Kategori Fiqih : Jenazah & Maut

Mengambil Organ Tubuh, Membedah Jenazah Menyingkap Aurat Dengan Tujuan Belajar

Selasa, 18 Januari 2005 13:45:41 WIB

MENGAMBIL ORGAN TUBUH SETELAH MATI SURI


Soal :
Bagaimanakah hukum mengambil organ tubuh mayat yang sudah mengalami mati suri?

Jawab :
Kehormatan seorang muslim tetap terjaga saat ia masih hidup ataupun ketika ia sudah meninggal. Oleh karena itu, tidak boleh melakukan tindakan yang bisa menyakitinya, atau mencoreng bentuk fisik aslinya. Misalnya dengan memecahkan atau memotongmotongnya. Dalam sebuah hadits disebutkan:

كَسْرُ عظمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِِهِ حَيَّا

Memecahkan tulang (milik) mayat sama seperti memecahkannya ketika( ia masih) hidup.

Hadits ini menjadi dasar pelarangan membuat cacat mayat demi kemaslahatan orang yang masih hidup. Misalnya, mengambil hati atau ginjal atau anggota tubuh lainnya. Karena hal ini lebih menyakitkan daripada sekedar memecahkan tulangnya.

Para ulama berbeda pendapat tentang pembolehan donor dengan oragan tubuh. Sebagian ulama mengatakan, bahwa dispensasi donor organ mengandung kemaslahatan bagi orang yang masih hidup. Pasalnya, banyak penderita penyakit ginjal. Namun pendapat ini masih perlu ditinjau lagi. Dan menurutku, pendapat yang lebih mendekati kebenaran ialah tidak dibenarkan donor argan tubuh nggota badan berdasarkan hadits yang telah dikemukakan. Ditambah lagi, donor organ juga mengandung unsur mempermainkan anggota badan mayat, dan penghinaan kepadanya. Sementara itu, terkadang ahli waris sangat gila harta (sehingga memperjualbelikan organ tubuh) tanpa mau mempedulikan kehormatan si mayat. Padahal mereka tidak punya untuk mewarisi jasad mayat. Mereka hanya mewarisi hartanya saja. Wallahu walit taufiq.

(Samahatusy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah) [1]


MEMBEDAH JENAZAH DAN MENYINGKAP AURAT DENGAN TUJUAN BELAJAR

Soal :
Mohon dijelaskan kepada kami tentang aktivitas para mahasiswa kedokteran yang melakukan pembedahan jenazah dalam proses studi mereka. Mereka juga menyingkap aurat tubuh wanita atau sebagiannya saja. Mereka berdalih, “Ini merupakan bagian dari mata kuliah ilmu kedokteran. Ini urgen sekali, agar dokter tidak buta (tentang atonomi wanita) yang berakibat ia mengalami kesulitan dalam menangani penyakit-penyakit kaum wanita. Kalau demikian kondisinya, maka kaum wanita muslimah akan berada dalam penanganan orang-orang Nashara atau yang lainnya”.

Jawab :
Tentang pembedahan jenazah, telah keluar fatwa dari Hai’ah Kibaril Ulama’ (Dewan Ulama Besar) Kerajaan Saudi Arabia yang isinya sebagai berikut:

Pertama. Pembedahan untuk membuktikan dugaan adanya tindak kriminal.
Kedua. Pembedahan untuk memastikan adanya penyakit-penyakit menular, guna mengambil tindakan prefentif berdasarkan hasil penelitian.
Ketiga. Membedah dengan tujuan ilmiah, baik untuk dipelajari atau untuk pembelajaran.

Setelah melalui musyawarah dan diskusi, serta setelah memperhatikan pembahasan dari lajnah yang telah disebutkan di atas, majelis ini memutuskan sebagai berikut:

Berkaitan dengan point pertama dan kedua, majelis melihat bahwa dibolehkannya (pembedahan tersebut) akan dapat menghasilkan banyak maslahat (manfaat) dalam bidang keamanan dan keadilan, serta dalam melindungi masyarakat dari penyakit yang mewabah. Sementara dosa akibat melanggar kehormatan jenazah yang dibedah terabaikan disisi manfaat yang banyak dan umum, yang bisa dihasilkan dengan pembedahan tersebut.

Berdasarkan (pertimbangan) ini, majelis memutuskan dengan ijma’ bahwa melakukan pembedahan untuk tujuan dua hal ini dibolehkan, baik jenazah yang dibedah itu jenazah yang ma’shum (yang diharamkan untuk dibunuh ketika masih hidupnya, kecuali dengan alasan yang hak, Pent.) atau tidak ma’shum.

Sedangkan berkenaan dengan tujuan yang ketiga, yaitu membedah untuk tujuan pembelajaran, maka menilik kepada tujuan syari’at yang datang untuk tujuan mewujudkan kemaslahatan dan memperbanyaknya, untuk menolak kerusakan serta meminimalisir ; (juga Islam membawa kaidah, Pent) boleh melakukan dosa yang lebih kecil untuk menghindari dosa yang lebih besar; (juga kaidah, Pent.) jika ada beberapa maslahat saling berlawanan, maka yang diambil adalah yang terbesar manfaatnya; serta menimbang bahwa membedah binatang-binatang lain selain manusia, tidak bisa mewakili pembedahan manusia; juga menimbang bahwa dalam membedah manusia terdapat banyak manfaat yang nampak pada kemajuan ilmu kedokteran dengan berbagai tinjauannya. Maka, majelis memutuskan boleh membedah jenazah manusia secara umum. Hanya saja (perlu) menimbang:

1. Perhatian syari’at Islam terhadap kehormatan seorang muslim yang sudah meninggal, sama dengan perhatiannya terhadap kehormatannya ketika masih hidup, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Maajah, dari Aisyah Radhiyallahu 'anha, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

كَسْرُ عظمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِِهِ حَيَّا

Memecahkan tulang mayit sama seperti memecahkannya ketika hidupnya.

2. Bahwa pembedahan itu mengandung unsur penghinaan terhadap jenazah muslim.
3. Bahwasanya alasan dharurat sudah hilang dengan tercapainya tujuan melalui pembedahan jenazah yang tidak ma’shum.

Maka majelis memandang cukup dengan jenazah-jenazah seperti ini dan tidak melirik jenazah-jenazah yang ma’shum.

Kedua: Jika memungkinkan seorang wanita yang menyingkap aurat wanita, maka tidak boleh bagi dokter lelaki untuk menyingkapnya. Jika hal itu tidak bisa, sementara kondisi menuntut agar menyingkap aurat, maka dokter muslim boleh menyingkap aurat seperlunya, supaya bisa mengetahui penyakitnya. Dan tidak ada larangan menyingkap aurat wanita dalam rangka belajar, mengetahui penyakit dan untuk mengobatinya, jika jenazahnya bukan jenazah seorang muslimah dan bukan juga ma’shumah berdasarkan keputusan yang telah disebutkan.

Billahit taufiq, washallallahu ‘ala nabiyina Muhammadin wa aalihi wa shahbihi wa sallim.

(Lajnah Daimah Lil Buhutsil Ilmiyah Wal Ifta’. Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz. Wakil Ketua: Abdurrazaq Afiifi. Anggota : Abdullah bin Gadyan. Anggota : Abdullah bin Qu’ud) [2]


KEGUGURAN

Soal 1:
Di beberapa rumah sakit, sebagian wanita mengalami keguguran saat kandungan berusia lima bulan. Kami tidak tahu, apa yang harus dilakukan terhadap janin-janin tersebut. Apakah harus dikubur, dan dishalatkan ataukah boleh dibuang di tempat sampah ? Kami mohon penjelasan dalam masalah ini. Apakah janin yang sudah ditiupkan ruh padanya harus juga itu dishalatkan setelah dimandikan ? Apakah juga harus diberi nama ?

Jawab:
Jika faktanya sesuai dengan cerita di atas yaitu terjadinya keguguran saat usia kehamilan sudah mencapai lima bulan, maka janin tersebut harus dimandikan, dikafani dan dishalati. Disunnahkan juga untuk mengadakan acara aqiqah untuknya, sama persis dengan perlakuan terhadap kaum muslimin yang sudah dewasa. Dan juga dimakamkan di pekuburan muslim dan serta diberi nama.

(Lajnah Daimah Lil Buhutsil Ilmiyah Wal Ifta’/ Komisi Riset Ilmiyah dan Fatwa Ketua : Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz. Wakil Ketua: Abdurrazaq Afiifi. Anggota : Abdullah bin Gadyan) [3]

Soal 2:
Saya mempunyai seorang istri. Alhamdulillah Allah telah menganugerahi kami enam anak. Kemudian, istri saya hamil selama lima kali tapi selalu mengalami keguguran pada usia dua atau tiga bulan di rumah sakit. Setiap kali dia mengalami pendarahan, saya membawanya ke rumah sakit dan membiusnya. Lalu mereka melakukan curet, saya tidak tahu apa yang mereka lakukan terhadap janin. Apakah saya wajib menguburkanya ? Jika wajib, mohon penjelasan. Apakah wajib diberi nama ? Apakah wajib juga menyelenggarakan aqiqah atau tidak ?

Jawab:
Setelah Komisi Riset dan Fatwa Ilmiyah mempelajari kasus ini, maka menetapkan bahwa janin yang mengalami keguguran dan belum genap empat bulan, maka tidak perlu dimandikan, tidak perlu dishalati, tidak diberi nama dan tidak di aqiqahi. Karena ruh belum ditiupkan padanya.

(Lajnah Daimah Lil Buhutsil Ilmiyah Wal Ifta’. Ketua : Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz. Wakil Ketua: Abdurrazaq Afiifi. Anggota : Abdullah bin Gadyan) [4]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun IX/1426H/2005M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Lihat Al fatawa Al Muta’aliqatu bit thibbi wa ahkaamil mardha, isyraf Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan, hlm. 420
[2]. Lihat Al fatawa Al Muta’aliqatu bit thibbi wa ahkaamil mardha, syraf Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan, hlm. 424-426
[3]. Lihat Al fatawa Al Muta’aliqatu bit thibbi wa ahkaamil mardha, syraf Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan, hlm. 427-428
[4]. Lihat Al fatawa Al Muta’aliqatu bit thibbi wa ahkaamil mardha, syraf Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan, hlm. 428

Bismillaahirrahmaanirrahiim Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga dicurahkan kepada Rasul termulia, juga kepada seluruh keluarga dan shahabatnya. Amma ba'du. Website almanhaj.or.id adalah sebuah media dakwah sangat ringkas dan sederhana, yang diupayakan untuk ikut serta dalam tasfiyah (membersihkan) umat dari syirik, bid'ah, serta gerakan pemikiran yang merusak ajaran Islam dan tarbiyah (mendidik) kaum muslimin berdasarkan ajaran Islam yang murni dan mengajak mereka kepada pola pikir ilmiah berdasarkan al-Qur'an dan as-Sunnah dengan pemahaman Salafush Shalih. Kebenaran dan kebaikan yang anda dapatkan dari website ini datangnya dari Allah Ta'ala, adapun yang berupa kesalahan datangnya dari syaithan, dan kami berlepas diri dari kesalahan tersebut ketika kami masih hidup ataupun ketika sudah mati. Semua tulisan atau kitab selain Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahihah dan maqbul, mempunyai celah untuk dikritik, disalahkan dan dibenarkan. Barangsiapa yang melihat adanya kesalahan hendaknya meluruskannya. Hati kami lapang dan telinga kami mendengar serta bersedia menerima. Semoga Allah menjadikan upaya ini sebagai amalan shalih yang bermanfaat pada hari yang tidak lagi bermanfaat harta dan anak-anak, melainkan orang yang menemui Rabb-nya dengan amalan shalih. Jazaakumullahu khairan almanhaj.or.id Abu Harits Abdillah - Redaktur Abu Khaulah al-Palimbani - Web Admin