Kategori Fiqih : Waris & Waqaf
Jumat, 12 Januari 2007 00:53:27 WIB
Semua keluarga wanita selain ahli waris sebelas ini, seperti bibi dan seterusnya dinamakan “dzawil arham”, tidak mendapat harta waris. Lihat Muhtashar Fiqhul Islam, hal. 776. Catatan. Bila ahli waris laki-laki yang berjumlah lima belas di atas masih hidup semua, maka yang berhak mendapatkan harta waris hanya tiga saja, yaitu : Bapak, anak dan suami. Sedangkan yang lainnya mahjub (terhalang) oleh tiga ini.Bila ahli waris perempuan yang berjumlah sebelas di atas masih hidup semua, maka yang berhak mendapatkan harta waris hanya lima saja, yaitu : Anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, ibu, isteri, saudari sekandung. Jika semua ahli waris laki-laki dan perempuan masih hidup semuanya, maka yang berhak mendapatkan harta waris lima saja, yaitu : Bapak, anak, suami, atau isteri, anak perempuan, dan ibu.
Rabu, 10 Januari 2007 01:45:28 WIB
Problema keluarga sehubungan dengan pembagian harta waris atau pusaka, akan bertambah rumit manakala diantara para ahli waris ingin menguasai harta peninggalan, sehingga berdampak merugikan orang lain. Tak ayal, permusuhan antara satu dengan lainnya sulit dipadamkan. Adapun yang berwenang membagi harta waris atau yang menentukan bagiannya yang berhak mendapatkan dan yang tidak, bukanlah orang tua anak, keluarga atau orang lain, tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena Dia-lah yang menciptakan manusia, dan yang berhak mengatur kebaikan hambaNya. “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu, bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan…”. Sebab turun ayat ini, sebagaimana diceritakan oleh sahabat Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu bahwa dia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan dengan harta yang kutinggalkan ini”? Lalu turunlah ayat An-Nisa ayat 11. Lihat Fathul Baari 8/91, Shahih Muslim 3/1235, An-Nasa’i Fil Kubra 6/320
Selasa, 9 Januari 2007 01:04:36 WIB
Anak tiri tidak mendapatkan warisan bila bapak tiri atau ibu tirinya meninggal dunia. Juga anak yang dilahirkan hasil zina, maka anak tersebut tidak mendapatkan harta waris dari laki-laki yang menzinai, dan sebaliknya. Tetapi, anak mendapatkan warisan dari ibunya dan juga sebaliknya. Alasannya, karena anak yang mendapatkan harta waris ialah anak senasab atau satu darah, lahir dengan pernikahan syar’i. Lihat Al-Fiqhul Islami Wa Adillatih (8/256). Selain keterangan di atas, ada pula ahli waris yang mahjub isqath terhalang karena ada orang yang lebih kuat dan dekat dengan si mayit. Misalnya kakek mahjub (tidak mendapatkan harta waris), karena ayah si mayit masih hidup, atau cucu mahjub karena anak masih hidup, saudara mahjub dengan anak, bapak dari seterusnya.
Senin, 8 Januari 2007 00:15:25 WIB
Definisinya menurut syariat ialah pengetahuan tentang bagian-bagian harta waris yang diberikan di antara orang-orang yang berhak menerimnya. Dasar tentang faraidh ini ialah Kitab Allah, yang disebutkan dalam firmanNya : “Allah mensyariatkan bagi kalian tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anak kalian…” . Dasarnya dalam As-Sunnah ialah hadits Ibnu Abbas yang disebutkan dalam bab ini. Para ulama juga sudah menyepakati hal ini. Mengingat harta dan pembagiannya merupakan obyek yang diminati, dan biasanya harta warisan diperuntukkan bagi orang-orang yang lemah dan tidak memiliki kekuatan, maka Allah perlu mengatur sendiri pembagiannya di dalam KitabNya, dengan penjelasan yang detail dan terinci, agar tidak menjadi ajang perdebatan dan rebutan berdasarkan hawa nafsu, membaginya diantara para ahli waris sesuai dengan tuntutan keadilan, kemaslahatan dan manfaat yang diketahuiNya.
Jumat, 18 Agustus 2006 13:21:45 WIB
Dari Ibnu Umar bahwa Umar binAl Khaththab mendapatkan tanah di kota Khaibar. Lalu dia mendatangi Nabi (untuk) meminta petunjuk kepada Beliau tentang tanah tersebut. Dia berkata,”Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya aku mendapatkan tanah di kota Khaibar. Aku tidak pernah mendapatkan harta sama sekali yang lebih berharga padaku darinya. Maka apakah yang Anda perintahkan tentang tanah itu?” Beliau bersabda,”Jika engkau mau, engkau menahan pokoknya, dan engkau bershadaqah dengan (hasil)nya.” Maka Umar (pun) bershadaqah dengan (hasil)nya, dengan syarat bahwa tanah itu tidak dijual, tidak dihibahkan, tidak diwariskan. Umar bershadaqah dengan (hasil) tanah itu untuk orang-orang miskin, karib kerabat, budak-budak, fi sabilillah, ibnu sabil, dan tamu. Tidak mengapa orang yang mengurusnya (mengelolanya) memakan darinya dengan baik, juga (tidak mengapa) dia memberi makan (darinya) dengan tidak menyimpan harta. Kemudian bagaimana jika tanah waqaf terbengkelai dan perlu untuk dijual dan dibelikan tanah yang lain untuk dijadikan sebagai waqaf dan dimanfaatkan? Apakah hal itu boleh? Di sini terdapat dua pendapat.
Jumat, 7 Juli 2006 09:45:13 WIB
Istri tersebut berhak mendapatkan warisan dari suamiya ketika masa iddahnya belum habis, dengan syarat cerai/ talak tersebut adalah talak raj’i (talak yang masih boleh rujuk kembali). Adapun jika masa iddahnya sudah habis, maka dia tidak berhak mendapat warisan dari suaminya yang meninggal. Begitu juga perempuan terebut tidak berhak mendapat warisan dari suaminya apabila talaknya talak ba’in (talak yang tidak boleh rujuk kembali). Perlu diketahui bahwa contoh talak ba’in ini adalah talak yang terjadi atas permintaan istri dengan membayar sejumlah uang (atau mengembalikan Mahar), dan talak tiga. Perempuan yang mengalami talak ba’in, dia tidak berhak mendapat warisan dari suaminya karena ketika suaminya meninggal, perempuan tersebut sudah bukan istrinya lagi.
First Prev 1 2 3 4 5 Next Last