Kategori Kitab : Hari Kiamat (2)

Pasal Ketujuh : Setelah Matahari Terbit Dari Barat Iman Dan Taubat Tidak Lagi Diterima

Senin, 31 Mei 2004 13:24:28 WIB

Pasal Ketujuh
TERBITNYA MATAHARI DARI BARAT


Oleh
Dr. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil


3. Setelah Matahari Terbit dari Barat Iman dan Taubat Tidak Lagi Diterima
Jika matahari terbit dari barat, maka keimanan tidak lagi diterima dari seseorang yang sebelumnya tidak beriman, sebagaimana tidak diterimanya taubat orang yang melakukan maksiat. Hal itu karena terbitnya matahari dari barat adalah salah satu tanda besar Kiamat yang dapat dilihat oleh setiap orang yang ada pada zaman tersebut. Maka ketika itu berbagai kenyataan akan ter-buka dan ketika itu mereka akan menyaksikan segala kegoncangan yang me-maksa mereka untuk membenarkan Allah dan tanda-tanda kebesaran-Nya. Hukum mereka dalam hal itu sama dengan hukum orang yang menyaksikan siksa Allah Ta’ala, sebagaimana difirmankan oleh-Nya:

فَلَمَّا رَأَوْا بَأْسَنَا قَالُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَحْدَهُ وَكَفَرْنَا بِمَا كُنَّا بِهِ مُشْرِكِينَ فَلَمْ يَكُ يَنْفَعُهُمْ إِيمَانُهُمْ لَمَّا رَأَوْا بَأْسَنَا ۖ سُنَّتَ اللَّهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ فِي عِبَادِهِ ۖ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْكَافِرُونَ

“Maka tatkala mereka melihat adzab Kami, mereka berkata, ‘Kami beriman hanya kepada Allah saja dan kami kafir kepada sembahan-sembahan yang telah kami persekutukan dengan Allah.’ Maka iman mereka tiada berguna bagi mereka tatkala mereka telah melihat siksa Kami. Itulah sunnah Allah yang telah berlaku terhadap hamba-hamba-Nya. Dan di waktu itu binasalah orang-orang kafir.” [Al-Mu’min: 84-85]

Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Para ulama berkata, ‘Keimanan satu jiwa tidak bermanfaat ketika matahari telah terbit dari barat. Hal itu karena perasaan takut menghujam sangat dalam di hati, yang mematikan segala syahwat dan nafsu dan kekuatan badan menjadi hilang, demikian pula setiap kekuatan di dalam badan menjadi lemah. Maka semua manusia -karena keyakinan mereka akan dekatnya Kiamat- menjadi bagaikan orang yang sedang menghadapi sakaratul maut, dan terputusnya segala ajakan untuk melakukan berbagai macam kemaksiatan, dan anggota badan mereka tidak menginginkannya. Maka orang yang bertaubat pada kesempatan seperti itu tidak akan diterima taubatnya, sebagaimana tidak diterimanya taubat orang yang sedang sakaratul maut.” [1]

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Jika tumbuh keimanan pada seorang kafir ketika itu, maka keimanannya tidak akan diterima. Adapun orang yang telah beriman sebelumnya, jika dia baik dalam perbuatannya, maka dia berada dalam kebaikan yang sangat besar. Adapun jika dia adalah orang yang mencampurbaurkan antara kebaikan dan keburukan, lalu dia bertaubat, maka taubatnya tidak diterima ketika itu.” [2]

Inilah yang dijelaskan dalam al-Qur-an dan dalam berbagai hadits shahih, karena Allah Ta’ala berfirman:

يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لَا يَنْفَعُ نَفْسًا إِيمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيمَانِهَا خَيْرًا

“... pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Rabb-mu tidaklah berguna lagi iman seseorang yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) meng-usahakan kebaikan dengan imannya itu...” [Al-An’aam: 158]

Dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَنْقَطِعُ الْهِجْرَةُ مَا تُقُبِّلَتِ التَّوْبَةُ، وَلاَ تَزَالُ التَّوْبَةُ مَقْبُولَةٌ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنَ الْمَغْرِبِ، فَإِذَا طَلَعَتْ؛ طُبِعَ عَلَى كُلِّ قَلْبٍ بِمَا فِيْهِ، وَكُفِيَ النَّاسُ الْعَمَلَ.

“Hijrah tidak akan terputus selama taubat masih diterima, dan taubat akan tetap diterima hingga matahari terbit dari barat. Jika ia telah terbit (dari barat), maka dikuncilah setiap hati dengan apa yang ada di dalamnya dan dicukupkan bagi manusia amal yang telah dilakukannya.”[3]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ عَزَوجَلَ جَعَلَ بِالْمَغْرِبِ بَابًا عَرْضُهُ مَسِيْرَةُ سَبْعِيْنَ عَامًا لِلتَّوْبَةِ، لاَ يُغْلَقُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ قَبْلِهِ، وَذَلِكَ قَوْلُ اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لَا يَنْفَعُ نَفْسًا إِيمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيمَانِهَا خَيْرًا ... الآية.

"Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla membuat sebuah pintu untuk taubat (pintu taubat) di barat yang panjangnya sejauh perjalanan 70 tahun, pintu tersebut tidak akan pernah dikunci hingga matahari terbit dari arahnya, itulah makna firman Allah تبارك وتعالى, ‘... pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Rabb-mu, tidaklah bermanfaat iman seseorang yang belum beriman sebelum itu....’ [Al-An’aam: 158].” [4]

Sebagian ulama [5] berpendapat bahwa orang-orang yang tidak diterima taubatnya adalah orang-orang kafir yang menyaksikan langsung matahari terbit dari barat, adapun jika zaman terus berkembang sementara manusia melupakannya, maka imannya orang kafir dan taubatnya orang yang bermaksiat masih dapat diterima.

Al-Qurthubi berkata, “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يُغَرْغِرْ.

“Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba selama ruhnya belum sampai ke kerongkongan.”[6]

Maknanya adalah selama ruhnya belum sampai di kerongkongan, kala itulah seseorang melihat dengan jelas tempat yang disediakan untuknya; Surga atau Neraka. Maka orang yang menyaksikan matahari terbit dari barat sama dengan orang yang menghadapi sakaratul maut. Oleh karena itu, taubat orang yang menyaksikannya atau orang yang keadaannya sama adalah tertolak, selama dia masih hidup karena keyakinannya terhadap Allah, Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan terhadap janjinya adalah menjadi sesuatu yang darurat (tidak bisa ditawar-tawar lagi). Lalu jika hari-hari di dunia terus berlalu, sehingga manusia melupakan masalah agung ini dan tidak membicarakannya lagi kecuali hanya sedikit saja, dan berita tersebut menjadi sesuatu yang hanya diketahui oleh kalangan tertentu, dan kemutawatiran telah terputus. Maka barangsiapa masuk ke dalam agama Islam ketika itu atau bertaubat, maka hal itu diterima darinya, wallahu a’lam.” [7]

Pendapat ini diperkuat dengan sebuah riwayat:

إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ يُكْسَيَانِ بَعْدَ ذَلِكَ الْضَوْءِ وَالنُّوْرِ، ثُمَّ يَطْلُعَانِ عَلَى النَّاسِ وَيَغْرَبَانِ.

“Sesungguhnya matahari akan bersinar setelah itu, kemudian keduanya akan terbit dan terbenam kepada manusia (seperti biasa).”

Demikian pula riwayat dari ‘Abdullah bin ‘Amr, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:

يَبْقَى النَّاسُ بَعْدَ طُلُوْعِ الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا عِشْرِيْنَ وَمِئَةَ سَنَةٍ.

“Manusia tetap ada setelah matahari terbit dari barat selama seratus dua puluh tahun.”

Diriwayatkan dari ‘Imran bin Hushain Radhiyallahu anhu, bahwasanya beliau berkata, “Sesungguhnya tidak diterima hanya pada waktu terbitnya matahari (dari barat) hingga datang teriakan, lalu ketika itu banyak manusia yang binasa, maka barangsiapa masuk Islam atau bertaubat ketika itu, kemudian dia mati maka taubatnya tidak diterima, dan barangsiapa bertaubat setelah itu, maka taubatnya diterima.”[8]

Jawaban atas semua pernyataan di atas bahwa nash-nash menunjukkan sesungguhnya taubat tidak diterima setelah matahari terbit dari barat, dan seorang kafir tidak diterima keislamannya ketika itu. Nash-nash sama sekali tidak membedakan antara orang yang menyaksikan langsung tanda besar itu dan orang yang tidak menyaksikannya.

Dan di antara yang memperkuat hal ini adalah apa yang diriwayatkan oleh ath-Thabari dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, beliau berkata, “Jika tanda Kiamat yang pertama telah keluar, maka qalam-qalam (pencacat amal) dilemparkan, para Malaikat penjaga ditahan, dan manusia menjadi saksi atas amalnya.”[9]

Yang dimaksud dengan tanda Kiamat yang pertama adalah terbitnya matahari dari barat. Adapun tanda-tanda Kiamat yang keluar sebelum matahari terbit, maka berbagai hadits menunjukkan diterimanya taubat dan keimanan ketika itu.

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir ath-Thabari pula dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, beliau berkata:

اَلتَّوْبَةُ مَبْسُوْطَةٌ مَالَمْ تَطْلُعِ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا.

“Taubat itu dibentangkan selama matahari belum terbit dari barat.” [10]

Al-Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dari Abu Musa Radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ تَعَالَـى يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوْبَ مُسِيءُ النَّهَارِ، وَيَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوْبَ مُسِيْءُ اللَّيْلِ، حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا.

‘Sesungguhnya Allah membentangkan tangan-Nya pada malam hari untuk menerima taubat orang yang melakukan kejelekan pada siang hari, dan membentangkan tangan-Nya pada siang hari untuk menerima taubat orang yang melakukan kejelekan pada malam hari hingga matahari terbit dari barat.’”[11]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikan puncak (akhir) dari penerimaan taubat adalah terbitnya matahari dari barat.

Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan beberapa hadits juga atsar yang menunjukkan terkuncinya pintu taubat (setelah terbitnya matahari dari barat) berlangsung sampai datangnya hari Kiamat, kemudian beliau berkata, “Atsar-atsar ini saling memperkuat satu sama lainnya dan sepakat bahwa jika matahari telah terbit dari barat, maka terkuncilah pintu taubat dan tidak akan pernah dibuka setelah itu, dan sesungguhnya hal itu tidak khusus pada hari kemunculannya dari barat, bahkan berlangsung sampai hari Kiamat.”[12]

Adapun pengambilan dalil al-Qurthubi dapat dijawab bahwa hadits ‘Abdullah bin ‘Amr dikatakan oleh, al-Hafizh Ibnu Hajar: “Kemarfu’an hadits ini tidak benar.”

Dan hadits ‘Imran bin Hushain, “Sama sekali tidak ada dasarnya.” [13]

Adapun hadits: “Sesungguhnya matahari dan bulan akan menyinari...” maka al-Qurthubi tidak menyebutkan sanadnya, sungguh pun hadits tersebut tetap riwayatnya, maka kembalinya matahari dan bulan kepada keadaannya semula sama sekali bukan dalil bahwa pintu taubat dibuka kembali.

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah tetap berpegang dengan nash penentu dalam perbedaan pendapat ini, yaitu hadits ‘Abdullah bin ‘Amr yang menyebutkan terbitnya matahari dari barat, dan di dalamnya diungkapkan: “Maka sejak hari itu sampai hari Kiamat “...Tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya.”[14]

[Disalin dari kitab Asyraathus Saa'ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. At-Tadzkirah (hal. 706), dan Tafsiir al-Qurthubi (VII/146).
[2]. Tafsiir Ibni Katsir (III/371).
[3]. Musnad Imam Ahmad (III/133-134, no. 1671) tahqiq Ahmad Syakir, beliau berkata, “Sanadnya shahih.”
Ibnu Katsir berkata, “Ini adalah sanad yang jayyid lagi kuat.” An-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim (I/170).
Al-Haitsami berkata, “Perawi Ahmad tsiqat.” Majma’uz Zawaa-id (V/251).
[4]. HR. At-Tirmidzi, bab Maa Jaa-a fii Fadhlit Taubah wal Istighfaar (IX/517-518, Tuhfatul Ahwadzi).
At-Tirmidzi berkata, “Ini adalah hadits yang hasan lagi shahih.”
Ibnu katsir berkata, “Hadits ini dishahihkan oleh an-Nasa-i.” Tafsiir Ibni Katsir (III/369).
[5]. Lihat at-Tadzkirah, karya al-Qurthubi (hal. 706), dan Tafsiir al-Alusi (VIII/63).
[6]. Musnad Imam Ahmad (IX/17-18, no. 6160) tahqiq Ahmad Syakir, beliau berkata, “Sanadnya shahih.”
[7]. Tafsiir ath-Thabari (VII/146-147), dan at-Tadzkirah (hal. 706).
[8]. At-Tadzkirah (hal. 705-706).
[9]. Ath-Thabari (VIII/103).
Ibnu Hajar berkata, “Sanadnya shahih, hadits tersebut walaupun mauquf, namun hukumnya adalah hukum marfu’.” Fat-hul Baari (XI/355).
[10]. Tafsiir ath-Thabari (VIII/101).
Ibnu Hajar berkata, “Sanadnya jayyid,” Fat-hul Baari (XI/355).
[11]. Shahiih Muslim, kitab at-Taubah, bab Qabuulut Taubah minadz Dzunuub wa in Takarraratidz Dzunuub wat Taubah (XVII/76, Syarh an-Nawawi).
[12]. Fat-hul Baari (XI/354-355).
[13]. Fat-hul Baari (XI/354).
[14]. Fat-hul Baari (XIII/88), al-Hafizh menyebutkan bahwa hadits tersebut diriwayatkan oleh ath-Thabrani dan al-Hakim. Kami mencarinya di dalam kitab al-Mustadrak, karya al-Hakim, akan tetapi kami tidak mendapatkannya.

Bismillaahirrahmaanirrahiim Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga dicurahkan kepada Rasul termulia, juga kepada seluruh keluarga dan shahabatnya. Amma ba'du. Website almanhaj.or.id adalah sebuah media dakwah sangat ringkas dan sederhana, yang diupayakan untuk ikut serta dalam tasfiyah (membersihkan) umat dari syirik, bid'ah, serta gerakan pemikiran yang merusak ajaran Islam dan tarbiyah (mendidik) kaum muslimin berdasarkan ajaran Islam yang murni dan mengajak mereka kepada pola pikir ilmiah berdasarkan al-Qur'an dan as-Sunnah dengan pemahaman Salafush Shalih. Kebenaran dan kebaikan yang anda dapatkan dari website ini datangnya dari Allah Ta'ala, adapun yang berupa kesalahan datangnya dari syaithan, dan kami berlepas diri dari kesalahan tersebut ketika kami masih hidup ataupun ketika sudah mati. Semua tulisan atau kitab selain Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahihah dan maqbul, mempunyai celah untuk dikritik, disalahkan dan dibenarkan. Barangsiapa yang melihat adanya kesalahan hendaknya meluruskannya. Hati kami lapang dan telinga kami mendengar serta bersedia menerima. Semoga Allah menjadikan upaya ini sebagai amalan shalih yang bermanfaat pada hari yang tidak lagi bermanfaat harta dan anak-anak, melainkan orang yang menemui Rabb-nya dengan amalan shalih. Jazaakumullahu khairan almanhaj.or.id Abu Harits Abdillah - Redaktur Abu Khaulah al-Palimbani - Web Admin