Kategori Dakwah
Kamis, 5 Nopember 2009 16:06:34 WIB
Hendaklah seorang da’i menyadari, bahwa kemalasannya dalam menjalankan ketaatan kepada Allah Subanahu wa Ta'alal berbeda dengan orang lain, karena dia sebagai contoh bagi orang lain. Tatkala orang melihatnya malas, maka orangpun akan berbuat semisalnya, atau bahkan lebih parah lagi. Sebagaimana pelanggaran hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala oleh da’i, tidaklah sama dengan pelanggaran yang dilakukan orang lain, karena ini akan diikuti, sehingga tersebarlah maksiat dimana-mana dengan dalih, da’i fulan melakukannya. Terkadang perkara yang sunnah bisa menjadi wajib bagi seorang da’i. Artinya, seorang da’i dituntut untuk senantiasa mengamalkan yang sunnah, supaya orang lain mencontohnya sehingga sunnah itu tersebar di masyarakat. Demikian juga perkara yang makruh bisa menjadi haram bagi seorang da’i. Artinya, seorang da’i dituntut untuk senantiasa meninggalkan perkara yang makruh, supaya orang lain tidak mencontohnya dan menganggap itu perkara yang mubah, sehingga perkara yang makruh tersebut tidak menjadi kebiasaan di masyarakat. Disinilah seorang da’i mempunyai amanah yang berat dan tanggung-jawab yang besar. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala menolong kita dalam menunaikan tanggung-jawab ini.
Selasa, 8 April 2008 14:39:46 WIB
Tidak diragukan lagi, bahwa prioritas dan pokok-pokok dakwah Islamiyah sejak diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga hari Kiamat tetap sama, tidak berubah karena perubahan zaman. Adakalanya sebagian pokok-pokok itu telah terealisasi pada suatu kaum dan tidak ada hal yang menggugurkannya atau mengurangi bobotnya, pada kondisi seperti ini, sang da’i harus membahas perkara-perkara lainnya yang dipandang masih kurang. Kendati demikian, pokok-pokok dakwah Islamiyah sama sekali tidak berubah. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu'adz bin Jabal ke Yaman, beliau bersabda. "Ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tiada tuhan (yang berhak disembah) selain Allah dan bahwa sesungguhnya aku adalah utusan Allah. Setelah mereka mematuhi itu, beritahulah mereka bahwa sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas mereka pelaksanaan lima kali shalat dalam sehari semalam...."
Kamis, 15 Nopember 2007 14:02:15 WIB
Suatu ketika syaikh Muhammad Nashirudin Al-Albani rahimahullah pernah bertemu dengan salah seorang pemimpin partai Islam (dari Aljazair), Ali bin Hajj. Syaikh mengetahui sangat detail tentang kejadian yang terjadi pada mereka, dan telah sampai berita kepada beliau bahwa partai mereka mendapat dukungan jutaan pendukung. Diantara pertanyaan yang dilontarkan syaikh kepadanya yaitu yang saya nukil secara ringkas disini : Syaikh Muhammad Nashirudin Al-Albani rahimahullah bertanya : "Apakah setiap orang yang bersamamu (yang mendukung partaimu) mengetahui bahwa Allah bersemayam di atas Arsy? Setelah terjadi dialog, dimana Ali bin Hajj berupaya untuk lari dari pertanyaan syaikh Al-Albani, dan syaikh-pun berupaya untuk menutup jalan keluar dari pertanyaan diatas, dia menjawab pertanyaan beliau dengan mengatakan : "Kami berharap demikian." Syaikh berkata kepadanya : "Tinggalkan jawabanmu yang bersifat politis ini!"
Rabu, 5 September 2007 13:29:08 WIB
Manhaj Salaf, sebagai manhaj Islam itu sendiri merupakan manhaj pemersatu, bukan pemecah-belah. Dakwah Salafiyah adalah dakwah yang mengajak pada persatuan, bukan dakwah yang memecah-belah umat. Ketika para pembela dakwah Salafiyah menyatakan -bahwa kelompok-kelompok hizbiyah itu sesat, batil dan bid’ah- maka dianggapnya sebagai caci-makian terhadap sesama muslim. Mereka tidak bisa membedakan, antara peringatan supaya orang tidak terjerumus ke dalam kesesatan atau bid’ah hizbiyah, dengan caci-makian terhadap pribadi muslim. Mereka juga tidak mengetahui atau lupa, bahwa para ulama Ahli Hadits banyak memiliki kitab yang berisi peringatan, agar orang jangan mengambil agama atau mengambil riwayat dari Fulan, Fulan atau Fulan, sebab ia seorang pendusta, atau sebagai ahli bid’ah, atau seorang yang tidak layak diambil perkataannya atau haditsnya. Nah, apakah caci makian seperti itu tertuju kepada pribadi muslim? Tentu bukan! Sebab maksudnya ialah untuk mengingatkan umat dari kepalsuan Fulan, perbuatan bid’ahnya atau kedustaannya. Sebab persoalannya adalah persoalan agama. Supaya agama ini tetap terjaga keutuhannya. Dengan demikian, umat Islampun tetap terjaga keutuhan persatuannya.Tidak dikotak-kotak dengan belenggu-belenggu hizbiyah.
Selasa, 12 Juni 2007 13:25:50 WIB
Telah diketahui bersama bahwa faktor-faktor yang menunjang upaya perbaikan masyarakat Muslim dan non muslim adalah yang telah diupayakan oleh imam para Rasul dan penutup para nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam , juga oleh para shahabat beliau yang mulia terutama para khulafa’ Ar-Rasyidiin Abu Bakar as-Shiddiq, Umar Al-Faruq, Usman Dzun nurain dan Ali Al Murtdla Abul Hasan dan seluruh para shahabat yang lainnya kemudian para tabi’in yang telah mengikuti mereka dengan baik. Semoga Allah menjadikann kita termasuk orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Sebagaimana dimaklumi pula bahwa faktor-faktor tersebut telah diterapkan pertama kali di Makkah kemudian di Madinah. Sementara tidak akan baik kondisi umat yang akan datang kecuali dengan menjalankan apa yang telah diperbaiki orang-orang terdahulu dari umat ini. Sebagaimana yang telah dikatakan oleh para ulama ahli ilmu dan imam semisal Imam Malik bin Anas Imam negeri Madinah dizamannya, seorang ahli Fiqh yang masyhur dan salah satu dari imam-imam mazhab yang empat. Kalimat ini diucapkannya dan diterima oleh para ulama’ di zamannya dengan menyepakatinya bahwa. Tidak akan bisa memperbaiki kondisi orang-orang yang datang kemudian dari umat ini kecuali dengan apa yang telah memperbaiki kondisi orang-orang petamanya.
Rabu, 7 Maret 2007 16:05:01 WIB
Tidak diragukan lagi, bahwa masjid dan mimbar adalah dua sarana lama yang digunakan untuk mengarahkan kaum muslimin khususnya dan manusia lain umumnya kepada kebaikan, mengajarkan hal-hal yang bermanfaat bagi manusia dan menyampaikan risalah-risalah Rabb mereka yang Maha Suci lagi Maha Tinggi. Allah telah mengurus para rasul untuk menyampaikan risalah Allah kepada manusia dan mengajarkan syari'atNya kepada mereka. Demikianlah Allah mengutus para rasul sejak Adam Alaihis Sallam, lalu Nuh Alaihis Sallam dan para rasul berikutnya. Semuanya diutus untuk menyampaikan risalah Allah melalui masjid-masjid dan mimbar-mimbar, baik mimbar itu di masjid ataupun di luar masjid, baik mimbar itu berupa bangunan yang paten ataupun yang tidak paten. Mimbar itu bisa berupa unta, kuda atau binatang lainnya yang biasa ditunggangi, bisa juga berupa tempat yang agak tinggi, yang jelas, dari situ bisa disampaikan risalah-risalah Allah.
First Prev 1 2 3 4 5 Next Last