga membebaskan manusia dari bahaya. Bak santapan, maka kandungan Islam mengandung banyak nutrisi, hyginis atau bersih dari kotoran. Itulah substansi nilai-nilai Islam yang sangat kokoh melekat. Tulisan berikut ini menjelaskan beberapa hal berkaitan dengan keindahan kandungan syari’at Islam. Diadaptasi dari kitab Maqâshidusy-Syarî’ah ‘Inda Ibni Taimiyyah karya Dr. Yusuf bin Muhammad Al-Badawi, Darun- Nafâ-is, Yordania, Cetakan I, 1421 H / 2000 M. Kitab ini menjadi pegangan Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi Al-Atsari pada Daurah Syar’iyyah I yang diselenggarakan oleh Yayasan Imam Bukhari, Jakarta, di Ciloto, Bogor, Jawa Barat, pada pertengahan bulan Februari 2007. Adapun penulisan makalah berikut ini dilakukan oleh Ustadz Ashim bin Musthafa yang meramunya dengan beberapa tambahan dari kitab lainnya. Semoga bermanfaat. (Redaksi).

AJARAN ISLAM MERUPAKAN KENIKMATAN MUTLAK
Tidak berlebihan, bila dikukuhkan bahwa kedatangan Islam sebagai kenikmatan yang mutlak, lantaran berhubungan erat dengan kebahagiaan abadi.

“Dinul-Islam, benar-benar merupakan kenikmatan hakiki, yang pasti mengantarkan manusia kepada kehidupan yang kamâl (sempurna). Dan manusia sama sekali tidak bernilai, sebelum ia mengenal sesembahannya sesuai dengan tuntunan Islam, sebelum mengenal alam semesta ini sesuai dengan petunjuk Islam, sebelum memahami diri dan perannya di alam ini serta kemuliaannya di sisi Rabbnya sebagaimana dituturkan Islam yang telah diridhai Allah. Manusia tidak mempunyai harga apapun sebelum ia merdeka dari penyembahan terhadap sesama makhluk menuju peribadahan kepada Rabb semua makhluk. Tanpa nilai-nilai yang telah Allah anugerahkan melalui agama Islam yang lurus ini, manusia akan hidup layaknya binatang ternak yang berkeliaran, bahkan lebih sesat darinya, karena membalas nikmat Allah ini (berupa agama Islam) dengan kekufuran.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Artinya : Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)” [Al-Furqan : 43-44]

Bila memang sedemikian penting agama Islam ini, bahkan manfaatnya lebih dari apa yang dibayangkan oleh siapapun, maka ia benar-benar karunia paripurna yang semestinya membangkitkan kegembiraan. Kegembiraan terhadapnya termasuk perkara yang dicintai dan diridhai oleh Allah. Padahal, Allah tidak menyukai kaum farihin (bergembira).

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : (Katakanlah: “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”.) [Yunus : 58].”[1]

Senada dengan keterangan di atas, Sulthanul- ’Ulama, Al-’Izz bin ‘Abdis-Salamt rahimahullahu [2] berkata: “Maka, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengenalkan kepada mereka segala hal yang mengandung petunjuk dan kemaslahatan bagi mereka, agar mereka mengerjakannya. Dan (Allah) mengenalkan setiap hal yang memuat kesesatan dan keburukankeburukan, sehingga mereka menghindarinya serta mengabarkan kepada mereka bahwa setan adalah musuh mereka, (dan) supaya mereka memusuhi dan menentangnya. Jadi, Allah Subhanahu wa Ta’ala menitikberatkan kemaslahatan-kemaslahatan dunia dan akhirat melalui ketaatan kepada-Nya dan menjauhi bermaksiat terhadap-Nya”[3]

MISI AJARAN ISLAM, JALBUL MASHALIH & DAR‘UL MAFASID
Di kalangan ulama, pembahasan mengenai tema misi ajaran Islam yang dibawa Rasulullahn, populer dengan istilah jalbul-mashâlih dan dar‘ul-mafasid.[4]

Mashalih jamak dari kata mashlahah yang bermakna kebaikan. Dan mafâsid jamak dari kata mafsadah yang diartikan oleh Ibnu Manzhur t dengan makna al-madharrah (bahaya) lawan dari ash- shalâh (kebaikan).

Al Ghazali rahimahullahu memaparkannya sebagai segala hal yang menghilangkan dharuriyyatulkhams.[5]

Pengertiannya secara global, yaitu mendatangkan seluruh kebaikan dan menghindarkan kerusakan-kerusakan. Tidak ada kebaikan bagi umat manusia, kecuali Islam telah menetapkan perintah dan anjuran padanya. Dan tiada keburukan ataupun kerusakan yang mengancam manusia, melainkan sudah ditetapkan peringatan dan larangan terhadapnya.

Misi di atas, merupakan misi seluruh para nabi yang diutus oleh Allah Ta’ala. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Artinya : Sesungguhnnya tiada seorang nabi sebelumku, melainkan ia wajib menunjuki umatnya kepada kebaikan yang ia ketahui dan memperingatkan mereka dari keburukan yang ia ketahui untuk mereka". [HR Muslim]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang peran Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi sekalian alam

“Artinya : Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. [Al- Anbiya :107]

Terkadang, mashalih disebut dengan bahasa al-khair (kebaikan), an-naf’u (kemanfaatan) dan al-hasanaat (kebaikan-kebaikan). Sedangkan mafâsid, suatu waktu diungkapkan oleh syarî’at dengan bahasa asy-syarru (kejelekan), adh-dharru (bahaya) dan as-sayyi-ât (keburukan-keburukan).[6]

Demikian subtansi ajaran Islam, yaitu terletak pada dua point tersebut, yakni menghadirkan kebaikan-kebaikan dan melenyapkan keburukan-keburukan. Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu sering mengulang-ulang statemen ini di dalam kitab-kitab beliau. Misalnya, beliau mengatakan: “Aturan syari’at datang untuk menghasilkan kemaslahatan-kemaslahatan dan menyempurnakannya, dan meniadakan keburukan-keburukan dan menguranginya” [7]

Melalui telaah mendalam terhadap nash-nash syari’at dan pencermatannya yang tajam terhadap rahasia-rahasia di dalamnya, Syaikhul-Islam rahimahullahu menegaskan beberapa kaidah yang berhubungan dengan pembahasan ini. Di antaranya sebagai berikut.

[a]. Para rasul diutus ke dunia ini untuk mendatangkan kemaslahatan-kemaslahatan dan melengkapinya, dan meniadakan keburukan-keburukan dan menekan angkanya sesuai dengan kemampuan.[8]

[b]. Aturan syari’at memerintahkan perkara yang mengandung kebaikan yang murni atau lebih dominan, dan melarang dari perkara yang memuat kerusakan-kerusakan (keburukankeburukan) atau lebih dominan daripada muatan kebaikannya.[9]

Bahkan Sulthânul-’Ulama, Al-’Izz bin ‘Abdis- Salam menyimpulkan, fokus keberadaan syari’at ada pada satu titik saja, yaitu untuk menciptakan mashaalih semata bagi alam semesta. Kata beliau: “Semua aturan syari’at merupakan mashâlih. Baik untuk menolak keburukan maupun untuk mendatangkan kebaikan. Jika engkau mendengar Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “wahai orangorang yang beriman”, (maka) renungilah pesan- Nya setelah panggilan tersebut. Engkau tidak akan menemukan kecuali sebuah kebaikan yang dianjurkan Allah atas dirimu, atau keburukan yang Dia melarangmu darinya, atau berpaduan antara keduanya, anjuran dan larangan. Di sebagian ketetapan hukum dalam kitab-Nya, Allah menerangkan sejumlah keburukan agar dijauhi dan (menjelaskan) mashâlihnya sebagai himbauan supaya melakukan mashâlih”.[10]

Sudah jelas sekali, bagaimana perhatian Islam terhadap kebaikan umat manusia secara khusus, yang nantinya mengajak untuk meraih kebahagiaan hakiki, di dunia dan akhirat.

Al ‘Izz bin ‘Abdis Salam rahimahullahu menegaskan: “Semua kebahagiaan berpangkal dari mengikuti seluruh aturan syari’at yang datang, dan muncul disertai dengan menepis ajakan hawa nafsu yang menyelisihi syari’at. Allah Ta’ala Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “(lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan ia tidak akan celaka)” (Thaha ayat 123) maksudnya, ia tidak sesat di dunia dan tidak celaka di akhirat kelak dengan menerima siksa”[11]

Sebagai contoh, Islam memerintahkan manusia untuk beriman. Karena keimanan itu, sepenuhnya betul-betul bermanfaat. Islam menetapkan perintah berjihad yang mengandung kemaslahatan menyeluruh, walaupun menuntut pengorbanan jiwa. Akan tetapi, kemaslahatan jihad itu sendiri sangat kuat. Merebaknya kekufuran, dampaknya lebih berbahaya dibandingkan kematian di jalan Allah.

Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang perbuatan fawâhisy (kekejian), baik yang terlihat maupun tidak, melarang perbuatan dosa, kezhaliman tanpa kebenaran, perbuatan syirik terhadap Allah dengan segala sesuatu dan berdusta atas nama Allah l . Semua perkara tersebut adalah dilarang saat kapanpun dan dalam aturan syariat seluruh nabi.

Pengharaman darah, bangkai, babi dan lainnya yang sangat mengandung mafsadah, seperti pada khamr dan perjudian, meskipun ada manfaatnya bagi manusia, namun akibat dosanya lebih besar dibanding kemanfaatan yang bisa diraih. [12]

Oleh karena itu, benar-benar merupakan kekeliruan fatal jika seseorang memungkiri eksistensi mashâlih, mahâsin (sisi-sisi keindahan) dan maqâshid (orientasi) dalam syari’at yang telah ditetapkan Allah ini bagi umat manusia di dunia maupun akhirat. Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah menilai orang seperti itu dengan sebutan “orang yang telah mengalami kekeliruan, sesat. Kerusakan pernyataannya telah dimaklumi dengan mudah”.[13]

Begitu pula pendapat yang memandang bahwa kemaslahatan Islam hanya diperuntukkan di dunia ini saja, merupakan pendapat yang timpang, sebagaimana anggapan Ibnu Asyûr.[14]

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XI/1428H/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Almat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183. telp. 0271-5891016]
__________
Foote Note
[1]. Ats Tsabât ‘Alal-Islam, Dârul-Minhaj, Kairo, Mesir, Tahun 1424 H – 2004 M, hlm. 14-15.
[2]. Imam ahli hadits, Sulthânul-’Ulama Abu Muhammad ‘Izzuddin ‘Abdul-’Aziz bin ‘Abdis-Salam bin Abil-Qasim bin Al-Hasan as- Sulami ad-Dimasyqi. Seorang ulama fiqih dari kalangan Syafi’iyyah. Lebih dikenal dengan panggilan Al-’Izz bin ‘Abdis-Salam. Lahir 577 atau 578 H, dan wafat 660 H.
[3]. Qawâ’idul-Ahkâm fî Mashâlihil-Anam, Al-’Izz bin ‘Abdis-Salam, Dârul-Bayanil-’Arabi, Tahun 1421 H – 2001 M, hlm. 5.
[4]. Untuk selanjutnya dalam pembahasan ini memakai dua ungkapan tersebut.
[5]. Lisânul-’Arab (5/3412), Al-Mushtashfa (2/481-482). Dinukil dari Maqâshidusy-Syarî’ah. Lihat Mabhats, Dharuriyatul-Khams.
[6]. Qawâ’idul-Ahkâm, hlm. 8.
[7]. Majmu’ AlFatâwa (1/265)
[8]. Majmu’ Al-Fatâwa (1/265, 10/512).
[9]. Majmu’ Al-Fatâwa (1/194, 11/331, 348).
[10]. Qawâ’idul-Ahkam, hlm. 11.
[11]. Qawâ’idu- Ahkam, hlm. 17.
[12]. Majmu’ Al-Fatâwa (27/230, 21/569, 1/265, 24/278-279), Al-Istiqâmah (1/153), Al-Maqâshid, hlm. 287.
[13]. Majmu’ Al-Fatâwa (11/179).
[14]. Maqâshidusy-Syari’ah, Ibnu ‘Asyûr, hlm. 13. Dikutip dari Al-Maqâshid, hlm. 285.


1 2  next

Bismillaahirrahmaanirrahiim Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga dicurahkan kepada Rasul termulia, juga kepada seluruh keluarga dan shahabatnya. Amma ba'du. Website almanhaj.or.id adalah sebuah media dakwah sangat ringkas dan sederhana, yang diupayakan untuk ikut serta dalam tasfiyah (membersihkan) umat dari syirik, bid'ah, serta gerakan pemikiran yang merusak ajaran Islam dan tarbiyah (mendidik) kaum muslimin berdasarkan ajaran Islam yang murni dan mengajak mereka kepada pola pikir ilmiah berdasarkan al-Qur'an dan as-Sunnah dengan pemahaman Salafush Shalih. Kebenaran dan kebaikan yang anda dapatkan dari website ini datangnya dari Allah Ta'ala, adapun yang berupa kesalahan datangnya dari syaithan, dan kami berlepas diri dari kesalahan tersebut ketika kami masih hidup ataupun ketika sudah mati. Semua tulisan atau kitab selain Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahihah dan maqbul, mempunyai celah untuk dikritik, disalahkan dan dibenarkan. Barangsiapa yang melihat adanya kesalahan hendaknya meluruskannya. Hati kami lapang dan telinga kami mendengar serta bersedia menerima. Semoga Allah menjadikan upaya ini sebagai amalan shalih yang bermanfaat pada hari yang tidak lagi bermanfaat harta dan anak-anak, melainkan orang yang menemui Rabb-nya dengan amalan shalih. Jazaakumullahu khairan almanhaj.or.id Abu Harits Abdillah - Redaktur Abu Khaulah al-Palimbani - Web Admin