Kategori Alwajiz : Hukum & Pidana
Senin, 17 Januari 2005 07:34:43 WIB
Hirabah adalah keluarnya sekelompok orang Islam dari negaranya untuk membuat keonaran, menumpahkan darah, merampas harta, menghancurkan kehormatan, merusak tanaman dan keturunan, dengan menentang agama, akhlak, norma, dan aturan. Hirabah termasuk tindak kriminal yang terbesar. Dengan sebab itulah, hukuman dari tindakan ini sangat berat. Allah berfirman: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka mendapat siksaan yang besar"
Kamis, 2 Desember 2004 06:32:56 WIB
Secara bahasa jinaayaat yang merupakan bentuk jamak dari jinayah berasal dari kataجَنَى الذَّنْبَ يَجْنِيْهِ جِنَايَة , yang berarti menyeret kepada dosa atau kejahatan. Kata tersebut dijamakkan sekali pun berbentuk masdar, karena berbeda-beda macamnya. Sebab keja-hatan itu terkadang terjadi terhadap jiwa, terkadang terhadap ang-gota badan, terkadang disengaja, dan terkadang tanpa disengaja. Adapun secara istilah, jinayah berarti pelanggaran terhadap badan yang menyebabkan ia harus diqishas atau didenda. Allah Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling mema-kan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat de-mikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam Neraka. Yang demikian itu ada-lah mudah bagi Allah.” Allah juga berfirman: “Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah Jahannam, ia kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya dan mengutuknya serta menyediakan adzab yang besar baginya.”
Sabtu, 14 Agustus 2004 23:35:21 WIB
Dari Anas Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, “Seorang Yahudi mencederai kepala seorang wanita dengan dua buah batu. Kemudian wanita itu ditanya, ‘Siapa yang melakukan ini? Apakah si fulan? Atau si fulan?’ Sampai disebutkan nama Yahudi itu, dan ia menganggukkan kepalanya. Yahudi itu pun didatangkan dan ia mengakuinya. Kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memutuskannya, dan diciderailah kepala Yahudi itu dengan batu.” Dari Rafi’ bin Khudaij, ia berkata, “Seorang laki-laki dari kalangan Anshar terbunuh di Khaibar. Kemudian, keluarganya menemui Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan menceritakan kejadiannya. Beliau bersabda, ‘Apakah kalian mempunyai dua orang saksi yang menyaksikan pembunuhannya?’ Mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah, di sana tidak ada kaum muslimin seorang pun, yang ada hanyalah Yahudi, dan terkadang mereka berani melakukan hal yang lebih kejam. Beliau bersabda, ‘Ambillah 50 orang dari mereka dan mintalah mereka bersumpah.’ Mereka pun menolak, kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membayar dendanya dari harta beliau sendiri.”
Rabu, 28 Juli 2004 21:54:09 WIB
Diyat adalah harta yang wajib dikeluarkan karena tindakan pidana dan diberikan kepada korban atau keluarganya. Diyat tersebut terdapat pada tindak pidana yang mengharuskan qishash di dalamnya, juga pada tindak pidana yang tidak terdapat qishash di dalamnya. Denda juga disebut اَلْعَقْلُ , yaitu ikatan. Hal ini disebabkan karena ketika pelaku telah membunuh korban, pelaku harus mem-bayar diyat dengan sejumlah unta yang diikat di halaman wali korban. Dikatakan عَقَلْتُ عَنْ فُلاَنٍ(aku terikat dengan si fulan), apabila ia masih berhutang denda tindak pidana padanya. Yang mendasari semua itu adalah firman Allah Ta’ala: “Dan tidaklah layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja) dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar dia yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mukmin, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hambasahaya yang mukmin. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka denganmu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin.....”
Rabu, 28 Juli 2004 21:38:29 WIB
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam al-Fat-h (XIII/146), “Berkata Abu ‘Ali al-Karabisi, pengikut Imam asy-Syafi’i dalam kitabnya Aadaab al-Qadhaa’ berkata, ‘Aku tidak melihat adanya khilaf di kalangan ulama Salaf bahwa orang yang paling pantas menjadi hakim bagi kaum muslimin adalah orang yang jelas keutamaannya, kejujurannya, ilmunya, dan kewara’annya. Ia seorang pembaca (penghafal) al-Qur-an sekaligus mengetahui banyak hukum-hukumnya. Mempunyai pengetahuan tentang Sunnah-Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan perkataan para Sahabat serta banyak menghafalnya. Mengetahui kesepakatan, perselisihan, dan perkataan-perkataan ahli fiqih dari kalangan Tabi’in. Mengetahui mana yang shahih dan yang cacat (lemah). Memecahkan persoalan nawazil (terkini) dengan al-Qur-an. Apabila ia tidak mendapatkan di dalamnya, maka dengan as-Sunnah, bila tidak ada ia menggunakan apa yang para Sahabat telah bersepakat atasnya. Apabila ia dapatkan Sahabat berselisih dalam hal itu dan tidak ada kejadian serupa dalam al-Qur-an maupun as-Sunnah, maka ia menggunakan fatwa pembesar Sahabat yang telah diamalkan.
First Prev 1 2 Next Last