Kategori Akhlak

Tidak Boleh Bagi Para Penuntut Ilmu Saling Menjelekkan [Jarh] Satu Sama Lain

Rabu, 3 Agustus 2005 17:22:12 WIB

TIDAK BOLEH BAGI PARA PENUNTUT ILMU SALING MENJELEKKAN [JARH] SATU SAMA LAIN


Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin





Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya: “Bolehkah sebagian penuntut ilmu membiasakan : Menjelek-jelekkan satu sama lain serta menjauhkan dan memperingatkan manusia terhadap (penuntut ilmu) yang lain? ”

Jawaban.
Yang jelas perbuatan menjelek-jelekkan (jarh) oleh para ulama satu sama lain adalah perbuatan haram, bila seseorang tidak boleh mengghibah saudaranya mukmin walaupun bukan orang alim, maka bagaimana boleh meng-ghibah saudara-saudaranya yang beriman dari kalangan ulama??!

Kewajiban insan mukmin adalah menahan lisannya dari mengghibah saudara-saudaranya mukminin. Allah Ta’ala berfirman.

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah Ta’ala. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” [Al-Hujurat: 12]

Hendaknya orang yang ditimpa penyakit seperti ini (ghibah-pen) mengetahui bahwa jika ia menjarh seorang alim maka itu akan menjadi sebab ditolaknya kebenaran yang diucapkan oleh sang alim ini. Dan hendaknya ia juga mengetahui bahwa orang yang men-jarh seorang alim maka ia (sebenarnya) tidak men-jarh pribadinya, karena sesungguhnya ia telah menjelek-jelekkan warisan Rasulullah, karena sesungguhnya para ulama itu adalah pewaris para nabi. Maka apabila para ulama telah di-jarh dan di "tikam" maka manusia tidak lagi mempercayai ilmu yang mereka miliki; yang merupakan warisan dari Rasulullah. Dan ketika itu, merekapun tidak lagi mempercayai syariat yang dibawa oleh sang alim yang telah di-jarh ini.

Dan saya tidak mengatakan bahwa setiap alim itu ma’shum (bersih dari kesalahan), karena setiap insan dapat terjatuh dalam kesalahan. Jika anda melihat satu kesalahan seorang alim menurut keyakinan anda, lalu anda menghubunginya dan mencoba saling memahamkan, jika ternyata yang haq adalah dia, anda wajib menerimanya. Dan jika anda menemukan perkataannya ternyata salah maka wajiblah anda membantah dan menjelaskan kesalahannya, karena mendiamkan kesalahan tidak diperbolehkan. Akan tetapi anda jangan men-jarhnya sementara ia adalah seorang alim yang dikenal dengan niat baiknya. Dan jika memungkinkan anda mengatakan: “Sebagian orang mengatakan begini dan begini padahal pendapat ini adalah lemah.” Kemudian anda menjelaskan sisi kelemahannya dan kebenaran pendapat yang anda lihat, (maka) ini tentu lebih baik dan utama.

Dan jika ingin men-jarh para ulama yang dikenal dengan niat baiknya disebabkan terpeleset dalam suatu kesalahan masalah agama, maka kita pasti akan men-jarh para ulama besar. Namun yang wajib (dilakukan) adalah seperti yang saya sebutkan. Bila anda melihat kesalahan dari seorang alim maka diskusikanlah dengannya. Jika anda yang benar maka ia harus mengikuti anda. Atau jika ternyata tidak jelas (pendapat yang benar) dan khilaf yang terjadi adalah khilaf yang dibenarkan maka saat itu anda harus menahan diri dan biarlah ia mengatakan pendapat yang ia katakan dan andapun mengatakan pendapat yang anda katakan.

Khilaf itu terjadi bukan pada masa ini saja, bahkan telah terjadi sejak masa sahabat hingga hari ini. Namun jika telah jelas yang salah akan tetapi ia tetap bersikeras membela pendapatnya, maka anda wajib memperingatkan kesalahan tersebut, bukan atas dasar menjatuhkan orang itu dan keinginan balas dendam, sebab mungkin ia mengatakan perkataan yang benar pada masalah lain selain yang anda diskusikan bersamanya.

Yang penting saya menasehati saudara-saudaraku untuk menjauhi musibah dan penyakit ini (meng-ghibah dan men-jarh –pen), saya mohon kepada Allah Ta’ala untuk diri saya dan mereka kesembuhan dari segala sesuatu yang dapat membuat kita tercela atau mencelakakan kita dalam agama dan dunia kita.


[Disalin dari kitab Ash-Shahwah Al-Islamiyah, edisi Indonesia Panduan Kebangkitan Islam, Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Bab VII, Perbedaan Pendapat (Khilaf) di Kalangan Ulama, Menuduh dan Merendahkan Para Dai, hal. 237-239, Terbitan Darul Haq]

Bismillaahirrahmaanirrahiim Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga dicurahkan kepada Rasul termulia, juga kepada seluruh keluarga dan shahabatnya. Amma ba'du. Website almanhaj.or.id adalah sebuah media dakwah sangat ringkas dan sederhana, yang diupayakan untuk ikut serta dalam tasfiyah (membersihkan) umat dari syirik, bid'ah, serta gerakan pemikiran yang merusak ajaran Islam dan tarbiyah (mendidik) kaum muslimin berdasarkan ajaran Islam yang murni dan mengajak mereka kepada pola pikir ilmiah berdasarkan al-Qur'an dan as-Sunnah dengan pemahaman Salafush Shalih. Kebenaran dan kebaikan yang anda dapatkan dari website ini datangnya dari Allah Ta'ala, adapun yang berupa kesalahan datangnya dari syaithan, dan kami berlepas diri dari kesalahan tersebut ketika kami masih hidup ataupun ketika sudah mati. Semua tulisan atau kitab selain Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahihah dan maqbul, mempunyai celah untuk dikritik, disalahkan dan dibenarkan. Barangsiapa yang melihat adanya kesalahan hendaknya meluruskannya. Hati kami lapang dan telinga kami mendengar serta bersedia menerima. Semoga Allah menjadikan upaya ini sebagai amalan shalih yang bermanfaat pada hari yang tidak lagi bermanfaat harta dan anak-anak, melainkan orang yang menemui Rabb-nya dengan amalan shalih. Jazaakumullahu khairan almanhaj.or.id Abu Harits Abdillah - Redaktur Abu Khaulah al-Palimbani - Web Admin