Kategori Alwajiz : Thaharah

Mengusap Khuff (Sepatu Yang Menutup Mata Kaki)

Kamis, 13 Mei 2004 08:28:51 WIB

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata dalam Syarah Muslim (III/ 164), “Ulama yang diperhitungkan dalam ijma' (mu’tabar) telah sepakat tentang bolehnya mengusap khuff dalam safar maupun menetap. Baik untuk suatu kebutuhan ataupun tidak. Bahkan boleh bagi perempuan yang senantiasa berada dalam rumahnya. Demikian pula orang lumpuh yang tidak bisa berjalan. Hanya orang-orang syi'ah dan khawarij yang mengingkari hal ini. Dan penyesilihan mereka itu tidak dianggap. Al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, 'Aku diberitahu oleh tujuh puluh Sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengusap kedua khuff '." Dalil yang paling bagus untuk dijadikan sandaran tentang mengusap khuff adalah apa yang diriwayatkan Muslim dari al-A'masy dari Ibrahim dari Hammam, dia berkata, “Jarir kencing, kemudian berwudhu dan mengusap kedua khuffnya. Dia lalu ditanya, "Kau melakukan ini?" Dia menjawab, "Ya. Aku melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kencing kemudian berwudhu dan mengusap kedua khuffnya." Al-A'masy mengatakan bahwa Ibrahim berkata, "Hadits ini membuat mereka senang. Karena ke-Islaman Jarir terjadi setelah turunnya surat al-Maa-idah."

Mandi

Sabtu, 1 Mei 2004 11:59:36 WIB

Dari Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah wanita berkepang dengan kepangan yang sulit diurai. Apakah aku harus mengurainya ketika mandi janabah? Beliau berkata: “Tidak, cukuplah engkau tuangkan air ke atas kepalamu sebanyak tiga kali. Kemudian guyurkan air ke seluruh tubuhmu. Maka, sucilah engkau.” Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, bahwasanya Asma’ bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang mandi setelah selesai haidh. Beliau lalu bersabda, “Hendaklah salah seorang dari kalian mengambil air dan bidaranya lalu bersuci (yaitu berwudhu menurut penafsiran sejumlah ulama’, sebagaimana tata cara mandi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam -ed.) dengan sebaik-baiknya. Kemudian mengucurkannya ke atas kepala dan menguceknya kuat-kuat hingga ke pangkal kepalanya. Lantas mengguyur seluruh badannya dengan air. Setelah itu hendaklah ia mengambil secarik kapas yang diberi minyak misk, lalu bersuci dengannya." Asma' berkata, "Bagaimana cara dia bersuci dengannya?" Beliau berkata: "Subhaanallaah, bersucilah dengannya." 'Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata sambil seolah berbisik, "Ikutilah bekas-bekas darah itu dengannya.

Bersuci Dengan Tanah (Tayammum)

Sabtu, 1 Mei 2004 11:24:11 WIB

Tayammum diperbolehkan ketika tidak mampu menggunakan air, baik disebabkan ketiadaannya atau karena dikhawatirkan parahnya penyakit yang di derita, atau dingin yang menggigit. Dari 'Imran bin Hushain Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Kami bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sebuah perjalanan. Beliau lalu shalat mengimami kami. Tiba-tiba terlihat ada seorang pria yang menyendiri. Lalu beliau bertanya, 'Apa yang menghalangimu untuk shalat?' Dia menjawab, 'Saya sedang junub dan tidak mendapatkan air.' Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Gunakanlah tanah. Sesungguhnya itu mencukupimu.” Dari Jabir Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Kami keluar dalam sebuah perjalanan. Salah seorang di antara kami terkena batu hingga kepalanya terluka parah. Dia kemudian mimpi basah. Lalu dia bertanya kepada para sahabatnya, 'Apakah kalian melihat adanya keringanan bagiku untuk bertayammum?' Mereka menjawab, 'Kami tidak mendapatkan keringanan bagimu, sedang kau mampu menggunakan air.' Kemudian dia mandi lalu wafat. Ketika kami menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, hal itu diadukan kepada beliau. Lalu beliau bersabda, 'Mereka telah membunuhnya. Semoga Allah membunuh mereka. Kenapa mereka tidak bertanya jika memang tidak tahu?! Sesungguhnya obat kebodohan adalah bertanya. Sesungguhnya cukuplah baginya untuk bertayammum.’”

Hukum Haidh Dan Nifas

Kamis, 29 April 2004 07:27:49 WIB

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata dalam kitab Syarah Muslim (III/204), “Jika seorang muslim meyakini halalnya menyetubuhi wanita haidh pada kemaluannya, maka dia telah kafir dan murtad. Namun seseorang melakukannya tanpa meyakini kehalalannya, maka jika dia melakukannya karena lupa atau tidak tahu adanya darah haidh. Atau dia tidak tahu keharamannya atau dia dipaksa, maka dia tidak berdosa dan tidak pula wajib membayar kaffarat. Jika dia sengaja menyetubuhinya dan mengetahui adanya darah haidh serta haramnya perbuatan ini tanpa ada paksaan, maka dia telah melakukan dosa besar. Asy-Syafi'i menetapkannya sebagai dosa besar dan wajib baginya untuk bertaubat. Tentang wajibnya kaffarat, terdapat dua pendapat.” Saya katakan, “Pendapat yang rajih adalah wajib membayar kaffarat.” Berdasarkan hadits Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang seseorang yang menyetubuhi isterinya yang sedang haidh. Beliau bersabda: “Dia wajib bersedekah sebanyak satu dinar atau setengah dinar.” Diperbolehkannya memilih dalam hadits tersebut kembali pada pembedaan antara permulaan keluarnya darah dan akhirnya. Berdasarkan riwayat dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma secara mauquf : “Jika dia melakukannya pada permulaan keluarnya darah, maka dia harus bersedekah dengan satu dinar. Dan jika pada akhir keluarnya, maka setengah dinar.”

First  Prev  1  2  Next  Last

Bismillaahirrahmaanirrahiim Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga dicurahkan kepada Rasul termulia, juga kepada seluruh keluarga dan shahabatnya. Amma ba'du. Website almanhaj.or.id adalah sebuah media dakwah sangat ringkas dan sederhana, yang diupayakan untuk ikut serta dalam tasfiyah (membersihkan) umat dari syirik, bid'ah, serta gerakan pemikiran yang merusak ajaran Islam dan tarbiyah (mendidik) kaum muslimin berdasarkan ajaran Islam yang murni dan mengajak mereka kepada pola pikir ilmiah berdasarkan al-Qur'an dan as-Sunnah dengan pemahaman Salafush Shalih. Kebenaran dan kebaikan yang anda dapatkan dari website ini datangnya dari Allah Ta'ala, adapun yang berupa kesalahan datangnya dari syaithan, dan kami berlepas diri dari kesalahan tersebut ketika kami masih hidup ataupun ketika sudah mati. Semua tulisan atau kitab selain Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahihah dan maqbul, mempunyai celah untuk dikritik, disalahkan dan dibenarkan. Barangsiapa yang melihat adanya kesalahan hendaknya meluruskannya. Hati kami lapang dan telinga kami mendengar serta bersedia menerima. Semoga Allah menjadikan upaya ini sebagai amalan shalih yang bermanfaat pada hari yang tidak lagi bermanfaat harta dan anak-anak, melainkan orang yang menemui Rabb-nya dengan amalan shalih. Jazaakumullahu khairan almanhaj.or.id Abu Harits Abdillah - Redaktur Abu Khaulah al-Palimbani - Web Admin