Kategori Fiqih : Jual Beli
Jumat, 16 Desember 2011 07:48:47 WIB
Sebelum menjelaskan hukum gelatin dari babi, harus dijelaskan terlebih dahulu hukum istihalah (perubahan suatu wujud menjadi wujud lain), seperti : wujud babi berubah menjadi garam, apakah garam tersebut hukumnya halal atau menjadi haram. Terdapat perbedaan pendapat para ulama mazhab dalam hal ini. Para ulama mazhab Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa bila seekor babi jatuh ke dalam tambak pembuatan garam lalu mati dan berubah menjadi garam, maka garam tersebut hukumnya halal. Karena zat babi telah berubah menjadi garam dan garam hukumnya adalah halal. Al-Hashkafi (ulama mazhab Hanafi, wafat 1088H) berkata : “Tidak termasuk najis abu bekas pembakaran najis, juga garam yang berasal dari bangkai keledai ataupun babi…, karena wujudnya telah berubah. Ini yang difatwakan dalam mazhab” Para ulama mazhab Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa garam yang berasal dari perubahan wujud babi hukumnya tetap haram, karena zat babi adalah najis sekalipun najis tersebut berubah bentuk menjadi zat lain hukumnya tetap najis. Ar-Ramli (ulama mazhab Syafi’i, wafat : 1004H) berkata : “Zat yang najis tidak berubah hukumnya secara mutlak …, dengan cara wujud najis berubah menjadi wujud lain, seperti ; bangkai babi yang jatuh ke dalam tambak garam, kemudian berubah menjadi garam”
Kamis, 25 Agustus 2011 01:40:27 WIB
Abdullâh bin Umar Radhiyallahu anhuma mengatakan, "Kami membeli makanan tanpa takaran atau timbangan lalu Rasûlullâh mengutus seseorang yang melarang kami agar kami tidak menjual kecuali setelah kami bawa ke rumah kami. Berdasarkan hadits-hadits di atas dan hadits-hadits lain yang semakna maka akan tampak jelas bagi para pencari kebenaran bahwa seorang Muslim tidak boleh menjual barang yang tidak dia miliki (atau belum dimiliki), seperti mengadakan barang setelah akan berlangsung. Namun (seharusnya) penjualan itu dilakukan setelah dia membeli barang tersebut dan benar-benar menguasainya. (Berdasarkan hadits-hadits di atas juga) maka terlihat jelas bahwa praktik yang dilakukan oleh sebagian orang yang menjual barang dagangan di lokasi dia membeli, sebelum memindahkannya ke milik pembeli adalah praktik terlarang karena bertentangan dengan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ini termasuk sikap peremehan terhadap aturan dalam mu'amalah (berintraksi) dan tidak mau mengikat diri dengan kaidah-kaidah syari'at yang suci ini. Ini tentu akan menimbulkan kerusakan dan akibat buruk yang tidak terhitung.
Selasa, 5 Juli 2011 21:46:50 WIB
Diantara salah satu sebab suburnya perbudakan waktu itu adalah seringnya terjadi peperangan antar kabilah dan bangsa, di samping di sana terdapat faktor lain seperti perampokan, perampasan, penculikan, kemiskinan, ketidakmampuan dalam membayar hutang dan lain sebagainya, serta didukung pula dengan adanya pasar budak pada masa itu. Pada zaman Nabi Ibrâhîm Alaihissallam sudah terjadi perbudakan, hal ini ditunjukkan oleh kisah Sarah yang memberikan jariyahnya (budak wanita) yaitu Hajar kepada Nabi Ibrâhîm Alaihissallam untuk dinikahi. Demikian pula pada zaman Ya’qûb Alaihissallam, orang merdeka di masa itu bisa menjadi budak dalam kasus pencurian, yaitu si pencuri diserahkan kepada orang yang ia ambil hartanya untuk dijadikan budak. Kemudian Islam datang mengatur perbudakan ini walaupun tidak mutlak melarangnya. Akan tetapi, hal itu dapat mengurangi perlahan-lahan. Untuk itu Islam menganjurkan untuk membebaskan budak-budak yang beragama Islam, bahkan salah satu bentuk pembayaran kafârah adalah dengan membebaskan budak Muslim. Dewasa ini kita dapati maraknya eksploitasi manusia untuk dijual atau biasa disebut dengan Human Trafficking, terutama pada wanita untuk perzinaan, dipekerjakan tanpa upah dan lainnya, ada juga pada bayi yang baru dilahirkan untuk tujuan adopsi yang tentunya ini semua tidak sesuai dengan syari’ah dan norma-norma yang berlaku (‘urf). Kemudian bila kita tinjau ulang ternyata manusia-manusia tersebut berstatus hur (merdeka).
Kamis, 19 Mei 2011 14:46:59 WIB
Adapun batasan masjid yang dilarang berjual-beli, apakah di mulai dari pagar (gerbang) atau dimulai dengan temboknya? Kami belum mendapatkan penjelasan yang tegas dari para ulama. Diantara perkataan ulama yang kami dapati, yang nampaknya juga berkaitan dengan masalah ini ialah: Perkataan Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani rahimahullah : “Hukum serambi masjid dan yang dekat dari serambi adalah hukum masjid. Oleh karena itulah, kebiasaan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam jika mendapati baunya (yakni bau bawang putih atau semacamnya, Red) di dalam masjid, Beliau memerintahkan mengeluarkan orang yang didapati bau darinya menuju Baqi’, sebagaimana telah shahih di dalam (kitab Shahih Muslim. Perkataan Al Hafizh tersebut, juga dinukil oleh Syaikh Al Albani dalam kitab Ats Tsamar Al Mustathab (2/665). Demikian juga Syaikh Salim Al Hilali, beliau mengatakan: “Hukum arena masjid dan yang dekat darinya adalah hukum masjid. Hal itu nampak di dalam perbuatan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengeluarkan orang yang didapati darinya bau bawang putih, bawang merah, dan bawang kucai menuju Baqi’.
Minggu, 13 Februari 2011 23:08:44 WIB
Seorang pedagang sibuk dengan jual beli sampai terlambat melakukan shalat jama’ah di masjid, baik tertinggal seluruh shalat atau masbuq. Berniaga yang sampai melalaikan seperti ini dilarang. Allah berfirman : Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (Al Jumu’ah:9-10). Dalam ayat lain Allah berfirman : Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi. (Al Munafiqun:9). Perhatikanlah firman Allah Azza wa Jalla “maka mereka itulah orang-orang yang rugi”. Allah menyatakan mereka mengalami kerugian, meskipun mereka kaya, berhasil mengumpulkan banyak harta dan memiliki banyak anak. Sesungguhnya harta dan anak-anak mereka tidak akan bisa menggantikan dzikir yang terlewatkan. Seorang pedagang akan meraih keuntungan yang hakiki, jika mampu meraih dua kebaikan, yaitu memadukan antara mencari rezeki dengan ibadah kepada Allah Azza wa Jalla. Melangsungkan akad jual beli pada waktunya, dan menghadiri shalat pada waktunya
Minggu, 18 April 2010 15:18:52 WIB
Syariat Islam yang mulia ini datang dengan membawa segala kemaslahatan bagi umat manusia, serta membawa peringatan dari segala yang membahayakan akal, tubuh dan agama. Sehingga, syariat Islam membolehkan semua yang baik -yaitu sebagian besar makhluk Allah yang telah Dia ciptakan untuk manusia di bumi ini- dan mengharamkan hal-hal yang buruk. Di antara sekian macam hal buruk yang telah diharamkan, ada empat hal yang dijelaskan dalam hadits di atas. Setiap macamnya menunjukkan dan mewakili hal buruk lainnya yang semisal. Maka, al khamr, yaitu segala sesuatu yang dapat memabukkan dan menutup akal, merupakan sumber keburukan. Dengan mengkonsumsinya, seseorang kehilangan nikmat akal yang telah Allah muliakan dengannya. Sehingga, seorang yang sedang mabuk akan melakukan dosa-dosa besar. Ia akan menebarkan permusuhan sesama kaum Muslimin. Khamr ini pun menghalanginya dari seluruh kebaikan, dan dari berdzikir kepada Allah. Kemudian Rasululah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan hal berikutnya, yaitu al maitah (bangkai). Yaitu hewan yang biasanya tidak mati, melainkan dengan sebab penyakit atau bakteri mikroba. Atau juga dengan sebab tertahannya darah hewan tersebut, yang menyebabkan kematian. Maka, mengkonsumsinya mendatangkan resiko yang sangat besar bagi tubuh dan membinasakan kesehatan.
First Prev 1 2 3 4 5 6 7 Next Last
