Kategori Fiqih : Puasa

Syi'ar-Syi'ar Ta'abbudiyyah Bulan Ramadhan : Lailatul Qadar, I'tikaf Sepuluh Hari Terakhir Ramadhan

Selasa, 15 September 2009 17:06:26 WIB

SYI'AR-SYI'AR TA'ABBUDIYYAH PADA BULAN RAMADHAN DAN PENGARUHNYA : LAILATUL QADAR, I'TIKAF PADA SEPULUH HARI TERAKHIR DARI BULAN RAMADHAN

Oleh
Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar


Pendahuluan
Iman itu bisa berkurang dan juga bisa bertambah. Dia akan bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Juga bisa bertambah dengan beristiqamah dan berkurang dengan penyimpangan.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (ba-lasan) ketakwaannya." [Muhammad: 17]

Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:

"Supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada) ...." [Al-Fat-h: 4]

Dengan demikian, puasa merupakan ibadah yang paling mulia sekaligus paling agung. Di mana setiap syi'ar yang ada padanya merupakan syi'ar ta'abbudiyyah yang disyari'atkan yang bisa menambah keimanan. Oleh karena itu, orang-orang shalih di setiap zaman dan tempat mengetahui bahwa pada bulan Ramadhan terdapat suatu makna yang tidak diketahui oleh orang lain. Sehingga dengan demikian, mereka memperoleh keberuntungan yang tidak diperoleh orang lain, di mana mereka berhasil menyucikan jiwa, menjernihkan diri serta membela kebenaran. Selain itu, hati mereka dipenuhi dengan cahaya, dan lisanul hal mereka mengatakan, "Ini adalah jalan menuju jihad di jalan Allah sekaligus penegakan kalimat-Nya."

Syaikh Abdullah bin Mahmud mengatakan, "....Bulan Ramadhan adalah bulan kesungguhan dan kegigihan sekaligus sebagai ladang bagi hamba-hamba-Nya. Juga sebagai sarana untuk menyucikan hati dari kerusakan, pembelengguan nafsu syahwat, kejahatan, dan kedurhakaan. Oleh karena itu, barangsiapa yang menanam kebaikan, maka akibat baiknya akan kembali kepadanya. Pada saat hari panen, pintu-pintu Surga akan dibuka untuknya dan di-tutup semua pintu Neraka. Yang demikian itu disebabkan oleh kesungguhan manusia dalam beribadah dan juga upaya mereka untuk berlomba-lomba dalam beramal shalih, di antaranya adalah memperbanyak shalat, membuka tangan mereka untuk bershadaqah, menyambung tali silaturahmi, berbuat baik kepada kaum fakir miskin dan anak-anak yatim juga orang-orang yang mem-butuhkan, serta memperbanyak do'a, istighfar, dan bacaan al-Qur-an..."

Pembahasan 2
LAILATUL QADAR

Malam ini termasuk salah satu keistimewaan yang dimiliki oleh umat Muhammad, yaitu malam kemuliaan dan penghormatan bagi umat yang agung lagi terpuji ini. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menyinggung tentang keutamaan umat ini dalam Kitab-Nya yang memberi penjelasan yang nyata, di mana Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah yang mengutus Rasul-Rasul. " [Ad-Dukhaan: 3-5]

Dia Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:

"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur-an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun Malaikat-Malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Rabb-nya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar." [Al-Qadr: 1-5]

Disebut lailatul qadar karena ia merupakan malam yang mulia lagi agung, yang padanya Allah menetapkan apa yang terjadi dalam satu tahun mengenai masalah-masalah yang bijak.

Para ulama menyebutkan beberapa keutamaan lailatul qadar, di antaranya adalah:
1. Bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menurunkan al-Qur-an pada malam itu.
2. Malam itu lebih baik dari seribu bulan.
3. Turunnya para Malaikat pada malam itu.
4. Banyaknya keselamatan pada malam itu dari adzab "Malam penuh keselamatan".
5. Mengenai keutamaannya, Allah Ta'ala menurunkan satu surat penuh yang dibaca hingga hari Kiamat.

Sudah pasti malam itu berlangsung pada bulan Ramadhan, pada sepuluh malam terakhir dari bulan tersebut, yakni pada hari-hari ganjil. Hal itu didasarkan pada apa yang diriwayatkan oleh Aisyah Radhiyallahu 'anha, di mana dia berkata: "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Carilah lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan..." [1]

Juga apa yang diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu 'anha :

"Carilah lailatul qadar pada tanggal ganjil dari sepuluh malam terakhir (dari bulan Ramadhan)." [2]

Disunnahkan padanya untuk melakukan qiyamul lail, banyak memanjatkan do'a, istighfar, dan shadaqah, karena lailatul qadar merupakan waktu yang sangat agung.

Hal tersebut telah ditunjukkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Barangsiapa mengerjakan qiyam (shalat Tahajjud) pada malam lailatul qadar dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala, maka akan diberikan ampunan atas dosanya yang telah lalu." [3]

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menyembunyikan ilmu tentangnya (waktu munculnya lailatul qadar) dari hamba-hamba-Nya sebagai rahmat bagi mereka untuk memperbanyak amalan mereka dan mencarinya pada malam-malam yang penuh kemuliaan itu dengan shalat, dzikir dan do'a. Sehingga dengan demikian, mereka akan bertambah dekat kepada Allah dan semakin banyak pula pahala yang didapat dari-Nya. Selain itu, Allah menyembunyikan pengetahuan tentang malam itu sebagai upaya untuk menguji mereka, sehingga dapat diketahui siapa yang bersungguh-sungguh dan gigih dalam mencarinya dan siapa pula yang malas lagi mengabaikannya. Sebab, orang yang ingin mendapatkan sesuatu maka dia akan bersungguh-sungguh dalam memperolehnya dan segala sesuatu terasa sangat ringan dalam merealisasikannya. Tetapi terkadang, Allah Subhanahu wa Ta'ala juga memperlihatkan malam itu kepada sebagian hamba-Nya dengan beberapa tanda yang dapat mereka ketahui, sebagaimana yang pernah disaksikan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersujud pada pagi harinya di air dan tanah liat. [4]

Pembahasan 3
I'TIKAF PADA SEPULUH HARI TERAKHIR DARI BULAN RAMADHAN

Sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan memiliki berbagai keutamaan besar dan keistimewaan yang sangat banyak, di antaranya bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada sepuluh hari itu menggiatkan ketaatan, suatu hal yang tidak beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam lakukan pada hari-hari lainnya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengencangkan ikatan kainnya untuk membangunkan keluarganya dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam biasa beri'tikaf pada hari-hari tersebut.

Hal itu telah ditunjukkan oleh apa yang diriwayatkan oleh Aisyah Radhiyallahu 'anha, ia berkata:

"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih giat (dalam beribadah) pada sepuluh hari terakhir ini yang tidak beliau lakukan pada hari-hari lainnya." [5]

Juga hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah Radhiyallahu 'anha :

"Jika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memasuki sepuluh hari terakhir, maka beliau mengencangkan ikatan kainnya, menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya...." [6]

Hadits lainnya yang juga diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu 'anha :

"Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkan beliau, kemudian isteri-isteri beliau (tetap) beri'tikaf sepeninggal beliau..." [7]

I'tikaf berarti tetap tinggal di dalam masjid untuk berkonsentrasi dalam beribadah kepada Allah. Allah Ta'ala berfirman:

" .... Dan janganlah kalian campuri mereka, sedang kalian beri'tikaf di dalam masjid...." [Al-Baqarah: 187]

Yang dimaksud dengan i'tikaf adalah berkonsentrasi penuh untuk beribadah kepada Allah serta melepaskan diri dari kesibukan hidup. Oleh karena itu, disunnahkan bagi orang yang beri'tikaf untuk menyibukkan diri dengan berdzikir kepada Allah, membaca al-Qur-an, shalat, serta mendalami ilmu. Tidak ada masalah dengan kunjungan keluarganya dan memperbincangkan hal-hal yang mengandung berbagai kemaslahatan di dunia dan akhirat.

Diharamkan bagi orang yang beri'tikaf untuk melakukan hubungan badan dan hal-hal yang mengarah kepadanya, baik itu berupa ciuman, ataupun sentuhan dengan syahwat. Hal itu sesuai dengan ayat di atas. Tidak dibolehkan pula baginya untuk keluar dari masjid, kecuali untuk keperluan yang sangat mendesak sekali, seperti wudhu', mandi, makan dan minum. Jika di dalam masjid terdapat tempat wudhu' dan mandi serta ada orang yang mengantarkan kepadanya makanan dan minuman, maka tidak dibolehkan baginya keluar dari masjid.

Tidak boleh keluar masjid untuk melakukan suatu ibadah yang tidak wajib baginya, misalnya mengantar jenazah, menjenguk orang sakit, dan lain-lain, kecuali jika hal itu memang dia syaratkan sebelum i'tikaf.

Adapun keluar masjid untuk keperluan selain itu, seperti jual beli dan duduk-duduk bersama keluarga adalah diharamkan (dapat membatalkan i'tikaf), baik hal itu disyaratkan maupun tidak.

Dibolehkan bagi orang yang beri'tikaf untuk mendirikan kemah (tempat khusus) di dalam masjid, jika di dalam masjid itu tidak terdapat bilik khusus. Sebagaimana dibolehkan baginya membawa tempat tidur dan pakaian serta berbagai hal yang dia butuhkan. Sebagaimana dia juga boleh beri'tikaf bersama keluarganya di dalam masjid. Bahkan, dibolehkan bagi seorang wanita untuk beri'tikaf seorang diri dengan syarat aman dari fitnah dan mengandung maslahat yang banyak. Namun, saya kira hal itu belum bisa terwujud pada zaman sekarang ini, kecuali yang dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata:

"Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam biasa beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkan beliau, dan setelah itu isteri-isteri beliau pun beri'tikaf sepeninggal beliau...." [8]

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, "... Kebaikan dan keteguhan hati tertambat pada jalan menuju agama Allah Subhanahu wa Ta'ala dan bergantung kepada penyatuan kepada ajaran Allah serta pengarahannya secara keseluruhan kepada-Nya.... Berlebih-lebihan dalam makan dan minum, menceburkan diri dalam dosa, serta ucapan yang sia-sia termasuk dari hal-hal yang dapat memotong perjalanannya menuju agama Allah serta melemahkannya, atau bahkan menghentikannya. Maka rahmat Allah Yang Mahamulia lagi Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya menuntut disyari'atkannya puasa bagi mereka yang dapat menghilangkan pengaruh buruk dari makanan dan minuman.... Dan disyari'atkan bagi mereka i'tikaf yang maksudnya adalah untuk mengkonsentrasikan hati serta memisahkan diri dari manusia...." [9]

[Disalin dari buku Meraih Puasa Sempurna, Diterjemahkan dari kitab Ash-Shiyaam, Ahkaam wa Aa-daab, karya Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar, Penerjemah Abdul Ghoffar EM, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
__________
Footnotes
[1]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/41) dan Shahiih Muslim (III/170))
[2]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/41) dan Shahiih Muslim (III/170))
[3]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari. (Shahiih al-Bukhari (III/40))
[4]. Majaalisu Syahri Ramadhaan (hal. 107). Dan ada beberapa orang peneliti yang telah melakukan kajian secara detail, di mana mereka menyebutkan lebih dari enam puluh pendapat mengenai malam lailatul qadar ini. Sebagian pendapat saat ditahqiq (diteliti), kembali lagi kepada sebagian lainnya. Tetapi yang rajih, wallaahu a'lam, adalah apa yang telah kami sebutkan di atas. Sebagai tambahan pengetahuan, lihat al-Haawii lil Fataawaa, karya as-Suyuthi (I/333). Dia mengungkapkan: "Mengenai lailatul qadar itu banyak pendapat yang telah saya hitung, terdapat kurang lebih lima puluh pendapat,"Wahai saudaraku, shalatlah.". Lihat kitab Suthuu'ul Badr bi Fadhaa-ili Lailatil Qadar karya Ibrahim al-Hazimi (hal. 69 dan setelahnya).
[5]. Diriwayatkan oleh Muslim. (Shahiih Muslim bi Syarh an-Nawawi (VIII/70))
[6]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/ 41) dan Shahiih Muslim bi Syarh an-Nawawi (VIII/70))
[7]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari. (Shahiih al-Bukhari (III/42))
[8]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari. (Shahiih al-Bukhari (III/42))
[9]. Zaadul Ma'aad (II/86-87).

Bismillaahirrahmaanirrahiim Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga dicurahkan kepada Rasul termulia, juga kepada seluruh keluarga dan shahabatnya. Amma ba'du. Website almanhaj.or.id adalah sebuah media dakwah sangat ringkas dan sederhana, yang diupayakan untuk ikut serta dalam tasfiyah (membersihkan) umat dari syirik, bid'ah, serta gerakan pemikiran yang merusak ajaran Islam dan tarbiyah (mendidik) kaum muslimin berdasarkan ajaran Islam yang murni dan mengajak mereka kepada pola pikir ilmiah berdasarkan al-Qur'an dan as-Sunnah dengan pemahaman Salafush Shalih. Kebenaran dan kebaikan yang anda dapatkan dari website ini datangnya dari Allah Ta'ala, adapun yang berupa kesalahan datangnya dari syaithan, dan kami berlepas diri dari kesalahan tersebut ketika kami masih hidup ataupun ketika sudah mati. Semua tulisan atau kitab selain Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahihah dan maqbul, mempunyai celah untuk dikritik, disalahkan dan dibenarkan. Barangsiapa yang melihat adanya kesalahan hendaknya meluruskannya. Hati kami lapang dan telinga kami mendengar serta bersedia menerima. Semoga Allah menjadikan upaya ini sebagai amalan shalih yang bermanfaat pada hari yang tidak lagi bermanfaat harta dan anak-anak, melainkan orang yang menemui Rabb-nya dengan amalan shalih. Jazaakumullahu khairan almanhaj.or.id Abu Harits Abdillah - Redaktur Abu Khaulah al-Palimbani - Web Admin