Kategori Al-Qur'an : Ilmu
Jumat, 14 Januari 2005 16:36:39 WIB
Metode menafsirkan Al-Qur'an adalah. Pertama : Adalah dengan sunnah. Sunnah ini berupa : ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan, dan diamnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kedua. : Adalah dengan penafsiran para sahabat. Dalam hal ini pelopor mereka adalah Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu. Ibnu Mas'ud termasuk sahabat yang menemani Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sejak dari awal dan dia selalu memperhatikan dan bertanya tentang Al-Qur'an serta cara memahaminya dan juga cara menafsirkannya. Sedangkan mengenai Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud pernah berkata : "Dia adalah penerjemah Al-Qur'an". Oleh karena itu tafsir yang berasal dari seorang sahabat harus kita terima dengan lapang dada, dengan syarat tafsir tersebut tidak bertentangan dengan tafsiran sahabat yang lain.
Senin, 3 Januari 2005 07:28:10 WIB
Banyak orang yang berpendapat bahwa mencium mushaf adalah merupakan perbuatan yang bertujuan untuk menghormati dan memuliakan Al-Qur'an. Betul ...!, kami sependapat bahwa itu sebagai penghormatan terhadap Al-Qur'an. Tapi yang menjadi masalah : Apakah penghormatan terhadap Al-Qur'an dengan cara seperti itu dibenarkan .? Seandainya mencium mushaf itu baik dan benar, tentu sudah dilakukan oleh orang yang paling tahu tentang kebaikan dan kebenaran, yaitu Rasulullah ? dan para sahabat, sebagaimana kaidah yang dipegang oleh para ulama salaf. "Seandainya suatu perkara itu baik, niscaya mereka (para sahabat Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam) telah lebih dulu melakukannya" Itulah patokan kami. Pandangan berikutnya adalah, "Apakah hukum asal mencium mushaf itu boleh atau dilarang?"
Senin, 6 Desember 2004 13:00:47 WIB
Kehendak Allah itu dibagi dua : Kehendak Syari'at (Ira'dah Syari'at) Adalah kehendak Allah yang telah Allah syariatkan kepada hambanya. Kehendak ini berupa amal-amal wajib dan amal-amal sunnah. Allah berkehendak dan menyukai hamba-hamba-Nya untuk melakukan shalat, puasa, sedekah, jihad, dan lain-lain. Kehendak Kauni (Ira'dah Kauniyah). Adalah kehendak Allah yang pasti terjadi di dunia ini. Kejadian ini kadang-kadang berupa sesuatu yang diridhai oleh Allah dan kadang-kadang berupa sesuatu yang dibenci oleh Allah. Istilah Kehendak Kauni ini diambil dari Al-Qur'an : "Sesungguhnya Allah itu apabila menghendaki sesuatu, Dia mengatakan Kun (=jadilah). Maka jadilah apa yang Dia kehendaki". Kata 'sesuatu' dalam ayat tersebut bentuknya nakiroh (bersifat umum). Bisa berupa ketaatan atau bisa pula berupa kemaksiatan, bisa sesuatu yang diridhai atau bisa pula berupa sesuau yang dibenci Allah.
Minggu, 21 Nopember 2004 07:01:37 WIB
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman di dalam Al-Qur'an surat Al-Imran ayat 85 . :" Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima". Sementara dalam surat Al-Maidah ayat 69 disebutkan. : "Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shabi'in, dan orang-rang Nasrani apabila mereka beriman kepada Allah dan hari akhir serta beramal shalih, maka tidak ada ketakutan dan kesedihan yang akan menimpa mereka". Bagaimana caranya kita memahami dua ayat yang seolah-olah bertentangan ini ?
Rabu, 3 Maret 2004 09:49:03 WIB
Dengan karunia Allah Subhanahu wa Ta'ala, insya Allah masalah tersebut mudah dipahami. Sebagaimana kita tahu bahwa tipu daya itu tidak selamanya jelek dan tercela dan sebaliknya tidak selamanya baik. Misalnya ada seorang kafir yang akan membuat tipu daya terhadap seorang muslim, tetapi karena si muslim ini kebetulan seorang yang cerdik dan selalu waspada, maka dia balik membikin tipu daya agar niat jahat si kafir tersebut tidak sampai mengenai dirinya. Dalam keadaan seperti ini tentu tidak bisa dikatakan bahwa si muslim ini telah berbuat kesalahan dan melanggar syari'at. Hal ini akan lebih jelas ketika kita perhatikan sabda Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam. "Perang adalah tipuan". Kata "tipuan" dalam hadits ini sama sifatnya dengan kata "tipu daya" pada ayat di atas.
Selasa, 2 Maret 2004 07:24:04 WIB
Apabila majelis tersebut memang majelis zikir dan ilmu yang di dalamnya ada tilawah Al-Qur'an maka siapaun yang hadir dalam majelis tersebut wajib diam dan menyimak bacaan tersebut. Dan berdosa bagi siapa saja yang sengaja mengobrol dan tidak menyimak bacaan tersebut. Dalilnya adalah surat Al-A'raf : 204. "Apabila dibacakan Al-Qur'an, maka dengarkanlah dan diamlah agar kalian mendapat rahmat". Adapun jika majelis tersebut bukan majelis ilmu dan zikir serta bukan majelis tilawah Al-Qur'an akan tetapi hanya kumpul-kumpul biasa untuk mengobrol, diskusi, bekerja, belajar atau pekerjaan lain-lain, maka dalam suasana seperti ini tidak boleh kita mengeraskan bacaan Al-Qur'an baik secara langsung ataupun lewat pengeras suara (kaset), sebab hal ini berati memaksa orang lain untuk ikut mendengarkan Al-Qur'an.
First Prev 1 2 3 4 Next Last
