Kategori Fiqih : Puasa

Alasan Yang Membolehkan Seseorang Tidak Berpuasa : Musafir, Dalil-Dalil Membolehkan Tidak Berpuasa

Senin, 31 Agustus 2009 23:27:43 WIB

M U S A F I R

Oleh
Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar


Pengantar Tentang Beberapa Alasan Yang Membolehkan Seseorang Untuk Tidak Berpuasa

Puasa merupakan ibadah yang cukup berat, dalam menjalankannya membutuhkan ketegaran dan kesabaran. Sebagian orang tidak sanggup menjalankannya. Dan untuk menjalankan Sunnah Islam yang berdiri di atas kemudahan dan peniadaan kesulitan dari umat manusia, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan keringanan kepada sebagian hamba-Nya untuk meninggalkan puasa serta membolehkan mereka untuk tidak berpuasa sebagai bentuk kasih sayang yang Dia berikan kepada mereka sekaligus sebagai upaya memberikan keringanan kepada mereka.

Allah Ta'ala berfirman:

"Karena itu barangsiapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian." [Al-Baqarah: 185]

Allah Jalla wa Ala telah memberikan keringanan kepada orang yang sakit, orang yang sedang melakukan perjalanan (musafir), orang yang sudah tua, wanita haidh, wanita yang sedang nifas, wanita hamil, wanita menyusui, dan lain-lain. Mereka itulah orang-orang yang boleh untuk tidak berpuasa dengan sengaja pada siang hari di bulan Ramadhan. Bahkan di antara mereka ada yang harus berbuka dan diharamkan baginya berpuasa, seperti wanita yang sedang haidh dan wanita yang sedang menjalani masa nifas. Ditambah lagi dengan orang yang makan dan minum karena lupa pada saat sedang berpuasa dan juga yang lainnya. Hal tersebut akan kami jelaskan lebih lanjut pada pembahasan berikutnya, insya Allah.

Pembahasan 2
M U S A F I R

Dalam pembahasan ini terdapat lima bagian:
Bagian Pertama, dalil-dalil yang membolehkan seorang musafir untuk tidak berpuasa.
Bagian Kedua, beberapa jenis perjalanan yang membolehkan pelakunya tidak berpuasa.
Bagian Ketiga, jarak perjalanan yang membolehkan seseorang tidak berpuasa.
Bagian Keempat, manakah yang lebih utama, berpuasa atau tidak berpuasa ketika dalam perjalanan?
Bagian Kelima, berbuka puasa bagi orang yang berniat untuk bermukim di suatu negara.

Bagian Pertama: Dalil-Dalil yang Membolehkan Seorang Musafir Untuk Tidak Berpuasa
Dibolehkan untuk tidak berpuasa bagi seorang musafir yang melakukan perjalanan pada bulan Ramadhan. Hal tersebut didasarkan pada dalil al-Qur-an, as-Sunnah, ijma' dan juga logika.

Dalil-dalil dari al-Qur-an adalah:

1. Firman Allah Ta'ala:
"Maka, jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain." [Al-Baqarah: 184]

2. Firman Allah Ta'ala:
"Karena itu barangsiapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian." [Al-Baqarah: 185]

Demikianlah nash sharih (jelas) yang membolehkan seorang musafir tidak berpuasa, tetapi dia tetap berkewajiban untuk mengqadha' puasa sesuai dengan hari-hari yang ditinggalkannya itu. Dan pada ayat-ayat di atas terdapat penjelasan mengenai sebab tidak berpuasa, yaitu pemberian keringanan dan kemudahan kepada kaum muslimin.

Sedangkan dalil-dalil dari as-Sunnah adalah:

1. Hadits yang diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu 'anha, isteri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwasanya Hamzah bin Amr al-Aslami pernah berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, "Apakah aku boleh berpuasa dalam perjalanan -ia termasuk orang yang banyak berpuasa-?" Maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab.

"Jika mau, berpuasalah dan jika mau, kamu boleh tidak berpuasa..."[1]

2. Hadits yang diriwayatkan dari Abud Darda Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, "Kami pernah pergi bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada beberapa perjalanan (yang ditempuhnya) pada hari yang panas sehingga beliau meletakkan tangannya di atas kepalanya karena panas matahari yang sangat terik. Tidak ada di antara kami yang berpuasa, kecuali Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan Ibnu Rawahah..." [2]

3. Hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, "Dalam suatu perjalanan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melihat kerumunan orang dan seorang yang berteduh di bawahnya, maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Mengapa orang ini?' Mereka menjawab, 'Dia sedang berpuasa.' Maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab.

'Bukanlah termasuk kebajikan jika berpuasa dalam per-jalanan.'" [3]

Hadits-hadits di atas merupakan dalil paling nyata yang membolehkan seorang musafir untuk tidak berpuasa secara umum, meskipun terdapat perbedaan di kalangan ulama mengenai, mana yang lebih baik bagi seorang musafir, berbuka atau berpuasa?

Dan dalil dari Ijma' adalah sebagai berikut:

Kaum muslimin telah sepakat membolehkan berbuka (tidak berpuasa) bagi seorang musafir secara umum.

Di dalam kitab al-Majmuu', Imam an-Nawawi mengatakan, "....Jika perjalanannya itu jauh di atas jarak yang membolehkan qashar shalat, sedang perjalanannya itu bukan untuk maksiat, maka menurut ijma', dia boleh tidak berpuasa pada bulan Ramadhan yang disertai dalil al-Qur-an dan as-Sunnah..." [4]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, "Dibolehkan bagi seorang musafir untuk tidak berpuasa, menurut kesepakatan umat, baik dia dalam keadaan mampu mengerjakan puasa maupun tidak, baik dia merasa keberatan untuk menjalankannya maupun tidak."

Adapun dalil secara logika adalah:

Dibolehkannya tidak berpuasa dalam perjalanan, karena perjalanan menjadi aktivitas yang banyak menghadapi kesulitan, sehingga diberikan keringanan kepada kaum muslimin dalam rangka menghilangkan kesulitan dan kesusahan tersebut.

Mahabenar Allah Yang Mahaagung atas firman-Nya:

"Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian." [Al-Baqarah: 185]

Bagian Kedua: Beberapa Jenis Perjalanan yang Membolehkan Pelakunya Tidak Berpuasa

Dalam syarat perjalanan seseorang, tidak boleh bertujuan untuk menyiasati agar boleh tidak berpuasa. Jika dimaksudkan untuk itu, maka diharamkan baginya untuk tidak berpuasa, dan pada saat itu, hukum puasa baginya adalah wajib.

Para ahli fiqih rahimahullah telah bersepakat membolehkan berbuka dalam perjalanan yang hukumnya wajib, misalnya perjalanan jihad, haji dan umrah, sebagaimana yang menjadi pendapat Jumhur Ulama yang membolehkan tidak berpuasa dalam perjalanan yang hukumnya sunnat dan mubah, sebab keduanya berdekatan dengan wajib, karena adanya ketetapan tidak berpuasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada saat pulang dari perjalanan wajib dan kepulangan tersebut merupakan suatu hal yang mubah. Sedangkan perjalanan sunnat adalah perjalanan dalam rangka ketaatan kepada Allah.

Adapun perjalanan untuk kemaksiatan, maka (pendapat) para ulama terbagi dua, yang paling mendekati kebenaran adalah yang mengharamkan berbuka. Contoh dari perjalanan itu adalah perjalanan menuju ke negeri kafir untuk mencari tempat-tempat prostitusi, obat-obatan terlarang, kejahatan, penjegalan, pencurian, dan orang yang sejalan dengan mereka yang berusaha menyebarkan kerusakan di muka bumi, serta mengganggu kehormatan dan harta orang-orang mukmin. [6]

[Disalin dari buku Meraih Puasa Sempurna, Diterjemahkan dari kitab Ash-Shiyaam, Ahkaam wa Aa-daab, karya Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar, Penerjemah Abdul Ghoffar EM, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
__________
Footnotes
[1]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/30) dan Shahiih Muslim (III/144))
[2]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/30) dan Shahiih Muslim (III/145))
[3]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/31) dan Shahiih Muslim (III/142))
[4]. Al-Majmuu' oleh an-Nawawi (VI/261). Lihat kitab Badaa-i'ush Shanaa-i' (I/93), Bidaayatul Mujtahid (I/3850) dan kitab al-Mughni (IV/406).
[5]. Majmuu' Fataawaa Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah (XXV/210).
[6]. Lihat kitab Badaa-i'ush Shanaa-i (I/93), Bidaayatul Mujtahid (I/285), al-Majmuu' (VI/261), serta al-Mughni (IV/406).

Bismillaahirrahmaanirrahiim Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga dicurahkan kepada Rasul termulia, juga kepada seluruh keluarga dan shahabatnya. Amma ba'du. Website almanhaj.or.id adalah sebuah media dakwah sangat ringkas dan sederhana, yang diupayakan untuk ikut serta dalam tasfiyah (membersihkan) umat dari syirik, bid'ah, serta gerakan pemikiran yang merusak ajaran Islam dan tarbiyah (mendidik) kaum muslimin berdasarkan ajaran Islam yang murni dan mengajak mereka kepada pola pikir ilmiah berdasarkan al-Qur'an dan as-Sunnah dengan pemahaman Salafush Shalih. Kebenaran dan kebaikan yang anda dapatkan dari website ini datangnya dari Allah Ta'ala, adapun yang berupa kesalahan datangnya dari syaithan, dan kami berlepas diri dari kesalahan tersebut ketika kami masih hidup ataupun ketika sudah mati. Semua tulisan atau kitab selain Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahihah dan maqbul, mempunyai celah untuk dikritik, disalahkan dan dibenarkan. Barangsiapa yang melihat adanya kesalahan hendaknya meluruskannya. Hati kami lapang dan telinga kami mendengar serta bersedia menerima. Semoga Allah menjadikan upaya ini sebagai amalan shalih yang bermanfaat pada hari yang tidak lagi bermanfaat harta dan anak-anak, melainkan orang yang menemui Rabb-nya dengan amalan shalih. Jazaakumullahu khairan almanhaj.or.id Abu Harits Abdillah - Redaktur Abu Khaulah al-Palimbani - Web Admin