Kategori Dakwah : Kepada Kafir

Status Orang Kafir Di Negeri Muslim, Hukum Menjadi Pegawai Negeri

Minggu, 29 Januari 2006 09:43:02 WIB

STATUS ORANG-ORANG KAFIR DI NEGERI MUSLIM


Pertanyaan.
Syaikh Dr Muhammad bin Musa alu Nashr ditanya : Apakah orang-orang kafir (Yahudi dan Nashrani) yang sekarang menetap di Indonesia termasuk musta’man (dilindungi) sehingga tidak boleh dibunuh?

Jawaban.
Setiap orang kafir yang tinggal di negara-negara Islam dan ia tidak memerangi atau menjajah, masuk ke dalam negeri itu dengan visa resmi dan ijin dari kepala negara Islam tersebut, maka ia adalah musta’man (dilindungi) dan tidak boleh disakiti (dilanggar hak-haknya). Bahkan sekalipun negara asalnya memerangi kaum Muslimin. Karena melanggar hak-haknya (dengan mengganggunya, menyakitinya, atau bahkan membunuhnya, Red), berarti menentang (atau menantang, Red) kepala negara (Islam) tersebut, mengganggu stabilitas, keamanan dan ketertiban negara (Islam) tersebut.

Orang kafir ini telah masuk ke dalam negara Islam dengan visa. Sedangkan visa merupakan perjanjian keamanan. Maksudnya ialah, ia dalam perlindungan dan keamanan. Maka, ia tidak boleh dilanggar hak-haknya, baik terhadap hartanya, darahnya, maupun kehormatannya.


MAKNA AYAT AL MAIDAH : 44

Pertanyaan.
Syaikh Dr Muhammad bin Musa alu Nashr ditanya : Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

...وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

Barangsiapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir – QS al Maidah 44. Bagaimana maksud ayat ini?

Jawaban.
Ada tiga ayat di dalam al Qur`an yang berkaitan dengan (hukum) orang yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah.

Pertama : Adalah ayat yang baru dibacakan tadi.
Kedua : Ayat :

...وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ.

Barangsiapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim. [al Maidah : 45]

Dan ayat ketiga,

... وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ.

Barangsiapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasiq. [al Maidah : 47].

Seorang hakim (pemimpin, Red) yang berhukum dengan selain yang diturunkan Allah (berada dalam dua kondisi).

Keadaan Pertama : Ia menentang dan mengingkari untuk berhukum dengan apa yang diturunkan Allah. Misalnya, ia tidak menganggap wajibnya berhukum dengan hukum syari’at. Atau ia menilai bahwa hukum-hukum buatan manusia lebih utama (dan lebih baik, Red) daripada hukum syari’at. Atau ia berpandapat bahwa hukum syari’at tidak lagi relevan pada zaman ini. Atau ia berkeyakinan, bahwa hukum syari’at dan hukum-hukum buatan manusia adalah sama derajatnya. Maka, orang ini adalah kafir murtad (keluar dari keislamannya, Red).

Keadaan Kedua : (Yaitu) jika ia tidak berhukum dengan hukum Allah disebabkan kelemahan, rasa takut, dan hal-hal semisal lainnya yang menghalanginya dari berhukum dengan hukum Allah, sedangkan ia masih berkeyakinan bahwa hukum syari’at adalah yang benar dan tetap relevan pada semua tempat dan zaman. Namun, karena ia terpaksa dan terkalahkan, seperti seorang qadhi (hakim) yang terpaksa mendapat suap, atau seorang qadhi (hakim) yang cenderung mendukung salah satu dari kedua belah pihak, dan akhirnya ia menghukumi dan membela orang yang ia pilih karena hawa nafsunya, maka orang semacam ini tidak kafir dengan kekufuran yang besar (yang mengeluarkannya dari Islam, Red), akan tetapi ini adalah dosa besar.

Berhukum dengan selain hukum Allah adalah dosa besar dan musibah. Ini salah satu sebab kehinaan (umat Islam), kerendahan, dan sebab berkuasanya musuh-musuh (Islam).

Jadi, maksud ke tiga ayat di atas, yaitu “barangsiapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir… orang-orang yang zhalim… orang-orang yang fasiq” adalah, kekafiran di bawah kekafiran (tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam-red). Jika ia menganggap halal untuk tidak berhukum dengan hukum Allah, atau ia mengingkari wajibnya berhukum dengan hukum syari’at ini, seperti yang saya sebutkan tadi, maka ia kafir murtad. Dan hal ini, mewajibkan kaum Muslimin untuk menggulingkannya dari tampuk kepemimpinan, jika mereka mampu untuk melakukannya.

Namun jika ia tidak mengingkari wajibnya berhukum dengan hukum syari’at ini, dan tidak menganggap halal untuk berhukum dengan hukum-hukum buatan manusia, maka ia adalah fasiq, bermaksiat, dan berdosa. Kekafirannya (adalah) kekafiran kecil, kufrun ‘amali, bukan kekafiran yang mengeluarkannya dari Islam, (bukan kekafiran) yang mewajibkan kaum Muslimin untuk menggulingkannya dari kekuasaan dan memeranginya dengan pedang.

Demikianlah perincian (dari jawaban di atas) yang telah diterangkan oleh para ulama. Dan inilah yang telah ditafsirkan oleh Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhu terhadap ayat-ayat di atas.

[Syaikh Dr. Muhammad bin Musa alu an Nashr -hafizhahulllah- dalam muhadharah di Masjid al Karim, Pabelan, Sukoharjo, Surakarta, Ahad, 19 Februari 2006]

HUKUM MENJADI PEGAWAI NEGERI?


Pertanyaan.
Syaikh Ali bin Abdul Hamid bin Hasan Al-Halaby ditanya : Kita tinggal di sebuah negara yang tidak berhukum dengan syari'at Allah. Pertanyaannya, bolehkah kita menjadi pegawai pada negara tersebut? Apakah jika menunaikan kewajiban kita sebagai pegawai dapat dianggap tolong-menolong dalam hal dosa dan permusuhan? Jelaskanlah kepada kami, semoga Allah memberikan balasan yang baik kepada Syaikh.

Jawaban.
Saya katakan, sangat disayangkan, kebanyakan negeri Islam -apalagi yang bukan negeri Islam- tidak menerapkan hukum sebagaimana yang diinginkan oleh Allah Azza wa Jalla.

Akan tetapi sebagian negeri lebih banyak dari negeri yang lain (di dalam menerapkan selain hukum Allah, Red), dan sebagiannya lebih sedikit dari yang lain. Sebagiannya terang-terangan dan sebagiannya sembunyi-sembunyi.
Tidak ada yang bisa memberikan solusi kecuali Allah. Tidak ada yang dapat kita lakukan kecuali bersabar, berdo'a, tetap istiqamah, dan tetap berdakwah di jalan Allah dengan landasan ilmu.

Sedangkan revolusi, mengkafirkan, memberontak kepada pemerintah, membuat huru-hara dan mengerahkan massa; ini semua tidaklah berjalan pada jalan yang haq, dan juga bukan merupakan jalan orang yang berada di dalam kebenaran.

Adapun berkaitan dengan pekerjaan, menjadi pegawai di negara ini atau negara itu, maka hukum suatu pekerjaan apa saja, di manapun tempatnya, tergantung dengan hakikat dan tabi'at pekerjaan itu sendiri. Jika pekerjaannya syar'i (sesuai agama) atau minimal tidak melanggar syara’ (agama), maka ini boleh, meskipun (bekerja) pada orang-orang kafir murni. Bermu’amalah dengan orang-orang kafir hukumnya boleh, selama mu’amalah itu tidak melanggar syari'at. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat sedangkan baju besi beliau digadaikan pada orang Yahudi, hadits riwayat al Bukhari.

Kalau begitu, sebelum engkau mengatakan boleh atau tidak boleh, maka lakukanlah dengan sempurna dan sebaik-baiknya pekerjaanmu, agar engkau tidak melanggar syari'at, dan agar engkau tidak melalaikan pekerjaan yang telah diwajibkan atasmu. Jika kondisinya seperti ini, maka boleh.

Sedangkan jika pekerjaan (tersebut) kehilangan salah satu dari dua hal di atas (yaitu kesesuaian dengan syari’at atau tidak melanggar syari'at), maka tidak boleh. Dan ini, tidak ada hubungan antara negara tersebut melaksanakan syari'at Allah atau tidak, dalam naungan kedua syarat ini. Sebab kalau tidak, misalnya ada sebuah negara berhukum dengan syari'at Allah, lalu ada salah seorang pegawai melakukan pelanggaran syari'at, apakah keadaan negaranya yang menerapkan syari'at Allah ini bisa memberikan pertolongan baginya? (Yakni menjadikan pekerjaannya yang menyelisihi syari’at itu manjadi halal?). tidak akan bisa memberikan pertolongan. Jadi, hukumnya tetap terkait dengan hakikat pekerjaan yang dilakukan. Wallahu 'alam.

(Syaikh Ali bin Abdul Hamid bin Hasan al Halaby, dalam muhadharah di Masjid al Muhajirin, Malang, Kamis, 16 Februari 2006 M).

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

Bismillaahirrahmaanirrahiim Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga dicurahkan kepada Rasul termulia, juga kepada seluruh keluarga dan shahabatnya. Amma ba'du. Website almanhaj.or.id adalah sebuah media dakwah sangat ringkas dan sederhana, yang diupayakan untuk ikut serta dalam tasfiyah (membersihkan) umat dari syirik, bid'ah, serta gerakan pemikiran yang merusak ajaran Islam dan tarbiyah (mendidik) kaum muslimin berdasarkan ajaran Islam yang murni dan mengajak mereka kepada pola pikir ilmiah berdasarkan al-Qur'an dan as-Sunnah dengan pemahaman Salafush Shalih. Kebenaran dan kebaikan yang anda dapatkan dari website ini datangnya dari Allah Ta'ala, adapun yang berupa kesalahan datangnya dari syaithan, dan kami berlepas diri dari kesalahan tersebut ketika kami masih hidup ataupun ketika sudah mati. Semua tulisan atau kitab selain Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahihah dan maqbul, mempunyai celah untuk dikritik, disalahkan dan dibenarkan. Barangsiapa yang melihat adanya kesalahan hendaknya meluruskannya. Hati kami lapang dan telinga kami mendengar serta bersedia menerima. Semoga Allah menjadikan upaya ini sebagai amalan shalih yang bermanfaat pada hari yang tidak lagi bermanfaat harta dan anak-anak, melainkan orang yang menemui Rabb-nya dengan amalan shalih. Jazaakumullahu khairan almanhaj.or.id Abu Harits Abdillah - Redaktur Abu Khaulah al-Palimbani - Web Admin