Kategori Fiqih : Puasa

Alasan Yang Membolehkan Seseorang Tidak Berpuasa : Musafir, Jarak Yang Membolehkan Tidak Berpuasa

Selasa, 1 September 2009 00:53:45 WIB

M U S A F I R

Oleh
Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar


Pengantar Tentang Beberapa Alasan Yang Membolehkan Seseorang Untuk Tidak Berpuasa

Puasa merupakan ibadah yang cukup berat, dalam menjalankannya membutuhkan ketegaran dan kesabaran. Sebagian orang tidak sanggup menjalankannya. Dan untuk menjalankan Sunnah Islam yang berdiri di atas kemudahan dan peniadaan kesulitan dari umat manusia, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan keringanan kepada sebagian hamba-Nya untuk meninggalkan puasa serta membolehkan mereka untuk tidak berpuasa sebagai bentuk kasih sayang yang Dia berikan kepada mereka sekaligus sebagai upaya memberikan keringanan kepada mereka.

Allah Ta'ala berfirman:

"Karena itu barangsiapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian." [Al-Baqarah: 185]

Allah Jalla wa Ala telah memberikan keringanan kepada orang yang sakit, orang yang sedang melakukan perjalanan (musafir), orang yang sudah tua, wanita haidh, wanita yang sedang nifas, wanita hamil, wanita menyusui, dan lain-lain. Mereka itulah orang-orang yang boleh untuk tidak berpuasa dengan sengaja pada siang hari di bulan Ramadhan. Bahkan di antara mereka ada yang harus berbuka dan diharamkan baginya berpuasa, seperti wanita yang sedang haidh dan wanita yang sedang menjalani masa nifas. Ditambah lagi dengan orang yang makan dan minum karena lupa pada saat sedang berpuasa dan juga yang lainnya. Hal tersebut akan kami jelaskan lebih lanjut pada pembahasan berikutnya, insya Allah.

Pembahasan 2
M U S A F I R

Dalam pembahasan ini terdapat lima bagian:
Bagian Pertama, dalil-dalil yang membolehkan seorang musafir untuk tidak berpuasa.
Bagian Kedua, beberapa jenis perjalanan yang membolehkan pelakunya tidak berpuasa.
Bagian Ketiga, jarak perjalanan yang membolehkan seseorang tidak berpuasa.
Bagian Keempat, manakah yang lebih utama, berpuasa atau tidak berpuasa ketika dalam perjalanan?
Bagian Kelima, berbuka puasa bagi orang yang berniat untuk bermukim di suatu negara.

Bagian Ketiga: Jarak Perjalanan yang Membolehkan Seseorang Tidak Berpuasa

Pembuat syari'at Yang Mahabijaksana telah menggantungkan qashar shalat dan pembolehan tidak berpuasa pada kemutlakan perjalanan tanpa batasan. Hanya saja ketika perjalanan itu menjadi tempat kesulitan, dan kesulitan itu tidak terjadi kecuali pada perjalanan yang panjang, maka para ulama rahimahullah telah berbeda pendapat mengenai batasan jarak perjalanan yang membolehkan tidak berpuasa.

Di antara mereka ada yang berpendapat, bahwa jarak perjalanan yang dibolehkan untuk tidak berpuasa adalah perjalanan selama dua hari penuh atau lebih, yang kira-kira setara dengan 80 kilometer (perjalanan zaman dahulu-ed.).

Ada juga yang berpendapat, bahwa jarak perjalanan yang membolehkan tidak berpuasa adalah perjalanan selama tiga hari.

Serta ada yang berpendapat bahwa jarak perjalanan yang membolehkan tidak berpuasa adalah satu hari saja.

Sedangkan ulama lainnya berpendapat bahwasanya tidak ada batasan dalam jarak perjalanan yang membolehkan untuk tidak berpuasa, tetapi yang disebut perjalanan adalah menurut kebiasaan (anggapan masyarakat), maka dibolehkan di dalamnya untuk tidak berpuasa.

Yang rajih (kuat) adalah pendapat pertama, karena jarak dua hari perjalanan membutuhkan persiapan tersendiri dan secara lahiriah mengandung kesulitan (menurut penulis-ed.).

Pendapat ini yang menjadi pedoman sejumlah Sahabat dan Tabi'in. Dan itu pula yang menjadi pendapat tiga Imam; Imam Malik, Imam asy-Syafi'i dan Imam Ahmad, rahimahullah

Di dalam kitab Majmuu' Fataawaa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, "....Adapun ukuran perjalanan yang membolehkan qashar shalat dan berbuka, maka menurut madzhab Malik, asy-Syafi'i, dan Ahmad bahwa ia sejarak perjalanan dua hari dengan menaiki unta dan dengan berjalan kaki sejauh 16 farsakh [7], sebagaimana jarak antara Makkah dan 'Asfan atau Makkah dan jarak antara Jeddah. Abu Hanifah mengatakan, 'Perjalanan tiga hari.' Sedangkan sekelompok ulama Salaf dan Khalaf mengatakan, 'Bahkan orang yang melakukan perjalanan kurang dari dua hari boleh mengqashar dan tidak berpuasa. Dan inilah pendapat yang kuat.'" [8]

Bagian Keempat: Manakah yang Lebih Utama, Berpuasa atau Tidak Berpuasa Ketika dalam Perjalanan?

Yang terbaik bagi seorang musafir adalah mengerjakan yang paling mudah, berpuasa atau tidak berpuasa. Jika kedua-duanya dalam posisi yang sama, maka berpuasa adalah lebih baik, dengan beberapa alasan:

Pertama, karena ia lebih cepat untuk melepaskan diri dari kewajiban.
Kedua, akan lebih semangat baginya jika dia berpuasa bersama orang lain.
Ketiga, mengetahui keutamaan waktu.
Keempat, karena hal ini pernah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Hal tersebut telah ditunjukkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Abud Darda' Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, "Kami pernah pergi bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam beberapa perjalanan beliau pada hari yang panas sehingga beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam meletakkan tangannya di atas kepalanya karena panas yang sangat terik. Tidak ada di antara kami yang berpuasa, kecuali Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam dan Ibnu Rawahah..." [9]

Dan jika seorang musafir merasa kesulitan untuk menjalankan puasa, maka dia boleh tidak berpuasa dalam perjalanan.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah tidak berpuasa ketika diberitahu bahwa para Sahabat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam merasa keberatan untuk menjalankan puasa.

Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah pergi ke Makkah di tahun pembebasan kota Makkah pada bulan Ramadhan, di mana beliau berpuasa hingga ketika sampai di daerah Kira'al Ghamim, maka orang-orang pun berpuasa. Kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam meminta dibawakan satu wadah air dan kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkatnya sehingga orang-orang melihatnya. Selanjutnya beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam meminumnya dan setelah itu ditanyakan kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. "Sesungguhnya sebagian orang-orang tetap berpuasa." Maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Mereka adalah pelaku kemaksiatan, mereka adalah pelaku kemaksiatan." [10]

Dan dalam sebuah riwayat disebutkan: "Lalu dikatakan kepada beliau, sesungguhnya orang-orang telah keberatan menjalankan puasa. Dan orang-orang itu menunggu apa yang akan engkau kerjakan. Lalu beliau meminta dibawakan sewadah air setelah shalat Ashar." [11]

Dan jika seorang musafir telah tiba di negerinya di akhir puasa dalam keadaan tidak berpuasa, maka puasanya pada hari itu tidak sah, karena ia dalam keadaan tidak berpuasa sejak awal siang, sedangkan puasa yang wajib itu tidak sah dikerjakan, kecuali sejak fajar kedua terbit. Tetapi, apakah dia harus menahan diri selama waktu yang tersisa pada hari itu? Para ulama berbeda pendapat mengenai hal tersebut. Sebagian di antara mereka mengatakan, dia harus menahan diri selama waktu yang tersisa pada hari itu untuk menghormati waktu dan dia juga harus mengqadha' puasa, karena puasanya pada hari itu tidak sah. Sebagian ulama lainnya mengatakan, "Tidak ada kewajiban baginya untuk menahan diri selama waktu yang tersisa pada hari itu, karena dia tidak memperoleh manfaat apa pun dari menahan diri pada waktu itu, karena kewajiban baginya hanyalah mengqadha'. Dan penghormatan terhadap waktu baginya telah hilang dengan dibolehkannya dia untuk tidak berpuasa sejak awal siang secara lahir maupun bathin.[12]

Inilah pendapat yang rajih, insya Allah. Tetapi makan dan minum yang dia lakukan tidak boleh diperlihatkan, karena alasan tidak berpuasanya itu tidak diketahui orang banyak sehingga dapat menimbulkan suuzhan (prasangka buruk) terhadap dirinya atau tindakannya itu akan diikuti oleh orang lain, khususnya orang-orang bodoh dan orang-orang yang memiliki kepribadian lemah.

Bagian Kelima: Berbuka Puasa Bagi Orang Yang Berniat Untuk Bermukim Di Suatu Negeri

Para ulama telah berbeda pendapat mengenai masalah ini dengan perbedaan yang luas. Pendapat yang shahih adalah jika seseorang telah berniat untuk bermukim lebih dari empat hari maka dia harus berpuasa dan menyempurnakan shalat seperti para pemukim lainnya, karena terputusnya hukum-hukum safar pada dirinya, baik tinggalnya itu untuk belajar, berdagang atau aktivitas lainnya yang dibolehkan agama. Dan jika dia berniat untuk bermukim empat hari atau kurang dari itu atau dia bermukim untuk menunaikan suatu hal yang dia tidak mengetahui kapan selesainya, maka dia boleh tidak berpuasa, karena tidak terputusnya hukum safar pada dirinya. [13]

[Disalin dari buku Meraih Puasa Sempurna, Diterjemahkan dari kitab Ash-Shiyaam, Ahkaam wa Aa-daab, karya Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar, Penerjemah Abdul Ghoffar EM, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
__________
Footnotes
[7]. 1 farsakh sama dengan 3 mil dan 1 mil kira-kira sama dengan 1609 m.
16x3=48, 48x1609=77232, yakni lebih dari 77 km, sehingga kita genapkan menjadi 80 km.
[8]. Majmuu’ Fataawaa Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah (XXV/212). Dan perlu dicatat bahwa Syaikhul Islam kembali kepada pendapat terakhir yang tidak membatasi jarak, tetapi mengikatnya dengan kebiasaan atau anggapan yang berlaku (inilah sebenarnya pendapat terkuat dari seluruh pendapat yang ada-ed.).
[9]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/30) dan Shahiih Muslim (III/145))
[10]. Shahiih Muslim (no. 1114 (90)).-Pen.
[11]. Diriwayatkan oleh Muslim. (Shahiih Muslim bi Syarh an-Nawawi (VII/232))
[12]. Al-Mabsuuth, karya as-Sarkhasi (III/58).
[13]. Lihat Badaa-i'ush Shanaa-i' (I/97), Bidaayatul Mujtahid (I/287), Majmuu' Fataawaa (VI/263), Mughni al-Muhtaaj (I/437), ar-Raudhul Murabbi' (III/372).

Bismillaahirrahmaanirrahiim Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga dicurahkan kepada Rasul termulia, juga kepada seluruh keluarga dan shahabatnya. Amma ba'du. Website almanhaj.or.id adalah sebuah media dakwah sangat ringkas dan sederhana, yang diupayakan untuk ikut serta dalam tasfiyah (membersihkan) umat dari syirik, bid'ah, serta gerakan pemikiran yang merusak ajaran Islam dan tarbiyah (mendidik) kaum muslimin berdasarkan ajaran Islam yang murni dan mengajak mereka kepada pola pikir ilmiah berdasarkan al-Qur'an dan as-Sunnah dengan pemahaman Salafush Shalih. Kebenaran dan kebaikan yang anda dapatkan dari website ini datangnya dari Allah Ta'ala, adapun yang berupa kesalahan datangnya dari syaithan, dan kami berlepas diri dari kesalahan tersebut ketika kami masih hidup ataupun ketika sudah mati. Semua tulisan atau kitab selain Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahihah dan maqbul, mempunyai celah untuk dikritik, disalahkan dan dibenarkan. Barangsiapa yang melihat adanya kesalahan hendaknya meluruskannya. Hati kami lapang dan telinga kami mendengar serta bersedia menerima. Semoga Allah menjadikan upaya ini sebagai amalan shalih yang bermanfaat pada hari yang tidak lagi bermanfaat harta dan anak-anak, melainkan orang yang menemui Rabb-nya dengan amalan shalih. Jazaakumullahu khairan almanhaj.or.id Abu Harits Abdillah - Redaktur Abu Khaulah al-Palimbani - Web Admin