Kategori Risalah : Keluarga

Hak Suami : Kepemimpinan Laki-Laki Atas Wanita, Mengucilkan Isteri Jika Tidak Menunaikan Nasihat

Sabtu, 5 Februari 2005 21:11:48 WIB

HAK SUAMI : KEPEMIMPINAN LAKI-LAKI ATAS WANITA.


Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq



Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan atas isteri untuk menunaikan hak-hak suaminya, dan mengharuskannya melaksanakan kewajiban-kewajiban terhadap rumah dan anak-anaknya, agar kehidupan menjadi harmonis dan keluarga menjadi bahagia.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shalih ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Maha-besar.” [An-Nisaa’: 34]

"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.” Yakni, kaum laki-laki adalah pemimpin atas kaum wanita dalam hal mendidik dan menghukum mereka dalam perkara yang diwajib-kan atas mereka, baik kepada Allah maupun kepada kaum lelaki. “Oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita).” Maksudnya, Allah melebihkan suami atas isterinya karena memberikan mahar kepadanya, memberikan nafkah dan mencukupi pangannya. Itulah kelebihan yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada suami atas isterinya. Karena itu kaum laki-laki menjadi pemimpin atas wanita untuk melaksanakan urusannya yang diamanahkan Allah kepada mereka. [1]

Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya: “Yakni, laki-laki adalah pemimpin atas wanita. Maksudnya, laki-laki adalah pemimpinnya, pembesarnya, hakimnya dan pendidiknya, jika menyimpang. “Oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita).” Yakni karena laki-laki lebih utama daripada wanita dan laki-laki lebih baik daripada wanita. Karenanya, kenabian dikhususkan untuk kaum laki-laki, demikian pula penguasa besar; berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita.” [HR Al-Bukhari]

Demikian juga jabatan hakim dan selainnya.

“Dan karena mereka (laki-laki) telah menafkah-kan sebagian dari harta mereka.” Yakni berupa mahar, nafkah, dan tugas yang diwajibkan Allah atas kaum laki-laki terhadap kaum wanita dalam Kitab-Nya dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab, laki-laki lebih utama dari wanita dengan sendirinya. Ia memiliki kelebihan dan dilebihkan atasnya. Oleh karena itu, tepat bila ia menjadi pemimpin atasnya, sebagaimana firman-Nya.

“... Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya...” [Al-Baqarah: 228]

‘Ali bin Abi Thalhah menuturkan dari Ibnu ‘Abbas: "(Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita), yakni pemimpin atas mereka. Maksudnya, wanita mentaatinya mengenai apa yang diperintahkan Allah kepadanya agar mentaatinya. Termasuk mentaatinya ialah berbuat baik kepada keluarganya lagi memelihara hartanya.

Asy-Sya’bi berkata: “(Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan se-bagian dari harta mereka,” yakni mahar yang diberikan kepadanya. Tidak tahukah engkau bahwa sekiranya suami menuduhnya berzina, maka ia harus melakukan li’an terhadapnya (melaknatnya). Sebaliknya, jika isteri menuduh suaminya berzina, maka ia dihukum cambuk. [2]

HAK SUAMI : MEMPUNYAI HAK UNTUK MENGUCILKANNYA, JIKA TIDAK MENUNAIKAN NASIHATNYA KEPADANYA.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“… Dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur mereka … .” [An-Nisaa’: 34]

Jika tidak melaksanakan perintahnya setelah menasihatinya dan mengingatkannya kepada apa yang Allah wajibkan atasnya supaya mempergauli suaminya dengan baik dan mengatakan kepadanya dengan lemah lembut: “Jadilah engkau wanita yang shalih, yang taat, yang memelihara kehormatan ketika suami tidak ada di rumah, dan janganlah engkau termasuk wanita demikian dan demikian,” ia mengingatkan kepadanya tentang kematian, kubur dan negeri akhirat. Jika nasihat dan peringatan dengan lemah lembut ini tidak membawa hasil, maka kucilkanlah.

Ibnu Katsir berkata tentang tafsir ayat ini: “Ali bin Abi Thalhah menuturkan dari Ibnu ‘Abbas: ‘Pengucilan ialah suami tidak mencampuri isterinya dan tidak menidurinya di atas ranjangnya serta membelakangi punggungnya.” Yang lain menambahkan: “Bersamaan dengan itu, ia tidak berbicara dan tidak bercakap-cakap dengannya.’”

Boleh juga mengucilkannya di luar rumah. Telah shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau meninggalkan isteri-isterinya dan menjauhi mereka selama sebulan.

Diriwayatkan dalam hadits Mu’awiyah bin Haidah Radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan: “Aku bertanya: ‘Wahai Rasulullah, apa hak isteri atas kita?’ Hadits menjelaskan panjang lebar hingga sabdanya, ‘Jangan tinggalkan kecuali di rumah.’” [3]

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Penggabungan di antara keduanya -yaitu antara mengucilkan di luar rumah dan hadits ini- bahwa hal itu berbeda menurut perbedaan keadaan.”

Al-Bukhari meriwayatkan dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan: “Rasulullah pernah meng-ila’ isteri-isterinya selama sebulan dan duduk di tempatnya, lalu menyudahinya pada hari ke 29. Maka ditanyakan: ‘Wahai Rasulullah, engkau telah meng-ila’ selama sebulan.” Ketika telah berlalu 29 hari, beliau pergi kepada mereka pada pagi atau sore hari. Maka ditanyakan kepadanya: ‘Wahai Nabi Allah, engkau bersumpah untuk tidak menemui mereka selama sebulan.’ Beliau menjawab: ‘Satu bulan itu 29 hari.’” [4]

Al-Bukhari meriwayatkan pula dari Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anha, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersumpah tidak menemui salah seorang isterinya selama satu bulan. Tatkala telah berlalu 29 hari beliau menemui mereka, maka dikatakannya kepada beliau, “Wahai Nabi Allah Shallallahu alaihi wa sallam, engkau telah bersumpah untuk tidak menemui mereka selama satu bulan.” Maka beliau bersabda: “Satu bulan itu adalah 29 hari.” [6]

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq, Penterjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsair]
__________
Foote Note
[1]. Jaami’ Ahkaamin Nisaa’, al-‘Adawi (III/413).
[2]. Tafsiir Ibni Katsir (I/491).
[3]. Lihat takhrij sebelumnya.
[4]. Fat-hul Baari (IX/300-302).
[5]. Telah dicantumkan takhrijnya pada halaman terdahulu.
[6]. HR. Al-Bukhari (no. 5202) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1475) kitab ath-Thalaaq, an-Nasa-i (no. 1058) kitab ash-Shiyaam, Ibnu Majah (no. 2061) kitab ath-Thalaaq, Ahmad (no. 26143).

Bismillaahirrahmaanirrahiim Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga dicurahkan kepada Rasul termulia, juga kepada seluruh keluarga dan shahabatnya. Amma ba'du. Website almanhaj.or.id adalah sebuah media dakwah sangat ringkas dan sederhana, yang diupayakan untuk ikut serta dalam tasfiyah (membersihkan) umat dari syirik, bid'ah, serta gerakan pemikiran yang merusak ajaran Islam dan tarbiyah (mendidik) kaum muslimin berdasarkan ajaran Islam yang murni dan mengajak mereka kepada pola pikir ilmiah berdasarkan al-Qur'an dan as-Sunnah dengan pemahaman Salafush Shalih. Kebenaran dan kebaikan yang anda dapatkan dari website ini datangnya dari Allah Ta'ala, adapun yang berupa kesalahan datangnya dari syaithan, dan kami berlepas diri dari kesalahan tersebut ketika kami masih hidup ataupun ketika sudah mati. Semua tulisan atau kitab selain Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahihah dan maqbul, mempunyai celah untuk dikritik, disalahkan dan dibenarkan. Barangsiapa yang melihat adanya kesalahan hendaknya meluruskannya. Hati kami lapang dan telinga kami mendengar serta bersedia menerima. Semoga Allah menjadikan upaya ini sebagai amalan shalih yang bermanfaat pada hari yang tidak lagi bermanfaat harta dan anak-anak, melainkan orang yang menemui Rabb-nya dengan amalan shalih. Jazaakumullahu khairan almanhaj.or.id Abu Harits Abdillah - Redaktur Abu Khaulah al-Palimbani - Web Admin