Kategori Al-Masaa'il

Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu Khalifah IV

Rabu, 3 Februari 2010 15:36:06 WIB

Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu Khalifah IV


Pengantar
Makalah ini diterjemahkan dari syarah ringkas Aqidah Thahawiyah yang ditulis oleh Syeikh Muhammad al-Hamud, seri ke 81 tentang kekhalifahan Ali bin Abi Thalib z dalam majalah al-Furqan terbitan Kuwait edisi 120 Th.XII – Dzul Hijjah 1420 H/April 2000 M dengan judul “Fadhlu Amir al-Mu’minin Ali bin Abi Thalib Waliy al-Muttaqin wa Daafi’ al-Mariqin”. Diterjemahkan oleh Ahmas Faiz Asifuddin, dengan harapan agar kaum Muslimin semakin memahami dan menyintai para tokoh pendahulunya, termasuk Mu’awiyah bin Abi Sufyan c . Sehingga aqidah, ilmu, amaliyah, sikap dan ibadahnya kepada Allah menjadi lurus –bi taufiqillah-.

Tentang perkataan Imam Thahawi : (dalam kitabnya Aqidah Thahawiyah)

“Kemudian (kekhalifahan berlanjut) pada Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu “

Syarah :
Maksudnya, kita (harus) menetapkan kekhalifahan sesudah Utsman, pada Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu. (Yaitu) setelah Utsman Radhiyallahu 'anhu terbunuh dan orang-orang membaiat Ali. Maka jadilah Ali sebagai Imam yang haq (benar) dan wajib ditaati. Dialah khalifah pada zamannya yang masih disebut sebagai khilafah nubuwah, sebagaimana telah ditunjukkan oleh hadits Safinah Radhiyallahu 'anhu (nama sahabat) yang telah disebutkan sebelumnya (yakni pada pembahasan aqidah Thahawiyah sebelumnya dan tidak dimuat di majalah As-Sunnah-pen.), yaitu bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

خِلاَفَةُ النُّبُوَّةِ ثَلاَثُوْنَ سَنَةً، ثُمَّ يُؤْتِي اللهُ مُلْكَهُ مَنْ يَشَاء

Khilafah Nubuwah ada tigapuluh tahun, kemudian Allah akan memberikan kekuasaan-Nya kepada siapa saja yang Dia kehendaki. [Hadits Shahih, diriwayatkan oleh Ahmad V/220-221, Abu Dawud 4646-4647, Ibnu Abi Ashim 1181 & 1185, dan lain-lain – lihat majalah al-Furqan ed. 118 Th. XII Syawal 1420 H/Feb. 2000 M, tentang Syarh Aqidah Thahawiyah, catatan kaki no. 8. Syeikh al-Albani t juga menghasankannya dalam takhrij Syarh Aqidah Thahawiyah hal. 473, takhrij no. 683].

Masa kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq ada dua tahun tiga bulan, masa kekhalifahan Umar sepuluh tahun setengah, masa kekhalifahan Utsman duabelas tahun, masa kekhalifahan Ali empat tahun sembilan bulan, dan masa kekhalifahan Hasan bin Ali enam bulan.

Kemudian raja kaum Muslimin yang pertama adalah Mu’awiyah Radhiyallahu 'anhu , dialah raja kaum Muslimin yang terbaik. Tetapi beliau menjadi Imam hanya setelah Hasan bin Ali Radhiyallahu 'anhuma menyerahkan jabatan khalifah kepadanya. Sebab (sebelum itu) Hasan bin Ali Radhiyallahu 'anhuma telah dibaiat oleh penduduk Irak setelah kematian bapaknya. Selanjutnya setelah enam bulan, Hasan menyerahkan urusan kekhalifahan kepada Mu’awiyah Radhiyallahu 'anhu .

Dari situ tampaklah kebanaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika bersabda :

إِنَّ ابْنِي هَذَا سَيِّدٌ وَسَيُصْلِحُ اللهُ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ عَظِيْمَتَيْنِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ

Sesungguhnya anakku (baca: cucuku) ini adalah sayyid (orang terkemuka) dan dengannya Allah akan mendamaikan dua kelompok besar (yang saling berperang) di antara kaum Muslimin. (Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Bukkhari di beberapa tempat, diantaranya di dalam Kitab ash-Shulh V/307, dari hadits Abu Bakrah Radhiyallahu 'anhu ).

Kisah tentang hal ini sudah dikenal, tetapi tidak perlu diceritakan di sini. (Pada catatan kaki tulisan asli dikemukakan penjelasan berikut :

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan : “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memuji Hasan (bin Ali) disebabkan perdamaian yang terjadi karena tindakannya. Lantaran itu beliau n menyebutnya sebagai sayyid, sebab yang dilakukan Hasan dicintai dan diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya. Andaikata peperangan yang terjadi antar sesama kaum Muslimin merupakan hal yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, tentu tindakan Hasan tidak akan dipuji (oleh Rasulullah n ), bahkan bisa jadi Hasan telah meninggalkan kewajiban atau meninggalkan sesuatu yang lebih dicintai oleh Allah. Ini merupakan nash (dalil) shahih yang menjelaskan bahwa apa yang dilakukan oleh Hasan (bin Ali) adalah terpuji dan diridhai di sisi Allah dan rasul-Nya. Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah XXXV/70-71).

Jadi (sekali lagi-pen.) kekhalifahan tertetapkan bagi Amirul Mu’minin Ali bin Abi Thalib z sepeninggal Utsman z , dengan berbaiatnya semua sahabat kepadanya kecuali Mu’awiyah dan penduduk Syam.

Dalam hal ini yang benar adalah Ali z. Sebab ketika Utsman terbunuh, banyak kedustaan dan rekayasa yang dibuat berkaitan dengan Utsman dan para tokoh sahabat di Madinah seperti Ali, Thalhah dan Zubair. Sybhat (kerancuan) ini menjadi semakin besar (semakin) rancu bagi orang-orang yang tidak memahami kenyataan. Hawa nafsupun semakin kuat pada diri Ahlil Ahwa’ (para pengikut hawa nafsu) dan para oportunis yang tinggal jauh dari Syam. Sedangkan orang-orang yang cinta Utsman mempunyai prasangka buruk terhadap para tokoh sahabat. Kabar-kabar yang sampai kepada mereka tentang para tokoh sahabat ini sebagiannya merupakan kabar bohong, sebagiannya lagi sudah mengalami penambahan dan pengurangan, dan sebagiannya lagi tidak jelas sumbernya. Ditambah lagi dengan adanya hawa nafsu sekelompok orang yang menginginkan kekuasaan (kesewenang-wenangan) di muka bumi.

Sementara itu di tengah pasukan Ali z terdapat para pemberontak khawarij yang telah berhasil membunuh Utsman tersebut, namun yang tidak dapat diketahui orangnya, atau karena mendapat perlindungan dari kabilahnya, atau tidak dapat dibuktikan keterlibatannya, atau karena kemunafikan yang tersembunyi di hatinya tidak dapat terkuak secara jelas.

Karena itu Thalhah dan Zubair c berpandangan bahwa harus menuntut pembelaan terhadap kematian asy-Syahid (Utsman) yang teraniaya dan menumpas para pelaku kejahatan dan pelaku permusuhan. Jika tidak, dikhawatirkan akan mendatangkan kemurkaan Allah dan siksa-Nya. Maka terjadilah fitnah (tragedi) perang Jamal, tanpa kehendak dari Ali dan tidak pula dari Thalhah maupun Zubair g . Tetapi karena provokasi yang dilakukan oleh para perusak, tanpa sedikitpun kehendak dari para pendahulu umat Islam.

Sesudah itu muncul lagi fitnah (tragedi) perang Shifin, ketika Ali z dan para pengikutnya berpandangan bahwa penduduk Syam (juga) wajib taat dan berbaiat kepadanya, sebab kaum Muslimin tidak boleh memiliki (khalifah) kecuali satu khalifah saja. Dan bahwa mereka (penduduk Syam) telah keluar dari ketaatan kepadanya dan tidak mau melaksanakan kewajiban ini (kewajiban taat dan berbai’at kepada Ali-pen.), sedangkan mereka mempunyai kekuatan. (Maka) Ali z berpandangan untuk memerangi mereka sampai mereka melaksanakan kewajiban ini, sehingga tercapailah ketaatan dan jama’ah.
Dalam pada itu penduduk Syam menyatakan bahwa tidak wajib bagi mereka (untuk taat kepada Ali z ), dan jika mereka diperangi karena ini, berarti mereka menjadi orang yang dizalimi. Mereka mengatakan, bahwa berdasarkan kesepakatan kaum Muslimin, Utsman dibunuh secara teraniaya, sedangkan para pembunuhnya ada di tengah-tengah pasukan Ali z , padahal posisi para pembunuh ini menang karena mereka mempunyai kekuatan. Jika kami (penduduk Syam) diam saja terhadap mereka, maka mereka akan berbuat zalim dan akan berbuat melampaui batas kepada kami. Ali tidak mungkin dapat menghalangi mereka (para pembunuh Utsman-pen.) sebagaimana beliau juga tidak mampu mencegah terjadinya pembunuhan terhadap Utsman. Kami (penduduk Syam) hanya berkewajiban untuk berbaiat kepada khalifah yang mampu berbuat adil kepada kami dan mencurahkan sikap adilnya kepada kami.

Adapun Mu’awiyah z , beliau tidak mengklaim sebagai khalifah dan tidak dibaiat sebagai khalifah ketika memerangi Ali z . Beliau juga tidak memerangi Ali lantaran Ali sebagai Khalifah atau lantaran Ali dianggap tidak berhak menjadi khalifah.

Mereka (Mu’awiyah z dan penduduk Syam) mengakui bahwa kekhalifahan adalah haknya Ali. Mu’awiyah juga menegaskan pengakuannya terhadap kekhalifahan Ali jika ada orang bertanya kepadanya tentang itu. Mu’awiyah bersama sahabatnya tidak pernah mempunyai pandangan untuk memulai peperangannya terhadap Ali. (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah XXXV/72-73 dengan beberapa perubahan bahasa).

Sementara itu kebanyakan tokoh sahabat tidak ikut serta dalam peperangan (Shifin) itu, karena adanya nash-nash (dalil-dalil) yang mereka dengar yang memerintahkan supaya mereka tidak ikut terlibat apabila berada dalam fitnah. Juga karena apa yang mereka lihat bahwa dari fitnah, kerusakan akan semakin tumbuh subur mengalahkan kemaslahatan.

Yang jelas, terhadap semuanya harus diucapkan kata-kata yang baik (seperti mendoakan mereka semua dengan doa :)

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِاْلإِيمَانِ وَلاَتَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلاًّ لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ

Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyanyang". (Al- Hasyr:10)

Fitnah yang terjadi pada zaman Ali bin abi Thalib z adalah fitnah yang tangan-tangan kita telah dijaga oleh Allah darinya, (sehingga kita tidak terlibat di dalamnya dan tangan kita bersih daripadanya-pen.). Oleh karena itu kita (juga) memohon kepada Allah k –dengan karunia dan kebaikan-Nya- agar lidah kitapun kini dijaga dari (terlibat dalam) fitnah tersebut.

Selanjutnya, diantara keutamaan Amir al-Mu’minin Ali bin Abi Thalib z ialah :

 Hadits yang diriwayatkan oleh Sa’ad bin Abi Waqqash z.
Sa’ad berkata bahwa Rasulullah n bersabda kepada Ali :

أنْتَ مِنِّي بِمَنْزِلَةِ هَارُوْنَ مِنْ مُوْسَى ، إِلاَّ أَنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي

Engkau di hadapanku ibarat Harun di hadapan Musa, hanya saja tidak ada lagi nabi sesudahku. (Hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam Fadhail as-Shahabah V/71, juga dalam al-Maghazi VIII/112. Dan oleh Muslim dalam Fadhail as-Shahabah II/1870-1871; Lafal ini adalah lafal Muslim).

 Dari Sahl bin Sa’d z , ia mengatakan : Sesungguhnya pada hari perang Khaibar, Rasulullah n bersabda :

(لأُعْطِيَنَّ هَذِهِ الرَّايَةَ غَداً رَجُلاً يَفْتَحُ اللهُ عَلَى يَدَيْهِ يُحِبُّ اللهَ وَرَسُوْلَهُ، وَيُحِبُّهُ اللهُ وَرَسُوْلُهُ) قَالَ : فَبَاتَ النَّاسُ يَدُوْكُوْنَ لَيْلَتَهُمْ أَيُّهُمْ يُعْطَاهَا ؟ فَلَمَّا أَصْبَحَ النَّاسُ غَدَوْا عَلَى رَسُوْلِ اللهِ –صلى الله عليه وسلم- كُلُّهُمْ يَرْجُو أَنْ يُعْطَاهَا، فَقَالَ : (أَيْنَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ؟) فَقِيْلَ : هُوَ يَا رَسُوْلَ اللهِ يَشْتَكِي عَيْنَيْهِ، قَالَ : (فَأَرْسِلُوْا إِلَيْهِ) فَأُتِيَ بِهِ فَبَصَقَ فِي عَيْنَيْهِ وَدَعَا لَهُ فَبَرَأَ كَأَنْ لَمْ يَكُنْ ِبهِ وَجَعٌ، فَأَعْطَاهُ الرَّايَةَ

“Sesungguhnya aku akan memberikan bendera (komando) ini besok kepada seseorang yang melalui kedua tangannya Allah akan memberikan kemenangan. Ia menyintai Allah dan Rasul-Nya, dan Allah serta Rasul-Nyapun menyintainya” Sahl berkata : Maka orang-orangpun berjaga pada malam hari itu, membicarakan siapa yang (besok) akan diberi bendera. Ketika pagi hari tiba, maka mereka bersegera menuju Rasulullah n , masing-masing berharap akan diberi bendera. Maka Nabi bersabda : “Dimana Ali bin Abi Thalib?” Lalu dijawab : Dia sedang menderita sakit kedua matanya wahai Rasulullah. Beliau bersabda : “Utuslah, jemputlah ia”. Maka didatangkanlah Ali, lalu Nabi meludahi kedua matanya dan mendoakannya. Maka sembuhlah seakan-akan tidak pernah ada penderitaan pada Ali. Maka Nabipun memberikan bendera kepada Ali. (Dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam al-Jihad VI/144, Fadhail as-ShahabahVII/70, juga dalam al-Maghazi VII/476. Dan oleh Muslim dalam Fadhail as-Shahabah IV/1872 dari hadits Sahl z . Berkaitan dengan masalah ini, juga terdapat hadits dari Sa’ad bin Abi Waqqash, Abu Hurairah, dan Salamah bin al-Akwa’. Lihat sumber-sumber di atas).

Ketika ayat dibawah ini turun

فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَآءَنَا وَأَبْنَآءَكُمْ

Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu. (Ali Imran 61)
Maka Rasulullah n memanggil Ali, Fathimah, Hasan dan Husain, lalu beliau bersabda :

اَللَّهُمَّ هؤلآءِ أَهْلِي

Ya Allah, mereka adalah keluargaku. (Dikeluarkan oleh Muslim dalam Fadhail as-Shahabah IV/1871, dari hadits Sa’ad bin Abi Waqqash z.

 Dari Zir bin Hubaisy, ia mengatakan bahwa Ali bin Abi Thalib berkata :

وَاللهِ إِنَّ لَمِمَّا عَهِدَ إِلَيَّ النَّبِيُّ –صلي الله عليه وسلم- أَنَّهُ لاَ يُبْغِضُنِي إِلاَّ مُنَافِقٌ وَلاَ يُحِبُّنِي إِلاَّ مُؤْمِنٌ

Demi Allah, sesungguhnya diantara apa yang ditetapkan kepadaku oleh Nabi n , ialah bahwasanya tidak ada orang yang membenciku kecuali munafik, dan tidak ada yang menyintaiku kecuali mukmin. (Hadits shahih diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam al-Musnad I/84 dan di dalam Fadhail as-Shahabah 948 , 961, dan lain-lain).

Imam Thahawi t selanjutnya mengatakan :

“Mereka adalah al-Khulafa’ ar-Rasyidun dan para Imam yang mendapat petunjuk”:

Syarah:

Dalam sebuah hadits shahih yang terdapat dalam Kitab as- Sunan dan di shahihkan oleh at-Tirmidzi, dari Irbadh bin Sariyah z, ia mengatakan :

وَعَظَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا ْالقُلُوبُ فَقَالَ قائل: يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا فَقَالَ أُوصِيكُمْ بِتَقْوَىاللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْهِ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ مِنْ بَعْدي تَمَسَّكُوْا بِهَا وَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

Rasulullah n telah memberikan nasehat kepada kami dengan nasehat tandas yang menyebabkan air mata bercucuran dan hati tergetar karenanya. Maka ada seseorang bertanya : Wahai Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasehat perpisahan, karena itu apakah gerangan yang ingin anda pesankan kepada kami?. Maka beliau menjawab : “Aku wasiatkan kepada kalian untuk (senantiasa) taat dan mendengar (kepada pimpinan-pen.). Sesungguhnya barangsiapa yang hidup (berumur panjang) diantara kamu sepeninggalku, niscaya dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh sebab itu berpeganglah kalian semua pada sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rasyidun; orang-orang yang mendapat petunjuk, sesudahku. Berpeganglah terhadap sunnah itu dan gigitlah ia dengan gigi geraham. Dan hati-hatilah, jangan sekali-kali kalian mengada-adakan perkara-perkara baru karena setiap yang bid’ah adalah sesat”. (Hadits Shahih, dikeluarkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan at-Tirmidzi).

Urut-urutan keutamaan para Khulafa’ur Rasyidun g adalah seperti urut-urutan mereka dalam kekhalifahan. Abu Bakar dan Umar adalah dua orang yang jelas memiliki keutamaan lebih. Sebab Nabi n telah secara umum memerintahkan kita semua untuk mengikuti sunnah al-Khulafa’ ar-Rasyidun, tetapi tidak memerintahkan kepada kita untuk mengikuti jejak perbuatan-perbuatan mereka kecuali jejak Abu Bakar dan Umar. Dalam hal ini beliau n bersabda :

تَدُوْا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِي أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ

Ikutilah jejak kedua orang ini sepeninggalku; Abu Bakar dan Umar. (Hadits Shahih, diriwayatkan oleh Ahlus Sunan, lihat Takhrij Syeikh al-Albani dalam Syarh Aqidah Thahawiyah hal. 472 takhrij no 675-pen.)

Adalah berbeda antara mengikuti sunnah mereka (secara umum) dengan mengikuti jejak-jejak perbuatan mereka. Dengan demikian keadaan Abu Bakar dan Umar berada di atas keadaan Utsman dan Ali –Radhiyallahu ‘anhum ajma’in-.

(Berikutnya tentang Utsman dan Ali-pen.). Sesungguhnya telah diriwayatkan bahwa Abu Hanifah lebih mendahulukan keutamaan Ali daripada Utsman. Tetapi menurut zhahir madzhabnya, Utsman lebih di dahulukan keutamaannya daripada Ali. Inilah pula (mendahulukan keutamaan Utsman daripada Ali-pen.) yang menjadi madzhab umumnya Ahlu Sunnah.

Begitu juga perkataan Abdur Rahman bin Auf kepada Ali bin Abi Thalib c (pada kisah pembaiatan Utsman menjadi Khalifah sesudah Umar, lihat Syarh Aqidah Thahawiyah Takhrij Syeik al-Albani t hal 481-482-pen.) :

أَنِّي قَدْ نَظَرْتُ فِي أَمْرِ النَّاسِ، فَلَمْ أَرَهُمْ يَعْدلُوْنَ بِعُثْمَانَ

Sesungguhnya aku telah memperhatikan perkara manusia, dan aku lihat mereka tidak berpaling dari Utsman. (HR. Bukhari 7207).

(Perkataan Abdur Rahman bin Auf di atas menunjukkan bahwa para sahabat lebih mendahulukan keutamaan Utsman daripada Ali, mereka semua sepakat untuk membaiat Utsman. Maka pada lanjutan perkataan Abdur Rahman bin Auf mempertegas bahwa Alipun harus ikut berbaiat kepada Utsman. Wallahu a’lam Lihat kelengkapan hadits di atas-pen).

Ayub as-Sakhtiyani –seorang Imam, Tabi’i yang hafizh, tsiqah tsabat (istilah dalam Musthalah Hadits untuk memuji keadilan seorang rawi pada tataran paling tinggi- pen.)- mengatakan : Barangsiapa yang tidak mendahulukan keutamaan Utsman daripada Ali, maka ia telah menghinakan kaum Muhajirin dan Anshar.

Dari Ibnu Umar c , ia mengatakan : Kami (dahulu) membuat pernyataan ketika Rasulullah n masih hidup bahwa :

أَفْضَلُ أُمَّةِ النَّبِيِّ –صلي الله عليه وسلم- بَعْدَهُ : أَبُوْ بَكْرٍ ثُمَّ عُمَر ثُمَّ عُثْمَان

Umat Nabi n yang paling utama sepeninggal beliau adalah Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Utsman. (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Fadhail as-Shahabah VII/54 dan Ahmad II/14).

“Demikian urut-urutan keutamaan para Khulafa’ ar-Rasyidun; yaitu Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Utsman, kemudian Ali –radhiyallahu ‘anhum ajma’in-. Sementara itu, Mu’awiyah bin Abu Sufyan c adalah seorang sahabat mulia yang tidak pernah mengingkari kekhalifahan Ali bin Abi Thalib z . Beliau adalah penguasa kaum Mukminin yang terbaik sesudah masa Khilafah Nubuwwah. Dan seluruh kaum Muslimin tidak boleh mencela satupun sahabat Nabi n . Wa nas’alullaha at-Taufiq –pen.”

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun V/14218H/2001. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

Bismillaahirrahmaanirrahiim Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga dicurahkan kepada Rasul termulia, juga kepada seluruh keluarga dan shahabatnya. Amma ba'du. Website almanhaj.or.id adalah sebuah media dakwah sangat ringkas dan sederhana, yang diupayakan untuk ikut serta dalam tasfiyah (membersihkan) umat dari syirik, bid'ah, serta gerakan pemikiran yang merusak ajaran Islam dan tarbiyah (mendidik) kaum muslimin berdasarkan ajaran Islam yang murni dan mengajak mereka kepada pola pikir ilmiah berdasarkan al-Qur'an dan as-Sunnah dengan pemahaman Salafush Shalih. Kebenaran dan kebaikan yang anda dapatkan dari website ini datangnya dari Allah Ta'ala, adapun yang berupa kesalahan datangnya dari syaithan, dan kami berlepas diri dari kesalahan tersebut ketika kami masih hidup ataupun ketika sudah mati. Semua tulisan atau kitab selain Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahihah dan maqbul, mempunyai celah untuk dikritik, disalahkan dan dibenarkan. Barangsiapa yang melihat adanya kesalahan hendaknya meluruskannya. Hati kami lapang dan telinga kami mendengar serta bersedia menerima. Semoga Allah menjadikan upaya ini sebagai amalan shalih yang bermanfaat pada hari yang tidak lagi bermanfaat harta dan anak-anak, melainkan orang yang menemui Rabb-nya dengan amalan shalih. Jazaakumullahu khairan almanhaj.or.id Abu Harits Abdillah - Redaktur Abu Khaulah al-Palimbani - Web Admin