Kategori Fiqih : Shalat

Shaf Di Antara Tiang, Keraskah Bacaan Basmalah, Dzikir Berjama'ah Setelah Shalat

Selasa, 6 Februari 2007 02:45:14 WIB

SHAF DI ANTARA TIANG


Pertanyaan.
Ana ingin menanyakan hukum tentang shaf shalat di antara dua tiang. Mohon penjelasannya. Jazakumullah.
0812496xxxx

Jawaban.
Makmum dilarang membuat shaf (barisan) di dalam shalat jama’ah di antara dua tiang. Larangan ini ditunjukkan oleh hadits di bawah ini :

عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ قُرَّةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كُنَّا نُنْهَى أَنْ نَصُفَّ بَيْنَ السَّوَارِي عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنُطْرَدُ عَنْهَا طَرْدًا

"Dari Mu’awiyah bin QurrAh, dari bapaknya, dia berkata: “Kami dahulu, pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dilarang membuat shaf di antara tiang-tiang, dan kami dijauhkan dari tiang-tiang itu”.[1]

Para sahabat nabi Radhiyallahu 'anhum juga mentaati hal ini, sebagaimana disebutkan dalam riwayat :

عَنْ عَبْدِ الْحَمِيدِ بْنِ مَحْمُودٍ قَالَ كُنَّا مَعَ أَنَسٍ فَصَلَّيْنَا مَعَ أَمِيرٍ مِنْ الْأُمَرَاءِ فَدَفَعُونَا حَتَّى قُمْنَا وَصَلَّيْنَا بَيْنَ السَّارِيَتَيْنِ فَجَعَلَ أَنَسٌ يَتَأَخَّرُ وَقَالَ قَدْ كُنَّا نَتَّقِي هَذَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

"Dari Abdul Hamid bin Mahmud, dia berkata: “Kami dahulu bersama Anas bin Malik, lalu kami melakukan shalat di belakang seorang gubernur. Lalu mereka (makum) mendorong kami sehingga kami berdiri dan shalat di antara dua tiang. Maka Anas mulai mundur dan mengatakan (yakni setelah selesai shalat, Red),‘Kami dahulu pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjahui ini (yakni shalat di antara dua tiang)". [2]

Setelah membawakan hadits ini Imam Tirmidzi rahimahullah berkata : “Sebagian kalangan ulama membenci dibuatnya shaf di antara tiang-tiang. Ini merupakan pendapat Imam Ahmad dan Ishaq. Namun sebagian ulama memberikan keringanan tentang hal itu”. [Sunan Tirmidzi, hadits no. 229].

Yang kuat adalah pendapat pertama berdasarkan dalil-dalil di atas. Adapun jika terpaksa, seperti karena sempitnya tempat, maka tidak mengapa. Demikian juga imam atau orang yang shalat sendirian, ia boleh shalat di antara dua tiang. Karena hikmah larangan itu adalah agar tidak memutuskan shaf. Wallahu a’lam.

Imam Abu Dawud rahimahullah berkata: “Aku mendengar (Imam) Ahmad ditanya tentang shalat di antara tiang-tiang, beliau menjawab,’Sesungguhnya dibencinya itu karena memutuskan shaf. Jika shaf jauh di antara dua tiang, maka berharap (tidak mengapa, Red)’.” [3]

Ketika menjelaskan tempat-tempat yang dilarang untuk melakukan shalat padanya, Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani raimahullah berkata: “Tempat antara tiang-tiang, para makmum membuat shaf padanya”. [Tsamar Mustathab, hlm. 409]
________
Footnote
[1]. HR Ibnu Majah, no. 1002; Ibnu Khuzaimah, no. 1567; Ibnu Hibban, no. 2219; al Hakim 1/218. Dihasankan oleh Syaikh al Albani di dalam Tsamar Mustathab, hlm. 410; Silsilah ash Shahihah, no. 335; dan lain-lain.
[2]. HR Abu Dawud, no. 673; Tirmidzi, no. 229; Ahmad 3/131; al Hakim 1/210, 218; an Nasa-i 2/93, dan ini lafazh Imam Nasa-i. Dishahihkan oleh Syaikh al Albani di dalam Tsamar Mustathab, hlm. 410; juga sebelumnya oleh al Hafizh Ibnu Hajar di dalam Fathul Bari 1/458.
[3]. Masail Abu Dawud, hlm. 47, dinukil dari Tsamar Mustathab, hlm. 413.

KERASKAH BACAAN BASMALAH?

Pertanyaan.
Mohon dibahas tentang lafazh “bismillahirahmanirrahim” pada surat al Fatihah dan surat lainnya. Dibaca keras ataukah pelan?
08132907xxxx

Jawaban.
Para ulama berselisih pendapat tentang basmallah pada awal surat-surat di dalam al Qur`an, apakah termasuk al Qur`an dan termasuk surat itu, ataukah tidak?

Yang rajih (lebih kuat) –wallahu a’lam- bahwa basmallah pada awal semua surat di dalam al Qur`an termasuk ayat al Qur`an, karena telah ditetapkan dan ditulis di dalam mushhaf. Dan umat juga telah Ijma’, bahwa semua yang ditulis para sahabat di antara dua sampul mushhaf itu adalah al Qur`an.[1]

Dan yang rajih juga, bahwa basmalah di awal surat itu tidak termasuk bagian dari surat tersebut, termasuk surat al Fatihah. Sehingga ayat pertama dalam surat al Fatihah [2] adalah الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ, sedangkan ayat keenam adalah صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ, dan ayat ketujuh adalah غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَالضَّآلِّينَ .

Para ulama juga berselisih, apakah imam mengeraskan basmallah ketika dalam shalat jahriyah? Dalam permasalahan ini terdapat dua pendapat.[3] Pertama, disunnahkan dibaca pelan. Ini merupakan pendapat Khulafaur Rasyidin: Abu Bakar, Umar, ‘Utsman, Ali, dan sahabat Ibnu Mas’ud, Ibnu Zubair, dan ‘Ammar Radhiyallahu 'anhum. Juga pendapat al Auza’i, Sufyan ats Tsauri, Ibnul Mubarak, Hanabilah dan Ash-habur Ra’yi. Ini adalah pendapat jumhur ulama. Begitu pula dengan Syaikuhl Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, beliau rahimahullah memilih pendapat ini. Kedua, disunnahkan dibaca keras. Pendapat ini masyhur sebagai pendapat Imam Syafi’i.

Yang rajih adalah pendapat pertama, karena dalil-dalilnya shahih dan tegas. Adapun pendapat kedua, sebagian dalilnya dha’if, sedangkan yang shahih tidak sharih (tegas) menunjukkan pendapat tersebut.

Berikut ini di antara dalil pendapat pertama.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ (وَعُثْمَانُ) رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا كَانُوا يَفْتَتِحُونَ الصَّلَاةَ بِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

"Dari Anas bin Malik, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan Umar, (dan ‘Utsman), mereka semua membuka shalat dengan الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ . [HR Bukhari, no. 743; Muslim, no. 399; tambahan “dan Utsman” pada riwayat Tirmidzi, no. 246]

Setelah meriwayatkan hadits ini, Imam Tirmidzi rahimahullah mengatakan: “Amalan ini dilakukan oleh para sahabat nabi Radhiyallahu 'anhum, dan para tabi’in setelah mereka. Mereka membuka bacaan dengan الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. Tetapi (Imam) Syafi’i berkata,’Makna hadits ini adalah, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar, dan ‘Utsman, mereka semua membuka bacaan (shalat) dengan membaca al Fatihah sebelum surat. Dan maknanya, bukanlah mereka tidak membaca بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. (Imam) Syafi’i berpendapat, (imam) memulai dengan بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ dan mengeraskannya, jika dia mengeraskan bacaan’.” [Sunan Tirmidzi, no. 246].

Akan tetapi, pendapat Imam Syafi’i rahimahullah ini terbantah dengan riwayat lain, yang menegaskan bahwa mereka itu benar-benar memulai bacaan dengan hamdallah, dan tidak dengan basmalah. Yaitu tambahan yang ada pada riwayat Imam Muslim:

لَا يَذْكُرُونَ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ فِي أَوَّلِ قِرَاءَةٍ وَلَا فِي آخِرِهَا

"Dan mereka tidak menyebutkan pada awal bacaan (al Fatihah, Red), dan tidak pula pada akhir bacaan (al Fatihah, yaitu awal surat setelahnya, Red)". [HR Muslim, no. 399].

Juga pada riwayat yang lain, lebih tegas lagi disebutkan :

عَنْ أَنَسٍ قَالَ صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ فَلَمْ أَسْمَعْ أَحَدًا مِنْهُمْ يَقْرَأُ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

"Dari Anas bin Malik, dia berkata: “Aku shalat bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan bersama Abu Bakar, Umar, ‘Utsman. Aku tidak mendengar seorangpun dari mereka membacaبِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ .” [HR Muslim, no. 399].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, setelah menjelaskan masalah ini secara panjang lebar, dan memilih bahwa menurut Sunnah adalah membaca basmalah dengan pelan, beliau rahimahullah berkata: “Bersamaan dengan ini, maka yang benar (bacaan) yang tidak dikeraskan. Terkadang disyari’atkan untuk dikeraskan, karena mashlahat yang lebih kuat. Maka terkadang disyari’atkan bagi imam (mengeraskannya, Red) sebagai misal untuk pengajaran kepada makmum. Dan terkadang makmum boleh mengeraskan dengan sedikit kalimat. Seseorang juga boleh meninggalkan sesuatu yang lebih utama untuk merekatkan hati-hati (manusia) dan menyatukan kalimat, karena takut menjauhnya (manusia) dari hal yang baik”. [Majmu’ Fatawa, 22/436].

Perlu juga kita pahami, adanya perselisihan dalam masalah ini tidak boleh dibesar-besarkan, yang kemudian dapat menjadi sebab kebencian dan perpecahan umat. Wallahu a’lam.
_______
Footnote
[1]. Lihat Majmu’ Fatawa Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah 22/434; Syarh Aqidah Wasithiyah, karya Syaikh Khalil Harras.
[2]. Lihat Tafsir Juz ‘Amma, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin, hlm. 10-11, penjelasan tentang apakah basmalah termasuk surat al Fatihah.
[3]. Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 1/541-544, karya Abu Malik Kamal bin as Sayid Salim.

DZIKIR BERJAMA’AH SETELAH SHALAT

Pertanyaan.
Apakah hukum dzikir bersama (jama'i) setelah shalat fardhu? Dan apakah ada bid'ah hasanah?
Ibnu Anas, Dumai,
08137153xxxx

Jawaban.
Dzikir jama’i (bersama-sama) dengan suara keras setelah shalat fardhu merupakan perbuatan bid’ah izhafiyyah. Yaitu bid’ah yang asalnya ada dalilnya, tetapi caranya, keadaannya, dan perinciannya, tidak ada dalilnya.

Dzikir setelah shalat merupakan Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun cara bersama-sama dengan suara keras, tidak ada dalilnya. Berikut kami nukilkan di antara perkataan ulama tentang hal ini.

1. Syaikh Syuqairi, penulis kitab as Sunan wal Mubtada’at, berkata: “Beristighfar secara berjama’ah dengan satu suara setelah salam (dari shalat) merupakan bid’ah. Dan perkataan mereka setelah istighfar: يَا أَرْحَمَ الرَّاحَمِيْنَ اِرْحَمْنَا , secara berjama’ah juga merupakan bid’ah”. [1]

2. Imam Abu Ishaq asy Syathibi rahimahullah berkata : “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak selalu mengeraskan doa dan dzikir setelah shalat. Beliau tidaklah menampakkannya kepada orang banyak selain pada tempat-tempat ta’lim (pengajaran)”.[2]

3. Syaikh Masyhur bin Hasan Aalu Salman berkata: “Bukan termasuk Sunnah (Nabi), setelah shalat orang-orang duduk untuk membaca sesuatu dari dzikir-dzikir dan doa-doa, yang diriwayatkan (dari Nabi) atau yang tidak diriwayatkan, dengan mengeraskan suara dan dengan cara berjama’ah, sebagaimana orang-orang di sebagian wilayah biasa melakukan. Pada sebagian masyarakat, kebiasaan ini termasuk telah menjadi syi’ar-syi’ar agama. Orang yang meninggalkannya dan orang yang melarangnya, malah diingkari. Sedangkan pengingkaran terhadap meninggalkannya (perbuatan itu) sesungguhnya itulah kemungkaran”.[3]

4. Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid –seorang ulama Saudi, anggota Majlis Fatwa Kerajaan Sa’udi- telah menjelaskan bentuk-bentuk kesalahan berkaitan dengan doa dan dzikir setelah shalat. Beliau berkata,”Dzikir jama’i (bersama-sama) dengan satu suara yang keras, yang dinamakan metode al jauqah –yaitu jama’ah- dengan (membaca) tahlil, tasbih, istighfar, dan shalawat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, ini merupakan pelaksanaan yang bid’ah, tidak ada dalilnya dari syari’at yang suci. Ini adalah bid’ah yang kuno, telah dijelaskan oleh al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah di dalam (kitab) Tarikh-nya (10/270), kejadian pada tahun 216 H.[4]

5. Syaikh Sa’id bin Ali bin Wahf al Qahthani, ketika menjelaskan macam-macam bid’ah amaliyah, antara lain beliau berkata: “...... (bid’ah) yang terjadi pada sifat melakukan ibadah yang disyari’atkan, yaitu dengan melakukannya dengan cara yang tidak disyari’atkan. Demikian juga melakukan dzikir-dzikir yang disyari’atkan dengan suara bersama-sama yang berirama. Dan seperti melakukan ibadah dengan menyusahkan diri di dalam ibadah-ibadah sampai batas keluar dari Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam”. [5]

Demikian penjelasan tentang dzikir dengan suara keras dan berjama’ah. Adapun sekedar dzikir dengan suara keras tanpa berjama’ah setelah shalat jama’ah, maka hukumnya diperselisihkan ulama. Yang lebih selamat adalah dengan suara pelan, kecuali jika ada dalil yang tegas menunjukkan dilakukan dengan cara dikeraskan, maka boleh dikeraskan. Wallahu a’lam.

Bid’ah hasanah tidak ada di dalam syari’at. Ini merupakan kesepakatan para sahabat Radhiyallahu 'anhum, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

"Jauhilah semua perkara baru (dalam agama), karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat". [Hadits shahih riwayat Abu Dawud, no. 4607; Tirmidzi, 2676; ad Darimi; Ahmad; dan lainnya, dari al ‘Irbadh bin Sariyah].

Adapun secara lughawi (istilah bahasa Arab), maka bid’ah ada yang hasanah (baik) dan ada yang sayyi’ah (buruk). Untuk lebih jelas, silahkan baca Rubrik Mabhats Majalah As Sunnah, edisi 02/ Th. V/1421H/2001M.
_______
Footnote
[1]. As Sunan wal Mubtada’at, hlm. 70, dinukil dari al Qaulul Mubin fii Akh-thail Mushallin, hlm. 304, karya Syaikh Masyhur bin Hasan Aalu Salman.
[2]. Al I’tisham, 1/351, dinukil dari al Qaulul Mubin fii Akh-thail Mushallin, hlm. 304.
[3]. Al Qaulul Mubin fii Akh-thail Mushallin, hlm. 304.
[4]. Tash-hihud Du’a, hlm. 435-436.
[5]. Nurus Sunnah wa Zhulumatul Bid’ah, karya Syaikh Sa’id bin Ali bin Wahf al Qahthani, hlm. 75.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

Bismillaahirrahmaanirrahiim Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga dicurahkan kepada Rasul termulia, juga kepada seluruh keluarga dan shahabatnya. Amma ba'du. Website almanhaj.or.id adalah sebuah media dakwah sangat ringkas dan sederhana, yang diupayakan untuk ikut serta dalam tasfiyah (membersihkan) umat dari syirik, bid'ah, serta gerakan pemikiran yang merusak ajaran Islam dan tarbiyah (mendidik) kaum muslimin berdasarkan ajaran Islam yang murni dan mengajak mereka kepada pola pikir ilmiah berdasarkan al-Qur'an dan as-Sunnah dengan pemahaman Salafush Shalih. Kebenaran dan kebaikan yang anda dapatkan dari website ini datangnya dari Allah Ta'ala, adapun yang berupa kesalahan datangnya dari syaithan, dan kami berlepas diri dari kesalahan tersebut ketika kami masih hidup ataupun ketika sudah mati. Semua tulisan atau kitab selain Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahihah dan maqbul, mempunyai celah untuk dikritik, disalahkan dan dibenarkan. Barangsiapa yang melihat adanya kesalahan hendaknya meluruskannya. Hati kami lapang dan telinga kami mendengar serta bersedia menerima. Semoga Allah menjadikan upaya ini sebagai amalan shalih yang bermanfaat pada hari yang tidak lagi bermanfaat harta dan anak-anak, melainkan orang yang menemui Rabb-nya dengan amalan shalih. Jazaakumullahu khairan almanhaj.or.id Abu Harits Abdillah - Redaktur Abu Khaulah al-Palimbani - Web Admin